NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:12.9k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33. Semoga Kamu Tidak Menyesal, Benji

Pesta pertunangan itu seketika bubar. Keluarga Adhijokso menanggung malu akibat skandal putra ketiga mereka. Kehebohan itu dengan cepat mencuat ke media, apalagi banyak tamu yang merekam video yang ditayangkan dan mengunggahnya ke media sosial.

"Saya tak menyangka wajah saya dikotori seperti ini," ucap Brata, masih dalam keadaan syok. Namun, ia berusaha tetap tenang.

Kalau sudah begini, tak ada lagi alasan baginya untuk menahan diri. Walaupun Farel adalah anaknya, tindakan as*5ila serta kejahatan yang dilakukannya itu harus mendapat hukuman setimpal.

"Benjamin, panggil orang-orang saya." Perintahnya pada Ben untuk memanggil tim kejaksaan yang sudah berada di kediaman Adhijokso atas perintahnya.

Sebenarnya, semua ini sudah direncanakan. Penangkapan Farel memang akan dilakukan, tetapi setelah pertunangan Hayaning selesai. Namun skandal menj*jikkan itu? Brata benar-benar tak tahu menahu.

"Mas, kamu..." Diandra akhirnya bersuara, masih sulit percaya bahwa kakaknya adalah seorang penyuka b*tang lagi.

"Sejak kapan?" Brata menimpali, suaranya penuh amarah dan kekecewaan yang teramat dalam.

"Dua tahun," jawab Farel tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.

"Lalu, bagaimana dengan korupsi, penyuapan, bisnis ilegal?" Brata melanjutkan, kali ini dengan nada lebih tajam.

Barulah , wajah Farel menegang. Ia tak lagi setenang sebelumnya. Anggota keluarga yang mendengar itu pun kembali dibuat syok.

"Aku tidak melakukan—"

"Jangan pernah berani berbohong di hadapan saya!" potong Brata tajam, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. "Saya ini memiliki tanggung jawab besar di Kejaksaan Agung, Farel. Jangan mencoba menipu!" Tatapannya mengunci pria muda di depannya, penuh otoritas dan amarah yang ditahan. "Yang sedang berbicara denganmu sekarang bukan ayahmu, tapi seorang penegak hukum! Kamu mungkin bisa menodai nama ayahmu, tapi tidak dengan saya."

Keheningan mendadak menyergap ruangan. Tak ada yang berani membuka suara selain Brata. Atmosfer terasa semakin menyesakkan ketika suara langkah berat menggema dari luar.

Beberapa orang dari Kejaksaan Agung tiba, membawa serta aura ketegangan yang lebih pekat. Mereka langsung menangkap Farel tanpa pria itu melakukan perlawanan sebab itu hanya akan sia-sia saja.

"Fuck!" Umpatnya sembari menggeram keras.

"Ben, bawa Hayaning pergi dari sini. Saya percaya padamu," Brata membuka suara kembali, memerintahkan Ben dengan tegas.

Ben mengangguk tanpa ragu, bersiap melaksanakan tugasnya. Namun sebelum ia bisa bergerak, suara Bara memotong cepat.

"Tidak bisa, Papa!" sergahnya, rahangnya mengatup kuat, tatapannya tajam menusuk ke arah Ben. Rasanya ia ingin menyingkirkan bodyguard pribadi adik bungsunya itu sesegera.

"Jangan membantah perintah saya!" bentak Brata, membuat suasana semakin mencekam.

Bara menggeram kasar, kemarahan membakar dadanya. Keinginannya menculik Hayaning semakin menggebu-gebu. Sialan, dia ingin membawa perempuan kecilnya pergi jauh dari semua kekacauan ini.

Brata menghela napas berat, lalu menoleh ke arah Hayaning. "Nak..." panggilnya lirih. Untuk pertama kalinya, suaranya terdengar bergetar. "Maafkan Papa, maaf atas semua kekacauan ini."

Hayaning tertegun. Kali ini, untuk pertama kalinya, permintaan maaf itu terasa tulus. Bukan sekadar permainan kata atau sandiwara belaka. Ini adalah kali kedua Brata mengucapkan kata ‘maaf’ padanya—yang pertama saat memperkenalkan Ben, dan yang kedua adalah saat ini.

"Pergilah dengan Benjamin," lanjutnya.

Hayaning menatap ayahnya sejenak sebelum mengangguk pelan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah pergi, meninggalkan kekacauan di belakangnya, diikuti oleh Ben.

•••

"Kenapa ponselku disita sih?" Tanya Haya dengan wajah merengut.

"Atas perintah Pak Brata, Nona tidak boleh memegang ponsel. Keadaan saat ini tengah genting, dan beliau tengah berusaha mengendalikan situasi," jawab Ben tenang, tanpa mengurangi fokusnya pada jalanan di depan.

