Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
✨ Versi Revisi:
***
Tengah malam, rumah Tante Mira tenggelam dalam keheningan.
Suara jangkrik terdengar nyaring dari luar, sementara angin malam menyusup lembut lewat celah jendela kayu. Semua penghuni rumah sudah terlelap—termasuk Tante Mira dan Fandi, yang akhirnya menyerah pada kantuk setelah seharian dilanda kehebohan.
Namun, Alea justru belum bisa memejamkan mata. Ia berbaring memunggungi pintu, matanya menatap kosong ke dinding, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia berusaha, bayangan Faizan yang berada hanya beberapa langkah dari kamarnya justru semakin jelas.
Bayangan itu hidup, nyata, dan menghantui.
Tiba-tiba, terdengar suara creak pelan dari arah pintu.
Alea menegang seketika. Napasnya tercekat. Suara langkah mendekat, perlahan tapi pasti, hingga akhirnya sebuah suara berat memecah sunyi malam.
“Alea…” Suaranya rendah, dalam, nyaris seperti bisikan yang menelusup ke kulit.
Alea spontan menoleh, matanya membesar.
Faizan berdiri di tepi ranjang, setengah wajahnya diterangi cahaya bulan yang jatuh dari jendela.
“M–Mas Faiz… apa yang Mas lakukan di sini?" Suaranya bergetar. Tangannya refleks menarik selimut menutupi tubuhnya, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa.
Faizan duduk di tepi ranjang dengan gerakan tenang. Sorot matanya tajam, tapi tidak lagi seganas dulu—ada sesuatu yang ia tahan. Ia menunduk sedikit, mengangkat telunjuk ke depan bibirnya.
“Tenang. Jangan ribut, nanti semua orang bangun.”
Alea menelan ludah, jantungnya berdentum cepat. Jarak mereka terlalu dekat, napas Faizan nyaris terasa di kulitnya. Ia ingin berteriak, tapi suara itu tak pernah berhasil keluar.
Faizan memandangnya lama. Tatapannya seperti membaca setiap ketakutan dan keraguan yang berputar di wajah Alea.
“Kita harus bicara,” katanya lirih tapi tegas. “Aku nggak mau tunggu besok.”
“Tolong, jangan begini…” suara Alea pecah, nyaris berbisik. “Kamu bikin aku takut.”
Faizan menarik napas panjang. Suaranya tetap terkendali, tapi matanya mengeras. “Aku cuma mau bicara. Dengar dulu, Alea.”
Alea menggenggam selimut erat-erat. Napasnya memburu, tapi ia tahu, Faizan tak akan pergi sebelum mengatakan apa yang ingin ia katakan.
Lalu, suara itu terdengar lagi—pelan, tapi sarat emosi yang ditahan. “Alea… ada hal yang harus kamu tahu.”
Alea menatapnya, ragu tapi tak bisa mengalihkan pandang.
“Mama sakit,” ucap Faizan akhirnya. “Kondisinya makin menurun. Dia… bahkan nggak mau makan kalau kamu nggak ada di sampingnya.”
Alea membeku.
Matanya melebar, dan detik berikutnya, air mata mulai menggenang.
“A–apa…? Ibu… sakit?” suaranya pecah, patah di tengah kalimat.
Faizan mengangguk, rahangnya menegang menahan emosi. “Iya. Setiap kali aku paksa Mama makan, jawabannya selalu sama:
‘Mama cuma butuh Alea, Zan. Bukan yang lain.’”
Alea menutup mulut dengan telapak tangannya, berusaha menahan isak yang tiba-tiba menyeruak.
Rasa bersalah menohok dadanya. Selama ini ia pikir dengan pergi, ia hanya lari dari Faizan. Ternyata, tanpa sadar, ia juga meninggalkan seorang ibu yang tulus menyayanginya.
Faizan menatapnya lama, suaranya kali ini lebih lembut, tapi tetap tegas. “Kalau ini cuma soal aku, silakan kamu benci. Silakan kamu lari. Tapi Mama… dia nggak salah apa-apa. Dan aku nggak sanggup lihat Mama tersiksa begini.”
Alea menangis pelan, bahunya bergetar. Tembok yang selama ini ia bangun di sekeliling hatinya mulai retak satu per satu.
Ia mengingat senyum hangat Ibu Maisaroh.
Pelukan lembut yang selalu menenangkan.
Sosok ibu yang bahkan lebih sabar dari siapapun yang pernah ia kenal.
“Kenapa Mas Faiz nggak cerita dari awal…” bisiknya lirih, suaranya tenggelam di sela isaknya.
