Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Rasanya Sungguh...
Nissa melangkah masuk ke dalam kamar mandi tersebut dengan langkah terseret. Kedua matanya terus mengerjap, kepalanya beberapa kali memutar untuk menatap sekeliling, sembari menekan kedua tangannya yang memeluk pakaian ganti di dada, tepat di tempat dimana jantungnya berdegup tak karuan.
Dinding kamar mandi yang terbuat dari kaca, yang bahkan dari tempat tidur sekali pun bisa terlihat jelas apa saja yang sedang dilakukan oleh orang yang sedang berada di kamar mandi tersebut membuat Nissa rasanya ingin menangis.
Memang saat ini hanya ada dirinya sendiri saja di dalam kamar karena suaminya kurang lebih satu jam yang lalu berpamitan ingin melihat salah tempat usaha yang katanya ada sedikit masalah, tapi tetap saja Nissa merasa sangat malu. Belum pernah sekali pun dirinya berada di situasi yang membuat merasa sangat tidak nyaman seperti ini.
Namun, Nissa tentu tak berani untuk protes dan meminta tidur di kamar lain saja. Selain tidak enak hati merepotkan sang suami yang sudah begitu baik padanya, juga bukankah katanya seorang istri wajib mengikuti perkataan suaminya?
Jadilah Nissa sekarang hanya bisa pasrah. Setelah meletakkan pakaian gantinya di gantungan baju, sambil menahankan rasa malunya, perlahan Nissa mulai melepaskan satu persatu kain yang membungkus tubuhnya.
Hingga akhirnya beberapa menit kemudian, Nissa telah berdiri di bawah shower dalam keadaan pol0s tanpa sehelai benang pun yang menutupi.
Air dingin yang menyentuh kulit rasanya benar-benar segar. Sampai Nissa memejamkan mata dengan kepala mendongak karena begitu menikmati sesi mandinya kali ini. Saking menikmati mandi di bawah kuncuran air dari shower yang terasa sangat menyegarkan, Nissa sampai tak menyadari jika pintu kamar mandi di belakangnya perlahan dibuka.
Baru lah saat merasakan ada lengan kokoh yang melingkar tiba-tiba di pinggangnya, Nissa tersentak.
Bibirnya sudah membuka hendak menjerit. Tapi sejurus kemudian, Nissa menghembuskan napas lega saat mendengar.
"Ini Mas, Dek."
Suara itu sudah tentu Nissa kenal. Tetapi beberapa detik setelahnya, mata Nissa membuka lebar, tubuhnya menjadi kaku, serta tarikkan napasnya terputus-putus kala mengingat bahwa dirinya saat ini tidak mengenakan apapun.
"Kamu tau, Nis. Waktu pertama kali Mas ngeliat rumah ini, yang pertama Mas tuju adalah kamar kita ini, terutama kamar mandinya sesuai atau nggak sama yang Mas mau. Begitu ngeliat kamar mandinya sesuai harapan, Mas selalu mikir, kapan kiranya Mas bisa ngeliat kamu mandi di sini dalam keadaan pol0s. Dan sekarang, keinginan Mas itu terwujud. Ngeliat kamu dalam keadaan telanj4ng, berada dalam pelukan Mas, rasanya Mas udah nggak sanggup buat nunggu sampai malam, Nis."
Nissa semakin kesulitan bernapas. Hembusan napas yang terasa panas di bahunya membuatnya tak berani menggerakkan tubuhnya.
"Mas pengen milikin kamu sekarang juga, Nis." suara Armand terdengar serak. Pelukannya di tubuh ramping nan mungil itu pun semakin mengencang kala pusat tubuhnya mulai menegang. "Bisakah kamu berikan kehormatan bagi Mas untuk memilikimu sekarang juga, Nis?"
Memangnya pertanyaan tersebut bisa Nissa jawab dengan jawaban apa selain mengangguk.
Meskipun sejujurnya masih ada sedikit keraguan juga rasa takut dalam hatinya, Nissa tak tega untuk menolak kemauan pria yang sudah mengesahkan dirinya di depan penghulu itu.
Melihat Nissa mengangguk, walau anggukkannya terlihat kaku, Armand tak dapat menutupi rasa senang dalam hatinya.
Sebab, sejak masuk ke dalam kamar ini beberapa belas menit yang lalu, Armand sudah dibuat terpaku dengan pemandangan paling indah yang tersuguh di depan mata.
Bahkan tanpa Armand sendiri sadari, tangannya sudah bergerak sendiri untuk melucuti pakaian yang ia kenakan.
Kini, saat kulit bertemu kulit, serta panas yang menjalar bisa dirasakan mengalir di tubuh mereka, Armand tak ingin lagi membuang waktu. Langsung saja tubuh mungil nan kulitnya terasa lembut di bawah sentuhan jemarinya itu Armand balik, kemudian setelah saling berhadap-hadapan, dengan mudah Armand menggendong istrinya dengan gaya bridal style.
Tujuan Armand sudah pasti langsung ke tempat tidur. Langkahnya yang panjang dan tergesa-gesa membuatnya dalam sekejap telah berdiri di samping tempat tidur dengan ukuran king size tersebut.
