Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Makan siang bersama keluarga yang kembali di adakan setiap musim panas di rumah keluarga Aliando adalah hari ini.
Saat itu, suara klakson mobil terdengar dari belakang, singkat dan tajam. Yaga menoleh ke belakang. Itu adalah mobil cadangan yang biasa dikendarai Rita. Tak lama kemudian, Rita berhenti tepat di belakang mobil Yaga dan turun dari mobil.
Sejak terakhir kali dia mengunjungi rumah mertuanya sebelum keberangkatannya keluar kota, pertemuan ini sudah cukup lama. Seperti lupa akan percakapan mereka sebelumnya, keduanya saling tersenyum dan bertatap muka dengan senyum manis.
"Ibu" Yaga mengulurkan tangannya lebih dulu, dan Rita dengan senang hati menyambutnya, menggandeng lengan Yaga
"Bagaimana dengan Ayah mu?"
"Hmm, dia pasti akan datang sendiri."
Yaga tersenyum pendek dan dengan santai mengajak Rita masuk. Mereka melintasi tempat parkir, menyusuri kebun yang dipenuhi dengan pepohonan hijau, sambil berbicara tentang berbagai hal kecil. Tiba-tiba Rita menatap Yaga dengan pandangan yang dalam.
"Ada yang ingin ibu tanyakan."
"Ya, silahkan ibu."
Yaga tersenyum lebar mendengar jawaban singkat itu. Senyum Rita pun semakin lebar.
"Apa yang kamu bicarakan dengan ayah mertua mu, hm?"
Yaga tertawa kecil. Sepertinya Rita sudah mendengar tentang tawaran yang dia sampaikan mengenai proyek tender tersebut. Mereka berdua memang jarang berbicara secara langsung, jadi rasanya aneh juga mengingat kapan mereka sempat membahas hal tersebut.
"Hubungan kalian semakin membaik, ya?"
Dengan sikap yang santai, Yaga hanya mengangguk. Namun Rita tidak berencana melewati begitu saja dan berhenti sejenak, menatap Yaga dengan tatapan serius.
"Apa maksudnya ini?"
Suara Rita yang lembut, namun dengan tatapan tajam, menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan topik ini lewat begitu saja.
"Kenapa kamu melarang ibu untuk membawa istri mu?"
Yaga mengerutkan kening.
"Setelah bertindak konyol, apa Ibu akan merepotkan istriku lagi?"
"Apa?"
"Jangan khawatir, itu tidak akan terjadi."
"...."
"Ibu juga sibuk, jadi seharusnya tidak ada waktu untuk itu."
Yaga secara tidak langsung merendahkan, seolah-olah dia sedang mengejek, 'Apa ibu tidak punya pekerjaan lain?' Meskipun Yaga tidak bermaksud demikian, itulah yang terdengar oleh Rita.
Wajahnya seketika memerah karena malu.
"Masuklah dulu."
Yaga memberikan isyarat ke arah ruang makan dan berbalik hendak pergi. Melihat hal itu, Rita melemparkan tas kecil yang ada di tangannya.
Tas kecil itu mengenai bahu kanan Yaga dan jatuh ke lantai. Meski begitu, Rita masih belum merasa puas dan terus mendengus kesal. Dari kejauhan, terdengar langkah kaki mendekat.
"Istriku, anakku.."
Itu adalah Pratama, yang sudah lama datang lebih awal.
Dengan senyum cerah, dia berjalan mendekati mereka. Rita seketika berbalik, seolah-olah bertemu dengan sekutu.
"Sayang, kamu..."
Dia ingin mengatakan sesuatu, namun tak sempat melanjutkan kata-katanya. Pratama, setelah melihat Rita dan tas yang terjatuh di lantai, hanya tersenyum lembut.
Tampaknya dia bisa merasakan ketegangan di antara ibu dan anak itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa dan masuk ke dalam ruang makan seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"......"
Rita terus menatap punggung Pratama dengan pandangan kosong. Bibirnya gemetar, entah karena rasa jengkel atau malu, perasaan yang sulit dimengerti.
Yaga hanya memperhatikannya dengan tatapan serius.
Yaga membungkuk dan mengambil tas Rita yang terjatuh di lantai. Ketika dia menyerahkan tas itu kepadanya, mata Rita memancarkan tatapan tajam.
Itu adalah pandangan yang sulit dipahami.
Keduanya terdiam lama, saling bertatapan tanpa kata. Akhirnya, dengan mata yang penuh penyesalan, Yaga mengulurkan tangannya ke arah Rita.
Dia dengan lembut mengelus bahunya, dan Rita terkejut, tubuhnya sedikit gemetar.
