"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Langit Seoul masih muram meski matahari sudah menggantung tinggi. Awan-awan tebal seperti menolak pergi sejak meteor itu mengoyak atmosfer dan menghantam tanah—meninggalkan kawah besar di tengah hutan kota.
Asap dan debu masih mengepul dari pusat benturan. Bau terbakar menggantung di udara.
Di tengah kawah…
Sebuah balok logam hitam berdiri dengan elegan, tak retak, tak tergores sedikit pun.
Bukan batu angkasa. Bukan puing pesawat. Bukan juga sisa senjata.
Balok itu… hidup. Setidaknya begitu menurut detak aneh yang terasa samar di sekitar tanahnya.
Pagar pelindung telah dipasang.
Pasukan Stellaris berjaga mengelilingi lokasi dengan formasi melingkar sempurna.
Sensor-sensor dan peralatan ilmiah dipasang tergesa-gesa oleh tim ilmuwan berseragam putih perak.
Komandan Ryu berdiri di atas platform observasi bergerak, matanya tak berkedip memandangi benda itu.
Jari tangannya bergerak kecil, gemetar. Namun bukan karena takut.
Tapi karena... resonansi.
Sesuatu dari dalam balok itu menyentuh sesuatu yang terdalam dalam dirinya.
> “Benda ini… bukan hanya datang dari langit. Tapi... seolah tahu ke mana harus mendarat.”
Salah satu prajurit mendekat, membawa alat pengukur.
“Komandan! Energi kosmik di sekitar objek naik 14% dalam sepuluh menit terakhir!”
“Kontrol perimeter. Jangan ada yang lebih dekat dari 10 meter,” ujar Ryu tegas.
Namun sebelum ia bisa menambahkan perintah lain, perangkat komunikasinya berbunyi dengan sinyal Level Merah.
Suara berat dan dingin terdengar dari earpiece:
“Komandan Ryu. Segera ke Markas Pusat. Dewan Tinggi Stellaris ingin mendengar laporannya langsung dari Anda.”
Markas Pusat Stellaris – Seoul
Bangunan raksasa berbentuk prisma segitiga itu berdiri di tengah kota, dengan lapisan pelindung transparan yang memantulkan langit. Di dalamnya, hanya sedikit yang boleh masuk. Hanya mereka yang telah mencapai Stellaris Tingkat 6—tingkatan tertinggi yang pernah dicapai umat manusia.
Ryu melangkah cepat ke ruang utama.
Saat pintu terbuka, aura berat langsung menyambutnya.
Tiga sosok berdiri di dalam ruangan. Aura mereka meledak seakan memenuhi tiap inci ruangan. Ryu menahan napas sejenak sebelum memberi hormat formal dengan mengepalkan tangan ke dada.
“Komandan Ryu, laporan visual dan data telah kami terima,” ucap salah satu dari mereka, pria jangkung dengan rambut perak diikat rapi. Wajahnya tajam seperti baja, dan mata ungu pekatnya bersinar samar. “Namun kami ingin mendengar langsung dari penglihatmu.”
Namanya: General Moon Seok-hyun.
Ketua Dewan Tinggi Stellaris. Dikenal sebagai "The Violet Fist".
Star Soul: Ungu Level 6, dikenal bisa menghancurkan tank hanya dengan tatapan penuh niat.
Di sampingnya berdiri seorang wanita dengan rambut pendek berwarna gelap, tubuh ramping, dan mata yang terasa menusuk ke dalam jiwa.
Jung Ha-yoon.
Penguasa Teknik Kosmik.
Star Soul: Ungu Level 6 – tipe Spatial Shifter.
Dan terakhir, seorang pria bertubuh besar dan berjanggut putih keperakan, duduk dengan tangan menyilang.
Baek Ji-won.
Komandan Legendaris Lautan Selatan.
Dikenal bisa mengendalikan medan pertempuran dari jarak 200 kilometer.
