Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.
ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Kilat petir merunduk di balik awan ketika rombongan kecil itu menyelinap lewat taman paviliun bunga teratai. Air kolam bergetar, dedaunan meneteskan embun; di antara lampion-lampion yang berkibar, bayangan mereka bagai dua ekor harimau yang meluncur tanpa suara. Malam itu dingin, tapi napas Lian hangat — bukan karena ketakutan, melainkan karena adrenalin yang membara. Ia tahu betul siapa dirinya sekarang: pewaris Pondasi Langit, pemegang Pedang Langit, dan bukan gadis yang mau dikorbankan begitu saja.
Feng Xuan berjalan di sampingnya dengan langkah tenang, pedangnya menggantung di pundak seperti awan gelap yang siap menurunkan hujan. Di dalam dadanya tidak ada keraguan. Ia bukan hanya pelindung; ia adalah pasangan Pedang Kembar — bersamanya, Lian adalah badai. Mereka berdua telah berlatih satu aliran sejak malam kakek penjaga, mengasah sinkronisasi hingga tiap napas dan langkah menyerupai satu mesin perang yang halus.
“Jaga jarak,” bisik Lian, senyumnya kecil namun penuh arti. “Kita masuk dengan tiga tim. Feng dan aku ke ruang persembahan. Chen Yun mengawal pintu selatan. Liu Ning, kau siapkan pasukan bayangan di selokan bawah. Yuyan, jangan berbuat konyol.”
Yuyan menggeliat, menaruh sekeranjang kecil seperti sedang mengeluh. “Konyol? Aku? Kau mau lihat aku berdansa dengan prajurit istana?”
Lian menatapnya tajam. “Kalau kau joget, aku panggil Feng kasih pelajaran.”
Yuyan tercekat, lalu menutup mulut. Itu saja cukup untuk membuatnya patuh. Di antara tawa kecil itu, rencana berjalan.
Mereka masuk lewat lorong tembus yang diberikan perempuan berkerudung. Paviliun bunga teratai tampak hening, penjaga berputar dengan sikap biasa kecuali aura tebal yang melingkupi lantai koridor: sebuah formasi energi tersembunyi, jalur-jalur rune yang memancarkan getaran tidak wajar. Feng Xuan menutup mata sekejap, tangannya menyapu udara. Dengan gerak halus, ia menyalurkan tenaga naga ke pedangnya; bilahnya berkilat tipis seperti kilau bintang. Lian merasakan nada yang sama dari dalam dirinya; Pondasi Langit merespons.
“Ini bukan sekadar penghalang fisik,” bisik Lian rendah. “Ini menyerap tenaga... sejenis cincin penahan. Kalau kita tebas sembarangan, formasi akan aktif dan memanggil penjaga bayangan lain.”
Feng Xuan mengangguk. “Kita pecahkan dengan ritme, bukan dengan kekerasan. Ikuti aku: satu-satu, selaraskan napas.”
Mereka berdua melangkah. Gerak mereka seperti tarian: langkah Lian ringan, mengalir; ayunan pedang Feng Xuan presisi, tajam. Ketika bilahnya menyapu udara, cahaya berputar di antara rune, bukan menghancurkannya, melainkan menenangkannya. Lian memasukkan alunan energi melalui pengucapan mantra yang lembut, bukan kata, melainkan nada — warisan kakek penjaga yang memadukan bela diri dengan vibrasi. Rune-rune yang kasar berubah menjadi simpul-simpul cahaya yang meremukkan diri mereka sendiri; formasi runtuh seperti sarang laba-laba yang tersapu.
Di saat itu, dari balik tirai sutra, penjaga bayangan pertama muncul: tubuhnya diselimuti darah membeku, gerakannya patah namun kuat. Ia menerjang. Tapi ketika ia ingin meraih Lian, Feng Xuan sudah berada di depan, tubuhnya seperti tembok hidup. Tebasan pertama Feng Xuan merobek udara; penjaga itu terhempas, namun tidak hancur. Ia bangkit dan menyerang lagi.
Lian tersenyum kecil. Ia menggerakkan pedangnya bukan pedang fisik, melainkan manifestasi cahaya yang lahir dari dasar Pondasi Langit. Pedang cahaya itu menari, menerobos serangan-serangan kasar dengan gerakan yang tak terduga: satu kilas, lawan terhuyung; satu sapuan, lawan terlempar; satu hentakan, ia kehilangan keseimbangan. Penggabungan gaya mereka bukan hanya kekuatan, melainkan simfoni: Feng Xuan sebagai pukulan, Lian sebagai ritme yang mengatur denyut.
Seketika, penjaga bayangan lain muncul, berbaris seperti ombak yang tak berkesudahan. Tapi setiap kali mereka menyentuh medan yang telah 'dipastikan' oleh Lian dan Feng Xuan, tubuh mereka seperti tersentuh kilat: bertenaga, namun dikembalikan ke mana mereka berasal. Dalam hitungan napas, dua puluh, tiga puluh penjaga roboh tanpa suara. Bukan karena pembantaian membabi buta mereka dilumpuhkan, dimurnikan sedikit demi sedikit, agar darah iblis yang menempel tidak menyebar.
bersambung
cerita terlihat terlalu naif