Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan yang Menganga
Pagi itu, Aruna duduk di meja makan dengan tatapan kosong. Kopi di cangkirnya sudah dingin, tapi tangannya tak bergerak sedikit pun.
Leonardo masuk, masih dengan jas hitamnya, wajahnya tenang seperti biasa. “Kau tidak sarapan?” tanyanya lembut.
Aruna menatapnya sebentar, lalu menunduk. “Aku tidak lapar.”
Keheningan jatuh. Lalu, pelan tapi tajam, Aruna berkata:
“Semalam… aku melihat mobil anak buahmu. Ada darah di kursinya, Leo.”
Leonardo berhenti sejenak, tapi dengan cepat senyum tipis terukir di wajahnya. “Itu bukan urusanmu.”
Aruna menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Bukan urusanku? Kalau itu karena aku? Kalau semua darah itu mengalir hanya karena kau ingin menjagaku tetap di sisimu?”
Nada Aruna meninggi, penuh luka. “Apa artinya aku bagimu, Leo? Wanita yang kau cintai… atau alasanmu menenggelamkan dunia dalam darah?”
Leonardo mendekat, menahan bahunya dengan kuat. “Kau tidak mengerti, Aruna. Dunia ini tidak pernah membiarkan kita hidup tenang. Aku hanya melakukan apa yang perlu.”
Aruna meronta, air matanya jatuh. “Tidak, Leo! Kau melakukan itu karena kau tidak bisa melepaskan kendali! Karena kau lebih mencintai obsesimu daripada aku!”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada peluru. Untuk sesaat, wajah Leonardo membeku.
----
Ketegangan itu tidak berhenti di meja makan. Seharian penuh, Aruna menghindari Leonardo. Ia mengurung diri di kamar, menolak makan, bahkan menolak saat Leonardo mengetuk pintu dengan suara lembut.
Marco, yang melihat semuanya, mulai sadar inilah celah. Di balik pintu, ia mendengar tangisan Aruna. Di ruang bawah, ia melihat Leonardo duduk sendirian, meremas gelas hingga hampir pecah.
Retakan sudah ada, pikir Marco. Dan musuh pasti akan menggunakannya.
---
Musuh yang Mengintai
Di Roma, Elena menerima kabar dari mata-mata yang menanamkan informasi lewat jaringan kecilnya. “Ada ketegangan di vila Palermo. Aruna mulai mencurigai Leonardo.”
Elena menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. “Bagus. Itu yang kita butuhkan. Retakan kecil bisa menghancurkan dinding terbesar.”
Seorang agen berkata ragu, “Tapi De Santis masih terlalu kuat untuk dihadapi langsung.”
Elena menatap foto Leonardo di mejanya, tatapannya dingin. “Maka kita tidak menyerangnya langsung. Kita biarkan wanita itu yang menghancurkannya dari dalam.”
---
Malam itu, Aruna akhirnya keluar dari kamarnya. Ia mendapati Leonardo sedang berdiri di balkon, menatap laut dengan sebatang rokok di tangan.
“Leo…” suaranya lirih.
Leonardo menoleh, sorot matanya masih lembut. “Aruna, kau akhirnya keluar.”
Aruna menggigit bibir. “Kalau kau benar mencintaiku… buktikan. Berhenti membunuh, berhenti mengancam dunia.”
Leonardo terdiam lama, lalu mendekat dan menggenggam tangannya. “Aku tidak bisa. Karena dunia tidak akan berhenti mengincar kita. Kalau aku berhenti, kau yang akan hancur lebih dulu.”
Aruna menatapnya tajam, air matanya jatuh. “Kalau begitu… yang kau cintai bukan aku. Yang kau cintai adalah perang mu.”
Ia melepaskan tangannya dari genggaman Leonardo dan masuk ke kamar, meninggalkannya di balkon.
Untuk pertama kalinya, Leonardo tidak mengejar. Ia hanya berdiri, menatap laut gelap dengan wajah tanpa ekspresi.
---
Beberapa hari kemudian, rumor mulai beredar di jalanan Palermo. Ada pihak ketiga—sisa-sisa mafia lama yang pernah ditaklukkan De Santis—yang mendengar kabar tentang retaknya hubungan antara bos dan wanitanya.
Salah satu dari mereka, keluarga mafia Moretti, melihat kesempatan.
“Kalau kita bisa mendekati wanita itu… kalau kita bisa membuatnya berbalik melawan De Santis…” kata Don Moretti sambil menyalakan cerutunya, “maka setengah perang sudah kita menangkan.”
---
Di vila , Aruna menatap dirinya di cermin. Matanya bengkak, wajahnya pucat. Ia berbisik pelan:
“Kalau aku tetap di sisinya, aku akan ikut tenggelam. Tapi kalau aku pergi… mungkin dia akan membunuh siapa saja.”
Di saat yang sama, Leonardo duduk di ruang kerja, menatap peta Eropa yang kini penuh tanda merah. Tangannya mengepal di atas nama Interpol dan Moretti.
Marco, berdiri di sudut ruangan, menyaksikan kedua dunia itu semakin terbelah. Dan dalam hati kecilnya, ia tahu: waktu pengkhianatan semakin dekat.
Dan dari kejauhan, Don Moretti tersenyum sinis, menatap foto Aruna di mejanya. “Semua hanya masalah waktu. Luka di hati wanita itu adalah senjata paling mematikan.”
Malam Palermo pun berakhir dengan sunyi yang menyesakkan—sebelum badai besar benar-benar datang.