Mereka bertiga menatap Ryu tanpa berkata sepatah pun. Tekanan aura mereka seperti menghantam langsung ke tulang belakang.
Namun Ryu bertahan.
“Meteor jatuh pukul 10:02 pagi. Bukan meteor alami. Di dalam kawah terdapat balok logam... bukan dari bumi.”
“Permukaannya tidak menunjukkan kerusakan. Bahkan setelah menghantam dengan kecepatan supersonik.”
“Energi kosmik aktif di sekitarnya. Menyebabkan resonansi pada beberapa prajurit sensitif.”
Jung Ha-yoon mengangkat alis. “Resonansi? Padamu juga?”
Ryu menatapnya. “Ya. Terutama padaku.”
Baek Ji-won menyipitkan mata. “Apakah menurutmu ini... panggilan?”
Seok-hyun berjalan mendekat, posturnya mengintimidasi, meski langkahnya tenang.
“Komandan Ryu, ini bukan fenomena biasa. Kita telah memantau ruang angkasa selama lebih dari dua dekade. Tidak ada sinyal datang. Tidak ada lintasan logis. Tidak ada tanda panas sebelum masuk atmosfer. Ini dikirim. Bukan terbentuk.”
“Dan kami mencurigai satu hal...” Seok-hyun melanjutkan, “...bahwa di dalam benda itu... bukan hanya teknologi.”
Hening menyelimuti ruangan. Ryu menyadari arah pembicaraan ini.
“...Tuan, Anda berpikir itu makhluk hidup?”
Seok-hyun menatap lurus.
“Atau lebih buruk.”
Sementara itu, di apartemen Elsha.
TV masih menyala tanpa suara. Elsha duduk di karpet bersama Asterion yang sudah tenang dalam pelukannya.
Berita menyebar cepat.
Benda misterius di tengah kota. Gempa aneh. Dan sekarang rumor bahwa ada sesuatu yang ‘bergerak’ di dalamnya.
Elsha membelai rambut lembut Asterion.
“Semuanya akan segera berakhir…” bisiknya pelan.
Namun dalam diam, Asterion menatap layar TV yang menampilkan siluet balok itu. Garis-garis cahaya biru di tubuh benda itu seperti... berbicara dalam bahasa kuno. Bahasa yang tidak lagi dikenal oleh dunia ini—tapi tak asing bagi dirinya.
“Kenapa terasa sangat familiar?"
Telepon rumah berdering tiba-tiba, memecah kesunyian apartemen yang sempat tenang setelah siaran berita tentang meteor itu.
Elsha mengangkat gagang dengan cepat, sedikit gugup.
"Hallo?"
"Elsha! Astaga! Kamu baik-baik saja?!"
Suara itu familiar—penuh energi dan panik. Itu Alra, sahabatnya sejak akademi.
"Alra... iya, aku dan Asterion baik-baik saja, kau bagaimana? Bagaimana anak-anak?"
"Aman. Kami sempat berlindung di ruang bawah tanah saat guncangan itu terjadi. Kei dan Nolan juga oke, cuma agak ketakutan. Mereka... mengompol," ujar Alra dengan nada malu-malu tapi lega.
Terdengar suara lain menyusul, Liana, dengan suara lembut namun khawatir.
"Elsha? Kami semua khawatir. Aku, Alra, Yura—kita semua langsung saling kontak. Kami tidak bisa membayangkan kalau kalian..."
Elsha tersenyum kecil. "Aku tahu... aku juga memikirkan kalian. Terima kasih sudah menelepon. Asterion baik, meski dia agak... marah karena diganggu saat minum susu."
Tawa hangat terdengar dari ujung sana. Liana menimpali, "Itu Asterion banget... bahkan dari bayi udah punya ‘aura’ kebangsawanan ya."
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka keras. Suara sepatu tergesa menghantam lantai.
"ELSHA!"
Elsha membalik tubuhnya. "Ryu!"