"Ibu, ayo kita pergi."
Suara Yaga terdengar lembut, mencoba meredakan ketegangan. Dia tahu jika Rita terus bertahan, itu hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sekarang, Yaga terasa seperti anaknya yang sebenarnya bagi Rita.
Dulu dia penuh dengan kata-kata tajam, kini dia menghela napas berat, dan dadanya terasa sesak, penuh dengan emosi yang tak bisa ditahan.
Yaga berusaha mencairkan suasana dengan sedikit humor, membuat ekspresi wajahnya kaku.
"Barusan sepertinya ibu sedikit tersinggung, ya?"
"..."
"Aku juga marah pada diri sendiri karena tidak bisa memberi kepercayaan kepada Ibu."
"Tapi itu bukan maksud Ibu!"
"Kalau begitu, maksudnya apa?" Tatapan Rita terlihat semakin ragu, dan suaranya yang sebelumnya tajam, kini terdengar lebih terisak, seolah menahan perasaan.
"Apa kalian bertiga diam-diam bersekongkol tanpa memberitahu ibu...?"
"Aku rasa aku sudah memberi tahu Ibu pertama kali."
Yaga menatap Rita seolah ingin meyakinkannya. Setidaknya, baginya, dia lebih memilih kedua orangtuanya daripada ayah mertuanya.
Itu adalah kepercayaan yang telah dia berikan, dan itu juga yang dia harap tidak dikhianati.
Rita menghela napas pendek dan menutup matanya sejenak, lalu membuka kembali dengan pandangan yang lebih lembut.
Sepertinya dia mulai menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa membalikkan keinginan Yaga.
"...Sebenarnya, ibu juga merasa bangga padamu. Tapi, apa yang ibu lakukan pada Almaira sampai-sampai ibu harus berhadapan langsung dengan ayah mertua mu."
"Ibu, memang terlalu fokus pada rencana ibu."
"Kamu!"
"Ya, ibu berlebihan."
Yaga menatap Rita seolah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia mengangkat bahu, tak peduli dengan perasaan Rita, seolah berkata, "Begitulah adanya."
Rita berpaling dengan kesal, namun Yaga dengan tenang menarik lengannya dan membawa Rita lebih dekat. Meskipun wajah Rita masih menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan, pada akhirnya dia memilih untuk menerima ajakan Yaga untuk kembali pada hubungan yang lebih normal, seperti biasa.
Yaga tersenyum tipis, dan dengan lembut menarik Rita ke dalam, menuju ke ruang makan. Mereka berdua kembali terlihat seperti keluarga yang hangat, meski penuh dengan ketegangan dan kata-kata yang belum terselesaikan.
Setelah makan, Yaga memasuki bagian dalam taman rumah Aliando dan mengeluarkan hpnya.
Dia berpikir bahwa saat ini Almaira mungkin sedang bersantai dan mengobrol dengan Anita, jadi dia memutuskan untuk meneleponnya.
Musim semi hampir berakhir, dan musim panas sudah di depan mata.
Yaga menatap langit senja yang dihiasi oleh matahari yang semakin terbenam, mendengarkan nada sambung telepon. Itu bukan karena diblokir. Telepon masih bisa tersambung, tetapi Almaira tidak mengangkatnya.
Tak lama kemudian, panggilan berakhir dan beralih ke pesan tidak terjawab. Yaga, tanpa ragu, menelepon lagi. Nada sambung yang sama terdengar lama, dan telepon kembali berakhir ke pesan tidak terjawab. Gadis itu masih diam tanpa memberikan jawaban.
Yaga tersenyum kecil, teringat dua minggu yang lalu saat dia dengan senang hati melihat panggilan dari Almira yang datang begitu sering, merasa puas dan sedikit terhibur.
Dia menghela napas ringan dan menyimpan hpnya di saku jaketnya, seolah-olah memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut.
***
Suamiku
Nama itu berkedip di layar, membuatnya membeku. Dering telepon terus berlanjut, memenuhi keheningan ruangan apartemen. Almaira hanya bisa menatap hpnya tanpa bergerak sedikit pun.
Saat telepon akhirnya berhenti berdering, sebelum dia bisa menarik napas lega, hp kembali bergetar. Dia bisa merasakan tatapan Anita yang memperhatikan dengan seksama.
Almaira tahu apa yang dia pikirkan. Dia tahu, dia tidak sedang melihat hp. Dia sedang melihat suaminya di balik layar itu.
Almaira segera melangkah mendekati hp dan meraihnya. Tepat saat menggenggamnya, notifikasi pesan muncul di layar.