Armand merasa sangat bersemangat. Semangatnya semakin menggelegak saat menunduk dan melihat istrinya mungilnya itu menyembunyikan wajah di dadanya, sementara sekujur tubuh mungil yang digendongnya itu tampak memerah.
Lalu, perlahan Armand membaringkan tubuh mulus tanpa tertutupi sehelai benang pun itu ke atas tempat tidur. Setelah Nissa berbaring telentang dengan kepala mengarah ke samping, malu untuk menatapnya, Armand pun ikut menyusul.
Dengan menyanggah tubuhnya menggunakan kedua siku yang ditekuk di samping kiri dan kanan kepala istrinya, Armand menunduk dan berbisik, "Liat Mas, Nis. Mas pengen, momen ini nggak hanya Mas aja yang menikmati, tapi kamu juga. Rasanya mungkin akan sedikit sakit. Mungkin juga kamu akan merasa nggak nyaman di area kewanit44nmu nanti. Tapi Mas janji, setelahnya kamu akan terbiasa. Dan pasti kamu juga akan menikmatinya."
Mendengar apa yang baru saja suaminya katakan, sudah tentu Nissa tak kuasa menolak.
Karena itu, meski merasa malu setengah mati, sambil menahan rasa panas di kedua pipinya, Nissa menoleh perlahan ke arah pria yang membungkuk di atasnya itu. "Mas... say... saya... " Nissa tak dapat menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya karena...
Cup
Kecupan lembut Armand telah membungkamnya. Melihat istrinya itu mengerjap lucu dengan bibir yang membuka, Armand tak kuasa lagi untuk menunggu lebih lama.
Langsung saja kecupan ringan nan lembut berganti dengan kuluman yang menuntut.
Tak puas hanya dengan menautkan bibir, Armand juga menggerakan salah satu tangannya untuk merem4s bukit kembar milik istri mungilnya.
Merasakan tubuh di bawahnya bergerak gelisah, Armand mulai menjalarkan bibirnya dari leher hingga akhirnya berada tepat di atas bukit kembar yang satunya lagi. Merasakan betapa lembut dan kenyalnya bukit kembar itu di dalam mulutnya, Armand semakin tak bisa mengendalikan diri.
Tangannya yang tadi merem4s kini perlahan menuju pangkal pah4 istrinya. Membelai naik turun tepat di depan 'goa' yang belum terjamah demi membuat Nissa siap menerima dirinya.
Pemanasan tersebut tak berlangsung terlalu lama. Karena, saat Armand merasakan jari jemarinya sudah terasa basah, Armand pun segera menekuk kedua kaki Nissa dan meletakkan bantal untuk menyanggah pinggul istrinya itu.
Armand merasa deg-deg'an. Pandangan Nissa yang sayu, yang mengarah padanya membuat dengan cepat mulai memposisikan 'batangnya' tepat di depan 'lembah' yang masih peraw4n itu.
Perlahan namun pasti, Armand mulai menyatukan tubuh mereka. Sulit awalnya, bahkan ringisan yang keluar dari bibir Nissa sempat membuat Armand menghentikan gerakkan pinggulnya.
"Tahan sedikit lagi ya, Nis. Tinggal setengah lagi baru bisa sepenuhnya masuk."
"Enghhh... " Nissa hanya sanggup mengerang sakit sambil mengangguk pelan. Rasanya pus4t tubuhnya kini seakan dibelah dan membuatnya ingin sekali menangis.
Kemudian...
Dalam sekali hentak, Armand berhasil menyatukan tubuh mereka berdua. Begitu rapat, tanpa cela yang memisahkan.
Rasanya sungguh tak terkatakan. Sensasi saat 'batangnya' dijepit begitu kuat di dalam lembah penuh kenikmat4n itu membuat Armand tak sanggup menahan erangan dari bibirnya.
Butuh waktu baginya untuk membuat Nissa terbiasa akan penyatuan mereka. Setelah perlahan menggerakkan pinggulnya selama beberapa menit dan tak lagi terdengar ringisan dari bibir istrinya, gerakkan pinggul Armand yang awalnya pelan menjadi hentakk4n cepat nan menuntut.
Cakaran Nissa di kedua bahunya tak Armand pedulikan. Saat ini baginya, Armand ingin membawa istrinya mendaki ke puncak tertinggi, dimana mereka bisa melebur menjadi satu dengan tubuh yang saling menempel tak terpisahkan.
*****
Jika Armand sedang menikmati malam pertama yang tak dilakukan pada waktu malam hari bersama sang istri tercinta, maka di tempat yang tak bisa dibilang jauh tapi juga tak bisa dibilang dekat, Lina kembali mengamuk.
Mantan istri dari Armand Rizaldi itu menghempaskan barang pecah belah yang bisa dijangkaunya, membuat keadaan kamarnya tampak seperti kapal pecah.
