Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang yang Terlalu Nyata
Sejak malam itu—malam saat Nick mengantarku pulang dari perjalanan tur kampus bersamanya, pikiranku tak pernah benar-benar merasa tenang. Bayang-bayang kejadian di antara diriku dan Nick saat di ruang tengah rumahnya terus saja muncul, mengacaukan pikiranku. Tatapan mata Nick yang hangat, keheningan sesaat sebelum ia mencoba menciumku, dan bagaimana aku memundurkan tubuhku dengan gugup—semuanya seperti adegan di sebuah film yang terus diputar berkali-kali di dalam kepalaku.
Malam ini, aku duduk di kursi beranda rumah, menikmati segelas teh aromatik hangat, yang mungkin aromanya bisa menenangkan pikiranku, juga jantungku yang masih berdetak kencang—tak karuan. Berulangkali kutatap layar ponselku, menunggu sebuah pesan masuk, atau barangkali sebuah panggilan—dari seseorang yang sudah kunantikan sejak kemarin. Namun, nyatanya ponselku masih diam. Tidak ada pesan atau panggilan masuk dari Nick.
"Kenapa aku jadi seperti ini?", gumamku sendiri, menatap kosong ke halaman depan rumah.
Aku membuka galeri ponselku, menatap foto kami saat di photobooth hari itu. Kami saling menatap, saling melempar senyuman yang tampak begitu membahagiakan. Bahkan aku masih ingat betul, aroma tubuh Nick yang menyeruak dari kemeja yang ia pinjamkan padaku. Mengingatnya membuatku tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ya Tuhan! Aku lupa mengembalikan kemejanya.", kataku, menepuk dahiku pelan.
Aku baru teringat pada kemeja Nick yang masih ada padaku. Padahal sehari sebelum kami bertemu untuk melakukan perjalanan tur kampus, aku sudah mencucinya bersih dan menyetrikanya rapi. Bahkan kemeja itu sudah kumasukkan ke dalam paperbag, yang kuletakkan di atas nakas di samping ranjang. Bisa-bisanya aku melupakannya. Mungkin hari itu aku terlalu bersemangat, atau terlalu gugup, atau bahkan mungkin keduanya.
Namun, setelah kupikir-pikir, mungkin ada baiknya juga kemeja itu belum ku kembalikan. Sebab, aku bisa menjadikannya alasan untuk bertemu dengan Nick lagi. Entahlah. Kenapa sekarang rasanya seperti aku yang terlalu menggebu untuk mengejarnya? Apakah aku sudah seperti wanita murahan?
Tak tahan menahan keresahan, aku menekan nama Nina di daftar kontak, lalu meneleponnya.
"Halo, Nora!", sapanya dengan nada ceria, seperti biasa.
"Halo, Nina!", balasku, sedikit ragu.
"Ada kabar baru tentangmu dan Nick?", tanyanya, seakan mengerti bahwa ada sesuatu yang ingin kusampaikan tentang diriku dan Nick. "Bagaimana tur kampus kalian hari itu?"
Aku terdiam sejenak. Lalu menarik nafas dalam-dalam. "Menyenangkan. Nick mengajakku berjalan-jalan menyusuri area kampus."
"Lalu?"
"Dia juga mengajakku ke rumahnya.", jawabku.
Nina sepertinya terkejut. Tidak heran, aku memang belum menceritakan padanya sama sekali tentang apa yang terjadi hari itu.
"Wah, aku tidak menyangka kalian sudah bergerak sejauh itu. Lalu apa yang terjadi? Apa kalian sudah berciuman?", tanya Nina, terlalu terang-terangan.
"Hampir.", jawabku. Aku tidak punya pilihan lain selain berkata jujur.
"Nora!", pekiknya, lalu tertawa puas. "Kamu harus menceritakan padaku semuanya.", paksanya.
"Ehm, baiklah.", jawabku, pasrah. "Jadi, setelah kami menyelesaikan tur kampus berdua, Nick mengajakku mampir ke rumahnya untuk makan siang. Dia membuat roti sandwich. Setelah itu kami mengobrol—dia bercerita tentang kehidupannya. Obrolan kami pun semakin intens dan dalam. Lalu, Nick sepertinya terbawa suasana, ia hendak menciumku. Tapi, aku refleks memundurkan tubuhku. Jadi, ia berhenti. Setelah itu, Nick mengantarku pulang dan meninggalkan kecanggungan diantara kami.", jelasku.
