"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seandainya
"Akhirnya kelar juga!" seru Rendi sembari menepuk pelan punggung Rada. Keduanya baru saja keluar dari ruang presentasi dengan wajah puas.
Rada tersenyum kecil, ekspresinya masih menyisakan rasa lega yang belum sepenuhnya hilang. "Iya. Saya sempat mikir desainnya bakal kena komplen. Tapi ternyata malah dapet pujian langsung dari Pak Hermawan."
"Hebat kamu, Rad! Gak sia-sia berjuang di proyek pertama," timpal Rendi sambil tergelak pelan.
Keduanya memasuki ruangan dan duduk santai sejenak. Jas kerja sudah dilepas, dasi pun dikendurkan. Rendi bahkan sudah mengangkat kaki ke sandaran kursi sebelah. "Eh, gimana kalau kita rayain keberhasilan ini? Makan siang bareng, misalnya? Sekalian ngobrol-ngobrol santai, Bro."
Rada yang tengah menengadahkan kepala pun sontak menoleh dengan tatapan berpikir. Sebenarnya ia ingin sekali makan siang dengan Indira. Namun, jika hanya mereka berdua, takut ada yang curiga. Apakah ia harus mengajak Rendi juga?
Hem, sepertinya bukan ide buruk.
"Boleh," jawab pria itu pada akhirnya. "Tapi … gimana kalau ajak Rumi sama Indira juga?"
Rendi yang sedang minum air langsung menghentikan gerakannya. Ia menoleh cepat pada sang sahabat. "Tumben. Dalam rangka apa kamu ngajak mereka juga?"
"Emh ... gak apa-apa, sih. Biar lebih kenal aja. Saya, kan, anak baru. Harus coba dekat sama staf lain juga."
Rendi mengangguk-angguk, seperti mencoba menerima logika yang dilontarkan Rada. "Betul juga, sih. Biar gak terkesan kaku. Oke, deh."
Seketika senyum kecil terbit di bibir Rada. Tangannya dengan cepat mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengetik pesan untuk Indira.
Di ruangannya, Indira tengah memindai baris-baris angka dalam laporan excel. Matanya sayu, pikirannya setengah fokus. Strategi pemasaran baru yang ia susun bersama tim marketing ternyata sangat menguras tenaga dan pikiran.
"Dir, ponsel kamu bunyi, tuh!" seru Rumi kala mendengar suara notifikasi dari ponsel sang sahabat.
Indira tersadar. Segera ia memeriksa pesan masuk yang baru saja tiba.
Ternyata dari Rada.
[Sayang, nanti makan siang bareng, ya? Ajak Rumi juga. Aku ajak Rendi biar gak ada yang curiga. Bisa, kan?]
Wanita itu seketika terdiam. Ia jadi bingung sekarang, sebab tadi Revan pun sudah lebih dulu memberi tawaran serupa.
Satu sisi, ia ingin memenuhi ajakan Rada. Apalagi Rumi akan ikut, jadi tidak akan mencurigakan. Namun di sisi lain, ia juga tidak ingin mengecewakan Revan. Pria itu sudah cukup banyak membantu sejak awal ia bekerja di Nuswantara.
Kini Indira benar-benar dilema.
***
"Makan aja, Rad. Mungkin mereka lagi gak bisa gabung sama kita," ucap Rendi sambil mengunyah suapan keduanya.
Rada hanya diam, tak memberi respon atas ucapan sahabatnya. Tatapan pria itu tetap fokus pada pintu masuk kafe yang terbuka setiap beberapa menit sekali. Namun, yang muncul selalu bukan sang istri atau Rumi.
"Rad?"
"Hm?"
"Kamu nungguin Dira?"
Rada menoleh pelan tanpa menjawab. Namun, sorot matanya sudah cukup menjelaskan bahwa pertanyaan Rendi tidak sepenuhnya salah.
Rendi meletakkan sendoknya. Kali ini ia menatap Rada lebih serius. "Kamu suka sama Dira?"
Pertanyaan itu membuat kening Rada mengekerut. Ia memalingkan wajah cepat untuk menghindari tatapan sahabatnya.
"Jujur aja. Saya gak akan bilang siapa-siapa. Serius." Sungguh Rendi bukan tipe pria yang hobi bercerita ke sana-sini.
Rada menghela napas. Perlahan ia kembali membawa tatapannya pada sang sahabat. Bibirnya perlahan terbuka, hendak memberi jawaban. Namun, urung kala sebuah suara terdengar dari arah samping.