Bayangan-bayangan sang mantan suami yang mencapai kepuasan dengan memeluk tubuh wanita lain, yang mana wajahnya tak pernah Lina lihat, yang terus memenuhi isi kepalanya, membuat Lina tak tahan, hingga akhirnya mengamuk dan membuat kedua orang tua serta adik bungsunya memandanginya dari muka pintu kamarnya yang entah sejak kapan telah terbuka lebar.
"Kamu itu yang eling dong, Lin." Indriyani menatap putri sulungnya dengan tatapan lelah. Sudah semalam ini, dimana sebagian orang sudah menarik selimut untuk tidur, putrinya itu malah mengamuk tidak jelas seperti ini. "Kamu itu kenapa lagi, sih? Memangnya tadi sore ngamuk itu nggak cukup apa?" imbuhnya lagi seraya menoleh ke arah suaminya yang sejak tadi hanya diam saja.
Sedangkan Erika, putri bungsunya yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 2 SMA, hanya bersandar di dinding dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, tanpa berbicara dan hanya terus menatap kakaknya yang bertingkah bagaikan orang yang telah kehilangan akal.
"PA... " panggil Lina ke arah pria paruh baya yang berdiri satu langkah di belakang ibunya. Tanpa mempedulikan mata sang ibu yang melotot karena diabaikan olehnya, Lina melangkah cepat hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan pria paruh baya yang merupakan ayahnya itu. Diraihnya tangan kanan ayahnya, menggenggamnya erat seraya berkata, "Tolong bantuin aku, Pa."
Pria paruh baya itu menghela napas lelah. "Memangnya bantuan seperti apa yang kamu minta?" tanyanya sambil menatap miris putri sulungnya.
"Dulu, waktu kami masih berstatus suami-istri, mas Armand selalu menghormati Papa. Dia nggak pernah mengabaikan Papa kalau mau ngomong apapun sama dia. Jadi, tolong Papa bilang sama mas Armand, minta dia memaafkanku dan bersedia menikahiku lagi. Biar pun cuma bisa jadi istri kedua, aku rela, Pa."
"Kamu benaran udah kehilangan akal, Lin." pria paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepala, merasa miris melihat anak yang dulu selalu memiliki kepercayaan diri tinggi, sekarang malah ingin merendahkan dirinya sendiri seperti ini. "Papa nggak mau ikut campur lagi dalam masalahmu. Udah cukup waktu itu Papa mohon belas kasihan sama Armand supaya kamu nggak dipenjara. Sekarang, biarkan dia bahagia. Jangan ganggu hidupnya lagi." tambah pria paruh baya itu lagi. Dan setelah menatap sejenak wajah putri sulungnya yang sangat berantakan, pria paruh baya itu berlalu pergi, menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kamarnya berada.
"PAPAAA... " teriakkan Lina terdengar menggelegar mendapati jika sang ayah tak mau membantunya. Tatapan nyalangnya yang putus asa kemudian diarahkannya kepada sang ibu, yang menatapnya dengan sorot mengasihani. "Ma... tolongin aku. Aku bisa benaran gila cuma karena terus mikirin kalau sekarang ini mas Armand sedang menggauli perempuan sund4l itu."
Indriyani sampai tak bisa mengatakan apa-apa melihat putri sulungnya yang merengek dengan bersimbah air mata di hadapannya.
Sebagai seorang ibu, tentu saja Indriyani merasa tak tega melihat anaknya menjadi seperti ini. Ingin rasanya Indriyani mendatangi rumah yang baru dibeli oleh mantan menantunya itu, melabrak atau bahkan menjambak rambut wanita yang sudah menghancurkan hati putrinya menjadi berkeping-keping.
Tapi, hal itu sudah pasti tak akan berani Indriyani realisasikan ke dunia nyata. Pasalnya, ia telah menandatangani surat perjanjian, yang terpaksa dilakukannya demi memastikan anak kesayangannya terbebas sepenuhnya dari jerat hukum.
"Makanya, mbak, jadi perempuan tuh jangan suka buka kaki di depan banyak laki-laki. Udah punya suami sempurna gitu disia-siakan cuma karena mbak Lina kegatelan pengen digaruk terus."
"DIAM KAMU!" hardik Lina tak terima. Meski air mata tak berhenti mengalir, namun sinar matanya menyorot tajam ke arah adiknya. "Kamu itu nggak jauh beda dariku, Rik. Masih SMP aja kamu udah ngasih itu keperaw4nanmu ke kepala sekolah mata keranjang itu supaya mau meluluskanmu. Kamu itu gatalnya bahkan mungkin lebih parah dari aku." ucapnya dengan nada suara menghina.
"Memang aku gatal, mbak. Tapi aku ini masih single, nggak kayak mbak Lina yang udah punya suami masih aja suka esek-esek dengan banyak lelaki." Erika menimpali santai, bahkan kedikan bahunya tampak ringan saat berbicara tadi.
Lina yang tak terima terus dihina oleh adiknya, kembali melontarkan hinaan lain guna membalas. Setelah itu, kedua wanita yang berstatus sebagai kakak adik itu terus saling melontarkan hinaan, tanpa mempedulikan ibu mereka yang menatap mereka dengan sorot lelah yang tak disembunyikan.