Seketika sang suami berdiri di depan pintu, tubuhnya penuh debu dan aroma logam dari armor militernya yang belum sempat dibersihkan.
Matanya langsung menyapu ruangan, hingga jatuh ke arah istrinya dan...
"Asterion..."
Ryu menghambur, memeluk mereka berdua dengan erat. Nafasnya berat, namun diiringi rasa lega luar biasa. "Syukurlah... kalian baik-baik saja..."
Namun di tengah kehangatan itu, terdengar suara rengekan bayi, menyelip dari pelukan...
“Ugh... bau...”
“Ayah, kau harus mandi. Cepat.”
Ryu langsung terdiam, lalu menjauh pelan sambil melihat ekspresi Asterion yang cemberut. Bocah kecil itu berusaha mendorong dada ayahnya dengan tangan mungil.
Elsha tertawa geli. "Kau ketahuan, komandan. Asterion tak bisa bohong kalau soal bau."
"Baik, baik! Aku menyerah," kata Ryu sambil mengangkat tangan dan melangkah mundur ke kamar mandi. “Setelah ini... pelukanku akan wangi.”
Saat Ryu menghilang ke dalam, Elsha menggeleng dan menatap Asterion. "Kau itu memang jujur... tapi jangan terlalu menusuk, ya."
Malam berganti minggu, dan minggu menjadi bulan.
Berita tentang meteor yang dulu mengguncang seluruh kota, perlahan mulai menghilang dari layar kaca.
Balok misterius itu masih berada di kawah, kini dikelilingi oleh pagar pengaman, lalu dibangunlah sebuah fasilitas semi-edukasi di sekitarnya. Anak-anak sekolah datang berkunjung, ilmuwan membuat laporan... tapi tidak ada perkembangan berarti.
Tak satu pun sinyal keluar dari balok itu. Hanya aliran energi kosmik yang naik-turun secara acak. Lama-lama... masyarakat melupakan.
Namun, tidak Asterion.
Tiga Tahun Kemudian...
Langkah kecil berlari menuruni koridor apartemen. Suara hentakan kaki kecil berpadu dengan suara kesal seorang ibu.
"ASTERION!"
Suara Elsha menggema dari dalam apartemen.
"Sudah berapa kali ibu bilang—jangan lari-lari dalam rumah! Itu bahaya!"
Asterion, sekarang sudah berusia tiga tahun, menghentikan langkahnya di depan pintu, pipinya mengembung dan matanya memelas.
"Maaf ibu... tapi aku sangat bersemangat hari ini! Kita kan mau jalan-jalan?"
Rambutnya yang hitam kebiruan sedikit berantakan, dan dia mengenakan pakaian bergambar bintang dan tas kecil di punggungnya.
Elsha menghela napas, meletakkan kedua tangannya di pinggul.
“Bintang kecil ibu... kau ini seperti komet yang tak bisa diam... Ayo cepat, pakai sepatumu. Hari ini kita ke taman kanak-kanak.”
Mata Asterion langsung melebar. "Taman... kanak-kanak?"
Dia menatap ibunya seakan baru mendengar nama makhluk mitos.
"Aku kira kita mau ke taman untuk melihat para kadet akademi terbang-terbang di langit."
Elsha tersenyum lembut dan mengusap kepala anaknya. "Itu nanti. Hari ini kau harus belajar bersosialisasi. Ibu yakin kamu akan menemukan banyak teman menyenangkan."
Namun dalam hati Asterion sudah mulai mengeluh.
“Teman menyenangkan? Hah... mereka pasti balita-bar-bar itu lagi. Dunia ini penuh ancaman... dari bola plastik, tumpukan boneka, dan... popok bau.”
Tapi dia tetap mengangguk, meski perlahan.
Elsha merapikan kerah bajunya dan berkata dengan nada sayang.
“Ayo... mari jadi bintang yang bersinar untuk hari ini.”