Faizan menunduk, matanya tak lepas dari wajah Alea. “Alea… Aku mohon, pulanglah.”
Kata itu menggantung di udara, menabrak hening di antara mereka.
Alea terdiam lama. Matanya basah, tapi dalam tatapan itu ada konflik besar yang tak bisa diungkapkan kata.
Lama ia bergulat dengan pikirannya sendiri, hingga akhirnya, dengan suara yang nyaris bergetar, ia berkata, “Baiklah… Aku akan ikut Mas Faiz pulang. Besok pagi.”
Faizan tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alea dalam-dalam, seolah ingin memastikan kalimat itu nyata.
Ada sesuatu yang melintas di matanya—bukan lagi amarah, tapi lega yang samar.
“Baik. Besok pagi kita pulang,” ujarnya pelan.
Alea menunduk. Jemarinya meremas ujung selimut, matanya berkaca.
Ia masih takut pada pria itu, tapi bayangan wajah Ibu Maisaroh yang pucat jauh lebih kuat daripada ketakutannya.
Faizan berdiri perlahan. Sebelum melangkah pergi, ia menunduk sedikit, suaranya rendah tapi hangat.
“Terima kasih… Alea.”
Pintu tertutup perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan.
Alea menatapnya lama, dadanya sesak oleh perasaan yang campur aduk—antara pasrah, takut, dan rindu.
Malam itu, ia tahu satu hal:
Ketika pagi tiba, hidupnya tidak akan lagi sama.
---
🌤️ Pagi itu
Aroma nasi goreng buatan Tante Mira memenuhi dapur kecil. Suasana tampak normal—piring-piring berderak, teh panas mengepul di meja kayu sederhana—tapi di balik semua itu, hawa canggung menggantung tebal di udara.
Faizan duduk tegak di kursinya, wajahnya tenang tapi dingin. Fandi berusaha mencairkan suasana, sesekali melempar senyum pada Tante Mira.
Sementara Alea menunduk, mengaduk teh yang sudah terlalu manis hanya agar tangannya punya alasan untuk sibuk.
Tante Mira menatap mereka bergantian. Sulit baginya mempercayai bahwa lelaki berwibawa di hadapannya adalah suami dari keponakan yang selama ini terlihat begitu rapuh.
“Silakan makan yang banyak, Nak Faizan, Nak Fandi,” ucap Tante Mira, mencoba ramah.
“Terima kasih, Tante,” jawab Fandi cepat, berusaha terdengar ceria.
Faizan hanya mengangguk singkat. Gerakannya rapi, tenang, tanpa banyak kata. Alea di sisi lain masih diam, sesekali mencuri pandang ke arah suaminya, lalu buru-buru menunduk lagi.
Setelah sarapan selesai, mereka pindah ke ruang tamu. Satu tas kecil sudah siap di samping kursi—berisi pakaian dan sisa keberaniannya yang tersisa. Alea menarik napas panjang, lalu menatap Tante Mira.
“Tante… makasih banyak udah mau nerima Alea selama ini. Tapi… Alea harus pulang ke Jakarta.”
Tante Mira menatapnya kaget. “Pulang? Kenapa mendadak sekali, Nak?”
Alea tersenyum lemah, tapi suaranya mantap. “Ibu Maisaroh sakit, Tante. Beliau butuh Alea.”
Kalimat itu membuat suasana di ruang tamu berubah sunyi. Tante Mira terdiam, lalu mengangguk perlahan. Ia tahu, kepergian Alea kali ini bukan sekadar pulang—tapi menghadapi sesuatu yang selama ini ia hindari.
Faizan berdiri. Suaranya rendah tapi tegas. “Ayo, Alea. Kita berangkat sebelum siang.”
Fandi ikut bangkit, menatap Tante Mira dengan senyum tipis. “Tenang aja, Tante. Alea akan baik-baik aja.”
Tante Mira menggenggam tangan Alea erat-erat sebelum melepasnya. “Kalau ada apa-apa, pulang lagi ke sini, ya. Rumah ini selalu terbuka buat kamu.”
Alea mengangguk, menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia memeluk Tante Mira singkat, lalu berjalan keluar dengan langkah berat.
Di depan rumah, mobil hitam sudah menunggu.
Saat pintu terbuka, Alea sempat menoleh sekali lagi—melihat Tante Mira berdiri di beranda, melambaikan tangan dengan wajah sendu.
Pagi itu, jalan di depan rumah desa itu terasa panjang. Alea tahu, perjalanan kali ini bukan sekadar kembali ke Jakarta. Tapi kembali menghadapi takdir yang sejak awal memang tak pernah benar-benar ia tinggalkan.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/