[Aku di depan gerbang utama]
Almaira mengernyit. Tanpa berpikir panjang, berjalan ke jendela dan mengintip ke luar. Dan memang benar. Di bawah sana, laki-laki itu sedang bersandar di mobilnya, dengan santai mengetik di hpnya.
Begitu dia membawa hpnya ke telinga, telepon kembali berdering. Almaira menggigit bibir, menatap laki-laki di bawah sana.
Saat dia terus menatapnya dengan kebingungan, Yaga yang tadi bersandar di mobil kini berdiri tegak. Dia perlahan berbalik, pandangannya langsung tertuju ke jendela tempat Almaira berdiri. Tatapan mereka bertemu dalam bayangan kaca.
Dia sedikit memiringkan kepalanya, ekspresinya seakan berkata, "Angkat teleponnya."
Almaira menutup mata sejenak sebelum akhirnya menekan tombol terima panggilan.
Saat dia membawa hp ke telinga, Almaira melirik ke belakang, bertemu tatapan Anita yang masih menunggu.
"…Halo?"
Suara laki-laki itu terdengar lembut di telinganya.
"Sudah makan?"
Almaira menggigit bibir, tidak menjawab.
"Turunlah, mari makan malam bersama."
Masih terlalu awal untuk makan malam. Dia tidak tahu apakah ini hanya strategi atau karena dia ingin menghindari perhatian Anita
Tapi apa pun niatnya, semuanya terlalu tiba-tiba. Almaira bahkan belum menyelesaikan pikirannya untuk membantu Anita membuat novel.
Bagaimana mungkin dia bisa duduk bersamanya untuk makan malam?
"…Tidak mau?"
Suara tawa ringan terdengar dari seberang telepon.
"Aku akan mentraktir mu makanan enak."
Suara lembutnya yang menggoda membuat dadanya berdebar. Almaira mengepalkan tangan di atas jendela.
"Kak Aira."
Almaira tak menyangka Anita akan tiba-tiba melangkah mendekat dari belakangnya.
"Eh?"
Refleks, dia menoleh dan menjawab, baru kemudian menyadari betapa canggungnya situasi ini. Tatapan Anita dipenuhi tekad, seakan dia benar-benar ingin membantu Almaira.
Setidaknya, begitulah yang terlihat di mata Almaira.
"Kak Aira, ada apa hm?" ujar Anita. "Ada sesuatu yang terjadi?"
Almaira segera menggeleng kuat, namun Anita tidak mundur. Dia bahkan melirik ke arah jendela, memastikan bahwa memang benar Kakaknya sedang berdiri di depan gerbang.
Pikiran Almaira rasanya buntu saat mengingat bagaimana sikap Anita selalu berlebihan setiap kali Kakaknya selalu iseng menjahilinya.
Entah apa yang dipikirkan gadis itu, Almaira buru-buru menarik lengan baju Anita, mencoba menghentikannya agar tidak bertindak seenaknya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat Yaga yang kini sedikit memiringkan kepala, lalu terdengar suara tawa pelan di ujung telepon.
Nada suaranya terdengar lembut, tapi justru itu yang membuat Almaira semakin tegang.
_ Almaira.
Almaira tetap diam.
_ Turunlah.
Sekali lagi, dia tak menjawab.
_ Sebelum aku naik ke atas.
Deg. Jantungnya seolah melompat keluar.
_ Aku yang akan datang, atau kamu yang akan turun, hm?
Nada suaranya terdengar santai, seperti dia sedang menawarkan pilihan sederhana.
Tapi Almaira tahu, ini bukan sekadar pilihan. Pikirannya melayang, membayangkan kemungkinan yang bisa terjadi.
Dia menghela napas, tapi tetap saja, Yaga sudah menunjukkan semacam "pertimbangan" dengan hanya menunggu di luar.
"…Aira akan turun,"
jawabannya akhirnya.
_ Bagus. Jangan terburu-buru, masih banyak waktu.
Suaranya terdengar seperti peringatan terselubung, tapi sekaligus juga seakan benar-benar mengkhawatirkannya.
Dengan ekspresi masam, Almaira menatap ke luar jendela. Meski jarak mereka cukup jauh, Yaga tetap mencolok.
Posturnya yang tinggi, cara berdirinya yang tegak, semuanya membuatnya tampak tak tergoyahkan.
Itulah masalahnya.
Meskipun dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah bentuk permintaan maafnya, laki-laki itu tidak tampak seperti seseorang yang benar-benar peduli padanya. Sebaliknya, rasanya seperti dia sedang mengumumkan sesuatu kepada dunia.
_ Turunlah.