"Apa yang membuatmu menolak Nick menciummu?", tanya Nina.
"Aku takut, Nina.", jawabku, jujur. Kurasa inilah saatnya aku menceritakan tentang kenangan masa laluku pada Nina.
"Apa yang kamu takutkan, Nora?"
"Nina, ada sesuatu tentangku yang belum kuceritakan padamu. Dan, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakannya."
"Ada apa, Nora?", tanya Nina, penasaran.
"Nina, sebenarnya aku memiliki kenangan masa lalu yang selama ini selalu menghantuiku, meskipun aku sudah bersusah payah melupakannya. Kenangan masa lalu itu tentang seseorang yang dulu pernah kucintai dan mencintaiku, namun tiba-tiba saja ia menghilang, meninggalkanku, tanpa sepatah katapun.", kataku, berusaha menjelaskan perlahan, sambil menahan perasaan yang masih terasa menyakitkan, saat aku kembali mengingat kenangan demi kenangan di masa lalu itu.
"Pelan-pelan, Nora! Jangan memaksakan diri jika kenangan itu terlalu sulit untuk diceritakan.", sahut Nina, dengan nada khawatir.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan ceritaku. "Dulu, di tahun pertamaku SMA, aku mengenal seorang pria yang baik, hangat dan menyenangkan. Dia adalah seorang siswa tahun ketiga, namanya Christian. Dia adalah pria pertama yang mendekatiku. Karena, saat itu aku adalah seorang siswi kutu buku, pendiam dan membosankan. Bahkan, aku tidak memiliki teman seorangpun. Hanya dia yang bisa menembus dinding pembatas menuju duniaku, dan akhirnya membuatku jatuh cinta padanya. Karena kehadirannya, hidupku menjadi lebih berwarna. Singkat cerita, kami akhirnya saling mencintai dan memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan— yang sangat manis dan indah pada awalnya. Bahkan kami memiliki mimpi-mimpi besar bersama. Namun, setelah berbulan-bulan kami menjalani hubungan, berbagi suka duka, dia tiba-tiba menghilang—entah kemana. Aku ditinggalkan, ketika perasaanku padanya sudah terlalu dalam."
Nina terdiam sejenak. Mungkin ia tidak menyangka aku menyimpan kenangan masa lalu semenyedihkan itu.
"Nora, hatimu pasti terluka untuk waktu yang cukup lama. Kenanganmu bersamanya pasti selalu membuatmu hancur berkali-kali, dan menghantuimu selama ini. Sekarang aku mengerti, kenapa kamu merasa takut dan khawatir tentang kedekatanmu dengan Nick."
"Ya, Nina. Setiap kali aku berusaha untuk menerima orang baru, kenangan itu selalu muncul, menghantuiku, hingga membuatku takut dan khawatir untuk merasakan perasaanku yang sebenarnya."
"Aku tahu, semua itu pasti sangat berat untukmu. Kamu sudah melaluinya dan bertahan hingga di titik ini. Nora, aku berjanji akan membantumu untuk sembuh dan benar-benar melupakan kenangan masa lalumu itu. Kamu tidak akan melaluinya sendiri lagi. Karena, aku akan menemanimu melewati semua itu."
"Trims, Nina."
"Sama-sama, Nora."
"Lantas, aku harus bagaimana dengan perasaanku pada Nick, Nina?"
"Sekarang, aku ingin kamu jujur padaku. Apa yang sebenarnya kamu rasakan pada Nick?"
Aku terdiam, mencoba berpikir sejenak. Menyuruh suara di dasar lubuk hatiku untuk memberitahuku apa yang sebenarnya kurasakan pada Nick.
"Cobalah jujur pada hatimu sendiri, Nora!", seru Nina, mengingatkanku.
"Entahlah, Nina. Berada di dekat Nick dan menghabiskan waktu bersamanya—rasanya begitu nyaman dan damai. Kehadirannya memberiku rasa aman, yang tak bisa kujelaskan."
"Aku yakin, perasaan yang masih semu itu adalah cinta, Nora. Percayalah pada hatimu! Yang bisa kamu lakukan saat ini hanyalah memberinya ruang dan waktu."