"Sorry sorry ... kalian udah nunggu lama, ya?"
Suara orang yang sejak tadi Rada tunggu akhirnya terdengar juga, membuat bibirnya melengkungkan senyuman seketika.
Tubuh pria itu refleks menegak. "Enggak, kok. Santai," sahutnya cepat. Ia bahkan tak sadar senyumnya terlalu lebar untuk sebuah makan siang biasa.
"Harap maklum, ya. Barusan macet karena Dira harus ketemu Pak Revan dulu," timpal Rumi sembari mengambil duduk di samping Indira. Wanita itu seolah tidak sadar dengan apa yang baru saja ia katakan.
Nahas, detik itu juga, senyum di wajah Rada menghilang. Matanya memaling ke piring yang sejak tadi belum disentuh. Bahkan perutnya mendadak terasa penuh meski belum memakan apa pun.
Rumi yang menyadari perubahan itu langsung mendekat ke Indira dan berbisik penuh sesal, "Maaf, Dir. Keceplosan."
Indira hanya diam sembari menatap sang suami yang duduk di depannya. Tanpa diberitahu pun, ia sudah bisa menebak jika pria itu cemburu mendengar nama Revan disebut.
Ah, bukan. Lebih tepatnya, cemburu karena Indira malah menemui Revan.
Huh, sungguh wanita itu serba salah sekarang.
"Oh, kamu ada project baru sama Pak Revan, kah?" tanya Rendi santai.
"Emh ... gak ada, sih. Cuma ada yang perlu diluruskan aja tadi." Indira berusaha menjawab setenang mungkin.
Rendi manggut-manggut mengerti. "Kalian dekat banget padahal. Sayang nikahnya malah sama Adnan."
Deg.
Mereka terdiam. Suasana canggung akibat pernyaatan Rendi berhasil membekukan udara. Pria itu pun seolah lupa jika tadi baru saja memiliki praduga bahwa Rada menyukai Indira.
Akan tetapi, apa yang salah? Yang ia tahu, Indira dan Adnan memang sudah menikah.
"Khem!" Indira berdeham untuk memecah keheningan di antara mereka. "Oh iya, ini siapa yang traktir? Dalam rangka apa?" tanyanya ringan.
Rada ingin menjawab, tapi suaranya seolah hilang ditelan emosi yang tertahan.
"Proyek pertama Rada udah fix diterima. Kami cuma rayain itu, sih. Sambil buat Rada makin kenal sama kalian," jawab Rendi.
Indira mengangguk. Matanya melirik pada Rada yang masih cemberut.
"Selamat, ya, Rad. Aku yakin kamu pasti bisa bawa Nuswantara lebih maju ke depannya."
Ucapan itu seharusnya terdengar biasa. Tapi bagi Rada, nada suara Indira adalah oase yang menenangkan batinnya.
Pria tampan itu pun tersenyum samar. "Makasih."
"Boleh pesen makanan dulu, gak? Aku udah lapar banget," potong Rumi, mencoba mencairkan suasana. Ia melambaikan tangan ke arah pelayan.
Beberapa menit kemudian, obrolan mulai mengalir. Meski tidak terlalu lepas, setidaknya sudah cukup untuk membuat Rada melupakan kekesalannya.
Sesekali, Rendi mencoba melontarkan candaan yang dibalas Rumi dengan tawa khasnya. Sementara Indira hanya tersenyum simpul. Dan Rada ... matanya tetap paling sering mencuri pandang ke arah satu wanita yang kini sedang memainkan sendoknya dengan pelan.
Seketika hatinya kembali tenang.
'Andai aku bisa teriak dan kasih tahu semua orang kalau kamu itu milikku, Sayang,' batinnya.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengawasi sejak tadi dari meja di pojok lain. Keningnya mengkerut, merasa heran melihat Indira tampak akrab dengan staf baru. Lagi, wanita itu sampai tega membatalkan makan siang dengannya, demi berada di tengah-tengah mereka.
Revan sudah cukup lama mengenal Indira, dan ia pun sangat hafal sikap wanita itu yang tidak suka membatalkan apa yang sudah disetujui sebelumnya. Apalagi secara sepihak dengan alasan yang tak masuk akal.
Berbagai praduga pun mulai bermunculan di kepala Revan.
"Apa mereka punya hubungan spesial?"
mumet ini pasti rada udah kerjaan belum dapet, kek nya mau nambah anggota baru ke
selamat ya dir mau jd ibu