Yaga tertawa kecil, lalu menutup telepon tanpa memberi ruang untuk negosiasi.
Almaira menurunkan tangannya dengan perasaan pasrah. Saat dia berbalik, tatapan Anita masih mengarah padanya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Rasanya Almaira malu sekali memperlihatkan sisi dirinya yang seperti ini.
"Terima kasih untuk selama beberapa hari ini" ucapnya pelan.
Dia tahu Anita pasti merasa kesal mendengar percakapannya dengan Yaga seolah memaksa, tapi menjelaskan lebih jauh hanya akan semakin mempersulit keadaan.
"Beneran, Kak Aira tidak apa-apa kan?"
"Ya."
Namun, tatapan Anita tetap sama. Dia tidak berkata apa-apa, tapi seolah sedang menatap dirinya yang bodoh, yang begitu mudah di kendalikan oleh Kakaknya.
***
Angin berembus lembut melewati Yaga, dia bertukar pandang dengan Anita sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis, seolah menyampaikan rasa penuh kemenangan.
Sebenarnya, tak ada alasan baginya untuk tidak tersenyum seperti itu. Jika mengingat siluet Anita yang berdiri tegap di samping Almaira, seakan bersiap menghadapi pertarungan yang tak terkalahkan, Yaga nyaris tertawa kecil.
Namun tekad macam apa itu? Menggelikan, sekaligus mengganggu.
Saat itu juga, Almaira melangkah keluar dari gedung. Yaga sempat mengernyit. Bukankah dia sudah bilang agar tidak terburu-buru? Namun gadis itu tetap berjalan tergesa-gesa, dengan langkah panjang.
Dia melangkah mendekat, tetapi begitu jarak mereka semakin dekat, Almaira langsung menatapnya tajam, seperti seekor kucing liar yang siap mencakar.
"Masuk ke mobil,"
ucap Yaga santai.
Namun, Almaira melewatinya begitu saja, tatapannya penuh peringatan, lalu berjalan ke arah mobil yang diparkir tak jauh dari sana.
Yaga menatap punggungnya yang tipis, kemudian mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku jasnya. Begitu Almaira hendak membuka pintu, Yaga menekan tombol kunci.
Klik.
Pintu terkunci rapat. Almaira berbalik, menatapnya dengan mata menyala penuh kemarahan, seolah ingin melemparkan sumpah serapah ke arahnya. Melihat reaksi itu, Yaga hanya tertawa kecil dan berjalan mendekatinya. Dengan santai, dia memberi isyarat dengan dagunya, sebuah isyarat yang jelas seperti mengatakan,
Aku yang akan membukanya, jadi kamu minggir dulu.
Almaira mengerutkan kening, tatapannya semakin menusuk.
"Ini kekanak-kanakan."
"Apa boleh buat."
Dengan tenang, Yaga berdiri di depannya, tepat di antara Almaira dan jendela tempat Anita masih berdiri.
Sekarang, pemandangan Anita terhalang sepenuhnya. Dalam celah itu, Yaga bisa merasakan imajinasi Anita terhadapnya cukup menakutkan.
Menahan godaan untuk tertawa, Yaga menunduk sedikit, memperhatikan wajah Almaira yang masih merah karena emosi.
"Almaira, kamu tidak mau masuk?"
"...."
"Aku sih tidak masalah kita bicara di sini."
Tapi kamu pasti tidak ingin, bukan? Tatapan itu membuat raut wajah Almaira semakin keruh.
"Masuk. Kamu bisa marah di dalam."
Yaga tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan, membelai pipinya dengan lembut. Almaira langsung tersentak, matanya membulat, lalu dengan kasar menepis tangannya.
Dia mundur selangkah, tatapannya tajam dan bibirnya tertutup rapat, tapi rona merah di pipinya tidak bisa dia sembunyikan.
Yaga memperhatikan dengan penuh minat. Tatapan matanya menyipit, menelusuri wajah Almaira yang berusaha keras mempertahankan ekspresi datarnya.
Pipinya masih terasa hangat di ujung jarinya. Sungguh menyenangkan, melihatnya merona seperti itu.
Dengan santai, Yaga membuka pintu kursi penumpang. Dia bahkan menawarkan tangannya untuk membantunya naik, tetapi tentu saja, Almaira mengabaikannya.
Dengan kepala tegak, dia masuk sendiri ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman dengan ekspresi tak terbaca.
Saat itu, pikirannya sudah mulai berjalan ke arah yang tidak-tidak. Membayangkan gadis itu terbaring di kursi belakang, membayangkan bagaimana mobil ini bisa bergoyang cukup kuat jika dia menginginkannya.
Baru sekadar pikiran, tetapi efeknya terasa nyata.