"Lalu kamu mau membawaku kemana?" Tanyanya dengan ketus.

"Kerumah kakak saya, kamu akan merasa tenang disana."

Hayaning tak mengajukan pertanyaan lagi. Keheningan pun mengisi ruang di antara mereka, dipenuhi dengan pikiran masing-masing. Ben pun memilih untuk tetap diam, tidak berniat membuka percakapan lagi.

Setibanya mereka di kediaman Sean, Ben akhirnya berbicara. "Mari, Nona," katanya, membuka pintu mobil untuknya.

Hayaning melirik ke luar jendela, melihat bangunan besar nan megah yang berdiri kokoh di hadapannya. Rumah ini tampak lebih tenang dibandingkan rumah keluarganya yang kini dipenuhi kekacauan.

Ia keluar dari mobil tanpa banyak bicara, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sejak kapan ia begitu menurut pada Ben?

Begitu memasuki rumah, suasana di dalamnya terasa hangat dan nyaman, jauh dari kesan mencekam yang baru saja ia tinggalkan di kediaman Adhijokso.

Langkahnya terhenti ketika sosok pria tegap berdiri di ambang ruang tamu. Tatapannya dingin dan tajam, sama sekali tidak ramah.

Sean Soedjono.

Namun kehadiran seorang perempuan yang menggendong bayi dibelakangnya langsung membuat raut wajah pria itu melembut.

"Mbak Hayaning, apa kabar Mbak?" Tanya Lara antusias begitu diberitahu Ben bahwa Hayaning akan datang kerumahnya.

"Aku baik Mbak Lara, kalian bagaimana? Dengan si Dede bayi?" Tanya Hayaning juga.

"Kami baik sekali, ayok duduk Mbak." Ajaknya langsung membawa Hayaning untuk duduk sementara putrinya Kinanti di gendong bapaknya.

Mereka berempat duduk di ruang utama yang luas dan nyaman.

"Mbak," panggil Lara kepada asisten rumah tangga. "Tolong bawakan minuman segar dan camilan kemari ya,"

"Baik Bu,"

Tak butuh waktu lama, seorang asisten rumah tangga datang dengan nampan berisi jus dingin dan beberapa camilan ringan. Lara tersenyum, mengambil satu gelas dan menyerahkannya langsung pada Hayaning.

"Silakan, Mbak Haya. Kamu pasti lelah setelah perjalanan kemari."

Hayaning menerima dengan anggukan kecil. Sementara itu, Ben duduk dengan santai, melemparkan pandangan sekilas ke arah Sean yang sedang memomong putrinya.

"Mas, aku ada bicara sama kamu," seru Ben memberikan kode sebab yang akan ia bicarakan ini amat penting.

"Diajeng, Mas berikan dulu Kinan, Mas mau bicara dengan Ben." Ucap Sean sembari menyerahkan Kinan kepada sang istri. Lara mengambil Kinan dari gendongan Ayahnya.

"Yasudah Mas iya,"

Sean berdiri, mulai berjalan menuju ruang kerjanya. Ben mengikutinya, meninggalkan Lara dan Hayaning di ruang utama.

Begitu pintu ruang kerja tertutup, Sean berbalik dan menyandarkan tubuhnya ke meja. "Apa yang terjadi?" tanyanya langsung, sorot matanya tajam, menyiratkan bahwa ia sudah menduga ada sesuatu yang serius selain skandal dari salah seorang anggota keluarga Adhijokso yang terbongkar.

Ben menarik napas, menyandarkan punggungnya ke kursi di depan meja Sean. "Pak Brata kemarin memanggil ku Mas, ternyata situasinya cukup genting, dan dia memperpanjang masa kontrakku." Ben memberitahu Sean tentang apa yang dibicarakan Brata padanya, itupun atas izin dari Brata langsung sebab pria tua itu amat percaya kepada Sean dan Benjamin.

Sean menghela nafas panjang, "lalu bagaimana jawabanmu?"

Ben menggeleng pelan. "Aku katakan bahwa aku tak bisa."

Sean sepertinya akan dibuat pening kepalanya oleh keras kepalanya Ben. "Terserah kamu saja."

(Dibagian ini bakal ada penjelasannya nanti di bab mendatang, plot twist nya sudah dipersiapkan).

•••

"Mbak, aku boleh gendong Kinan tidak?" Tanya Hayaning sedikit ragu, namun ia begitu berkeinginan sebab melihat lucu dan cantiknya bayi berusia dua bulan itu.

Lara tersenyum hangat, memahami keraguan sekaligus keinginan Hayaning. "Tentu saja boleh, Mbak," ujarnya sambil dengan lembut menyerahkan Kinan ke dalam pelukan Hayaning.