"Aku akan melakukannya, Nina.", kataku, tersenyum kecil.
Setelah obrolan kami berakhir, aku masuk ke dalam rumah. Sebab, hembusan angin malam kian menusuk tajam. Membawa suasana angkuh, kelam dan sunyi.
Saat aku merebahkan tubuhku di atas ranjangku yang hangat, tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di atas nakas di samping ranjang bergetar. Menandakan ada pesan masuk yang entah dari siapa. Semoga saja dari seseorang yang ada di dalam ruang ekspektasiku.
Aku memaksa tubuhku untuk bangkit dari posisi tidur, lalu menyambar ponsel dengan gerakan cepat. Dengan tidak sabaran aku menatap layar ponsel yang baru saja kunyalakan. Ternyata benar, pesan masuk itu dari Nick.
'Hai, Nora! Maaf baru menghubungimu lagi. Sejujurnya aku takut dan khawatir kamu tidak mau berbicara denganku lagi. Sepertinya aku memang pria pengecut. Tapi kuharap kamu tidak menyesal sudah mengenalku.'
Aku membaca pesan dari Nick— yang terasa penuh penyesalan, kerisauan. Ia mengkhawatirkanku yang mungkin akan berubah setelah ia mencoba untuk menciumku. Sementara aku mengkhawatirkannya yang mungkin suatu hari nanti akan berubah dan meninggalkan luka.
"Apakah aku akan terlihat terlalu mudah jika langsung membalasnya? Tapi kalau aku diam, apakah itu akan adil untuk Nick? Sungguh, aku tidak ingin mengulang luka yang dulu.", gumamku pada diri sendiri.
Setelah beberapa saat berada dalam kebimbangan. Akhirnya kuputuakan untuk membalas pesan darinya— perlahan. Dan, kubaca berulang kali isi pesanku sebelum mengirimkannya pada Nick.
'Aku tidak pernah bilang kalau aku menyesal sudah mengenalmu, Nick.'
'Memang, Nora. Tapi aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman. Maaf.'
'Bukankah kamu sudah menjelaskan padaku kalau kamu hanya terbawa suasana?'
'Ya, memang.'
'Kalau begitu, mari kita melupakan apa yang terjadi hari itu. Aku tidak mau kita menjadi saling canggung seperti ini. Lagipula, kamu masih berhutang padaku untuk mengajakku ke kantin kampus.'
'Baiklah. Trims, Nora.'
'Sama-sama, Nick'
'Oh ya, kemejamu masih disini. Hari itu aku lupa mengembalikannya padamu.'
'Tidak masalah, Nora. Kamu bisa mengembalikannya lain kali.'
'Baiklah. Lusa aku akan berkemas dan mulai pindah ke asrama kampus. Mungkin aku bisa mengembalikannya saat perkuliahan dimulai.'
'Baiklah. Kita akan bertemu nanti. Dan, aku akan memenuhi janjiku padamu, untuk mengajakmu ke kantin kampus. Bagaimana?'
'Hmm, kurasa ide yang bagus, Nick. Trims.'
'Sama-sama. Sampai jumpa di kampus, Nora!'
Begitulah akhir dari percakapan kami melalui pesan. Aku merasa lega, karena alasan Nick belum menghubungiku adalah sebab perasaan bersalahnya. Bukan karena prasangka buruk yang sudah membayangi pikiranku sejak kemarin.
Nina benar. Mungkin aku harus memberi ruang dan waktu untuk hatiku—untuk sembuh dan menerima perasaan yang baru, untuk tumbuh dan mencintai orang yang baru. Aku akan membiarkannya, takkan lagi menghalanginya.
Kurasa Jenny pun benar. Nick bukanlah Chris. Dan aku yang sekarang bukan lagi aku yang dulu. Jadi, semuanya bisa jadi akan berbeda. Mungkin ini hanya ketakutanku saja. Mungkin, bersama Nick aku tidak akan terluka lagi, tapi justru akan sembuh. Kenangan masa lalu itu mungkin tidak akan bisa benar-benar pergi, tapi aku bisa memilih untuk tidak lagi membiarkannya menggenggam tanganku saat aku mencoba menuju kebahagiaanku.