Dia menarik napas pelan, lalu menutup pintu mobil sebelum beranjak ke sisi lain. Namun sebelum masuk ke kursi pengemudi, dia sempat menoleh kembali ke jendela tempat Anita masih berdiri.
Senyum tipis terbentuk di bibirnya. Dengan tenang, dia mengangkat dagunya sedikit, seakan mengucapkan salam perpisahan kepada gadis itu.
Kemudian, tanpa terburu-buru, dia berjalan ke kursi pengemudi.
**
Berapa kali harus Aira katakan? Perasaan Aira tidak akan berubah.
Seharusnya, itulah yang ingin Almaira katakan.
Namun, bahkan sebelum sempat meluapkan kemarahannya, tatapannya tanpa sadar sudah mengikuti gerakan tangan Yaga, yang tengah membuka satu per satu kancing jasnya setelah duduk di kursi pengemudi.
"Kamu seharusnya makan dengan baik. Belum berapa bulan, tapi kamu sudah kurus begini." Dengan santai Yaga bicara, seolah perpisahan itu tidak pernah terjadi. "Kesal karena aku tidak menjawab telepon?"
"Untuk apa Aira kesal?"
"Bagus, karena aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Almaira kehilangan kata-kata. Bukan hanya karena pengakuan yang tiba-tiba, tetapi juga karena sesuatu yang lain.
Tatapannya membeku. Di paha kanan laki-laki itu tampak ada sesuatu yang menegang, jelas terlihat meskipun tertutup celana jasnya yang rapi.
Dia menutup matanya sejenak, mencoba memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi.
Saat dia membuka mata kembali, Yaga menatapnya dengan senyum tipis.
"Kenapa, Almaira?"
Seolah tersadar, Almaira buru-buru memalingkan wajah ke depan, berusaha bertindak seakan dia tidak melihat apa-apa.
Namun suara laki-laki itu tetap terdengar, penuh nada menggoda.
"Siapa bilang kita mau makan? Kamu pasti lelah kan?"
"Apa?"
Nada ketusnya tak membuat Yaga gentar. Justru, senyum laki-laki itu semakin melebar. "Jadi lebih baik langsung ke hotel saja"
Almaira langsung mengerutkan kening.
"Tidak! Aira mau turun."
"Mau ke mana?"
Begitu Almaira hendak membuka sabuk pengamannya, Yaga dengan cepat menangkap tangannya, menahannya erat.
Sebelum dia sempat memprotes, mobil sudah melaju keluar dari area apartemen, meninggalkan gedung itu di belakang mereka.
Wajah Almaira memerah karena marah, tetapi Yaga hanya tersenyum santai, seolah-olah semua ini hanyalah permainan baginya. Seandainya ini hanya sekadar lelucon, mungkin dia bisa mengabaikannya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, bukan mereda, melainkan semakin menjadi.
"Jangan terus melirik kalau kamu tidak ingin menyentuh."
Almaira menggigit bibir, menahan diri.
"Aira tahu, sekarang lepaskan tangannya."
"Tidak mau."
Sambil tertawa kecil, Yaga menarik tangannya lebih dekat. Mata Almaira membelalak, tubuhnya refleks menegang.
Dia langsung mengepalkan tangannya, mencoba menjauh, tetapi hal itu hanya membuat Yaga semakin terhibur. Melihat reaksi paniknya, laki-laki itu terkekeh pelan. Sejenak, tatapan Yaga menjadi lembut. Hangat, bahkan. Dan itu, entah bagaimana, justru membuat hati Almaira bergetar.
Tatapan mereka bertemu. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tidak bisa menutupi sorot matanya yang goyah.
Saat lampu lalu lintas berubah, Yaga mengalihkan pandangan, tetapi jemarinya yang masih menggenggam tangan Almaira mulai bergerak perlahan, mengusap punggung tangannya dengan cara yang hampir membuatnya kehilangan napas.
Gerakan itu lambat. Menggoda. Melewati setiap jari, menyentuh setiap lekuk tangannya, seakan-akan menikmati setiap inci kulit yang disentuhnya.
Almaira merasakan tenggorokannya mengering. Udara di dalam mobil terasa lebih panas dari sebelumnya. Beberapa kali tatapan mereka bertemu di udara, tetapi tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata pun.
Hanya napas Yaga yang terdengar sedikit lebih berat. Ketika Almaira mencoba menarik tangannya, laki-laki itu kembali menggenggamnya dengan kuat sesaat, sebelum akhirnya melepaskannya perlahan.
Seiring dengan itu, mobil melaju lebih cepat di jalanan kota.
***