Begitu berada di gendongannya, Kinan mengedipkan mata kecilnya, menatap Hayaning dengan ekspresi polos. Hayaning tersenyum tipis, merasakan kehangatan dihatinya ketika menggendong seorang manusia kecil yang cantik, lucu nan menggemaskan.

"Dia cantik sekali, Mbak," gumam Hayaning pelan, jemarinya dengan lembut mengusap pipi Kinan yang halus dan menggemaskan.

Lara terkekeh kecil. "Aku aja sampai gemas banget sama dia, tapi kalau terlalu sering nguyel-nguyel, pasti langsung dimarahi bapaknya." Ia menurunkan suaranya menjadi bisikan, "Bayangkan, istrinya sendiri dimarahi cuma gara-gara terlalu gemas sama anaknya."

Hayaning terkekeh kecil, "akupun sepertinya bakal gemesan banget deh Mbak kalau jadi ibunya, abisnya Kinan lucu sekali."

Lara tersenyum sebelum tiba-tiba menurunkan suaranya. "Mbak..."

"Iya, kenapa?"

"Aku rasa kamu sama Mas Ben cocok sekali," ujar Lara dengan nada penuh keyakinan.

Hayaning terkekeh pelan, namun sorot matanya sedikit meredup. "Mbak, aku ini sudah tunangan, lho..."

Lara menghela napas panjang. Ia sudah tahu—Sean yang memberitahunya. Berita pertunangan Hayaning dengan Adipta tersebar luas, beredar di berbagai media, bercampur dengan skandal keluarganya yang mencuat di hari yang sama.

Lara menatap Hayaning dengan sorot mata penuh pertimbangan. "Iya, aku tahu," gumamnya pelan. "Tapi entah kenapa, aku tetap merasa kalian cocok. Ben itu... bukan tipe pria yang gampang dekat dengan perempuan lain, apalagi sampai mau benar-benar melindungi seseorang di luar keluarganya."

Hayaning tersenyum kecil, menatap Kinan yang menggeliat dalam gendongannya. "Ben hanya menjalankan tugasnya, Mbak. Lagipula, aku bukan siapa-siapa untuknya."

Lara mengangkat sebelah alis, seakan tidak percaya kalau ditilik dari interaksi mereka. "Kamu yakin?"

Hayaning terdiam sejenak, menimbang kata-katanya. "Ben hanya bertanggung jawab atas pekerjaannya. Itu saja."

Lara menghela nafas kembali, dan ia tak ingin lagi menyinggung soal perasaan diantara mereka.

Tetiba Kinanti merengek, wajahnya langsung memerah. "Aduh nangis, ini gimana?" Hayaning jadi panik, Lara tersenyum kecil lalu mengambil Kinan dalam gendongan Haya.

"Dia belum nete, sepertinya kali ini aus ya Kinan nya ibu..." Bicaranya kepada si bayi. "Mbak Hayaning pasti lelah, ayok aku antar kekamar sementara aku mau susui Kinan," ucapnya melanjutkan sembari berdiri dari duduknya.

Hayaning mengangguk pelan. "Baik, Mbak," ujarnya, lalu mengikuti langkah Lara menuju kamar, menenteng tas kecil berisi pakaian. Tas itu dibawanya atas permintaan Ben, sebab mereka akan bermalam di rumah Sean.

"Selamat istirahat, Mbak Haya," ucap Lara lembut, tersenyum hangat.

"Iya, terima kasih, Mbak," balas Hayaning. Ia melangkah masuk ke kamar, sementara Lara pergi dengan Kinan dalam gendongannya.

Begitu pintu tertutup, Hayaning menghela napas pelan, membiarkan dirinya duduk di tepi ranjang. Suasana dirumah Sean begitu tenang, jauh dari keramaian dan tekanan yang menghimpitnya sepanjang hari ini.

Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan pakaian ganti, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Air dingin meny*ntuh kulitnya, sedikit mengurangi beban yang terasa menumpuk di kepalanya.

Saat kembali ke tempat tidur, Hayaning duduk termenung, pikirannya berputar pada kejadian hari ini—pertunangan yang berantakan, skandal keluarganya, dan sikap ayahnya yang terasa berbeda.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ponselnya telah disita, dan ia pun tak berani menyalakan televisi di kamar itu. Tidak perlu melihat berita untuk tahu bahwa nama keluarganya sudah tersebar di mana-mana. Dunia luar pasti sedang ramai membicarakan mereka.

Tapi saat ini, ia terlalu lelah untuk peduli. Terlalu banyak hal yang harus ia pikirkan, terlalu banyak emosi yang bercampur aduk dalam dirinya.

Ia akhirnya merebahkan diri, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu esok tiba. Untuk sekarang, ia hanya ingin memejamkan mata dan mencoba beristirahat.

•••

Sore harinya, Ben mengajak Hayaning berjalan-jalan hingga mereka tiba di paviliun belakang, cukup jauh dari rumah utama. Di sana, terbentang sebuah danau yang permukaannya berkilauan diterpa cahaya matahari senja.

Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan air yang tenang. Suasana di sekitar mereka begitu sepi, hanya terdengar gemerisik dedaunan dan sesekali suara burung yang kembali ke sarangnya.

Ben menurunkan permadani yang telah ia siapkan, menggelarnya di dekat tepi danau. "Duduklah," katanya singkat.

Hayaning menurut, ia duduk dengan tenang sembari menatap danau di hadapannya dengan mata yang menerawang. Tempat ini begitu tenang, seolah menjadi kontras dari semua kekacauan yang sedang terjadi dalam hidupnya.

"Tempat ini indah," gumamnya pelan.

Ben yang duduk di sampingnya, dengan satu kaki ditekuk, hanya mengangguk kecil. "Bagaimana perasaanmu saat ini Nona? Apakah kamu kecewa kepada saya karena sudah menghancurkan pesta pertunangan Nona dengan Adipta?"

Hening sejenak.

Hayaning menoleh ke arah Ben, memperhatikan garis tegas di wajahnya yang diterangi cahaya keemasan. "Ya, aku kecewa sebab kamu sudah masuk terlalu jauh kedalam ranah pribadi ku, tapi... Akupun berterimakasih disatu sisi sebab kalau bukan karena kamu, mungkin kejahatan Mas Farel akan tetap tersembunyi."

Ben tidak segera menanggapi. Ia hanya menatap lurus ke danau, membiarkan kata-kata Hayaning menggantung di antara mereka. Angin sore menggerakkan permukaan air, menciptakan riak kecil yang memantulkan cahaya keemasan matahari.

"Saya diberitahu Pak Brata kalau kamu meminta pernikahanmu dengan Adipta dipercepat. Benar begitu, Nona?"

Hayaning mengerjapkan matanya, menatap Ben dengan sorot tegas. "Ya, aku dan Mas Adipta sudah sepakat untuk dipercepat."

Ben mengangguk pelan, tapi tatapannya sulit ditebak. "Kenapa begitu terburu-buru?" tanyanya. Suaranya terdengar datar, tetapi rahangnya mengeras.

"Tidak terburu-buru sebab pernikahan kami memang sudah melenceng jauh dari tanggal yang sebelumnya sudah ditentukan, lagipula tidak ada salahnya jika aku ingin mempercepat kan?"

Ben terkekeh geli, "ya, sepertinya kamu ngebet sekali ingin menikah dengan laki-laki itu."

Hayaning menatapnya dengan sorot tajam, meski bibirnya melengkung tipis. "Lantas kenapa? Apa kamu keberatan?" sindirnya, nada suaranya terdengar ringan, namun penuh makna tersembunyi.

Ben menoleh, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Tidak sama sekali," jawabnya singkat.

Hayaning terkekeh pelan sebelum merebahkan tubuhnya di atas permadani, menatap langit sore yang mulai dihiasi semburat jingga. "Ben..." panggilnya lirih, "semoga kamu tidak menyesal di kemudian hari." Ucapnya dengan tenang.

Tidak ada jawaban dari Ben, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka.

Hayaning bisa saja mengungkapkan perasaannya saat itu juga, tetapi ia tahu itu hanya akan menjadi tindakan sia-sia. Ben telah menutup hatinya rapat-rapat, membangun tembok tinggi yang tidak mengizinkan siapa pun masuk. Pria itu sudah bersumpah untuk tidak lagi mencintai, apalagi menikah.

Lantas, apakah Hayaning harus memohon dan mengejarnya, berharap cintanya dibalas? Tentu saja tidak. Itu hanyalah kebodohan yang tidak pantas ia lakukan.

Karena kenyataannya, seorang perempuan akan menjadi lemah ketika ia membiarkan hatinya mengendalikan logikanya saat jatuh cinta.

1
A Qu
ben menemukanmu hayaning
Nurul Halimah
kok blum up2 ya bolak blik buka blom up2 juga penasarn kisah slanjutnya
Nurul Halimah
lagi nungguin up nya thor
Indah Widi
keren thor,,,👍
di tunggu bab selanjutnya 💪😊
yumi chan
km hrs bisa mjauhi ben haya...biarlh ben yg mndrita karna terluka dgn kt2nya sndri jgn jd wnita yg lmh karna cinta..
yumi chan
jgn bdh hya pergilh jauh..bt apa km berthn dgn orng yg gk mau srius dgn km...bknkh ben sm jga dgn adipti..bt apa km msh berhrp pdnya
yumi chan
dsr km bdh hya mau aja sm lk2 bjnign kyk bnji
Nurul Halimah
bagus bnget sampai ngerasain gmna jadi si little rose karakternya okeee
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!