"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Di ruang rapat yang steril dan berudara dingin, terdengar suara ketegangan yang memenuhi udara. Arkan, dengan jas biru gelap yang telah ia kenakan sejak pagi, tampak berdiri dengan tangan terkepal di meja konferensi. Di hadapannya, seorang pria tua dengan garis ketat di wajahnya, menolak untuk menerima rencana yang baru saja Arkan sampaikan. Suara pria tua itu meninggi, menunjukkan rasa tidak setuju yang mendalam.
"Bagaimana mungkin kita mengambil risiko sebesar ini?" sanggah pria tua tersebut, wajahnya merah padam karena emosi. "Ini tidak masuk akal!"
Arkan, yang biasanya tenang dan terkendali, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehilangan kesabaran. Matanya sempit, mengamati lawan bicaranya dengan tatapan yang tajam. Kerutan di dahinya semakin dalam, bibirnya terkatup rapat.
Sebelum suasana menjadi lebih panas, Fajar, yang telah mengamati situasi dari samping, segera mengambil langkah. "Tolong, mari kita tenangkan dulu suasana," ujar Fajar dengan suara yang mencoba menenangkan. "Mungkin ada beberapa aspek yang bisa kita diskusikan kembali?"
Fajar melirik Arkan, memberikan tanda agar bosnya itu mengambil napas dan berusaha untuk meredakan suasana. Arkan, meski masih dengan rasa frustrasi yang terlihat jelas, akhirnya mengangguk pelan dan mengambil napas dalam-dalam.
"Pria tua itu, Pak Hartono, mungkin kita bisa melihat dari perspektif yang berbeda?" tanya Arkan, suaranya lebih terkendali. "Mari kita duduk kembali dan saya akan menjelaskan mengapa saya yakin ini akan menguntungkan kita semua."
Pak Hartono, masih dengan raut tidak setuju, akhirnya mengangguk dengan enggan dan kembali ke kursinya. Fajar menarik napas lega, berharap diskusi selanjutnya akan berlangsung dalam suasana yang lebih kondusif.
Arkan memandang setiap orang yang hadir dalam ruangan itu, matanya kemudian tertuju pada Pak Hartono yang tampak masih mengerutkan dahi. Dengan nada yang lembut namun penuh keyakinan, Arkan mulai menjelaskan, "Pak, jika kita melihat dari sudut penjualan, proyek ini akan meningkatkan pendapatan kita secara signifikan. Saya akui ada beberapa kerugian kecil, tapi jika kita bandingkan dengan keuntungan yang bisa kita raih, itu sangat sebanding."
Pak Hartono, yang semula tampak skeptis, kini mulai menunjukkan minat. Matanya berkilat, tanda mulai paham dan tertarik dengan penjelasan Arkan. Arkan, menyadari perubahan sikap Pak Hartono, semakin giat menyampaikan poin-poin penting dari analisisnya, "Jadi, dengan meningkatnya volume penjualan, kita bisa mencapai titik impas dalam waktu yang lebih singkat. Selain itu, ini juga akan membuka peluang pasar baru bagi kita."
Mendengar itu, Pak Hartono mengangguk-angguk, tanda mulai terbujuk. Wajahnya yang semula tegang kini mulai rileks, dan dia bahkan memberikan senyuman kecil. "Saya mengerti, Arkan. Terima kasih atas penjelasan detailnya," ucap Pak Hartono, membuat semua yang hadir dalam ruangan tersebut menghela napas lega. Suasana yang semula tegang kini berubah menjadi lebih kondusif. Meeting pun dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih ringan, tanpa ada perdebatan yang memanas lagi.
Arkan dan Fajar baru saja keluar dari ruangan pertemuan dengan senyum kepuasan menghiasi wajah mereka, setelah berhasil mencapai kesepakatan yang menguntungkan. Tangan mereka masih saling berjabat tanda keberhasilan saat suara gaduh mengalihkan perhatian mereka. Sumber kegaduhan itu datang dari arah resepsionis yang tidak jauh dari mereka. Langkah mereka tergesa-gesa mendekati asal suara, rasa ingin tahu bercampur kekhawatiran.
Semakin dekat, terlihat sosok wanita yang tidak asing bagi Arkan, Rina mantan kekasihnya, yang dengan geram berteriak kepada resepsionis muda yang tampak ketakutan. Resepsionis itu menundukkan kepala, menghormati kehadiran Arkan saat menjelaskan bahwa Rina datang tanpa diundang dan mulai membuat keributan saat dilarang masuk. Wajah Arkan berubah merah padam, irama nafasnya meningkat tanda kemarahannya yang sudah mencapai puncak.
Rina melangkah anggun menuju meja resepsionis, matanya berbinar-binar saat melihat Arkan mendekat. Namun, seketika itu juga, wajahnya berubah menjadi manja, bibirnya mengerucut seolah hendak menangis. "Mas Arkan, si resepsionis ini nggak bolehin aku masuk. Aku kan cuma mau kasih makan siang buat kamu," keluhnya dengan nada yang merengek.
Para karyawan yang mendengar dan melihat tingkah Rina tidak bisa menyembunyikan rasa jijik mereka. Beberapa bahkan berbisik sinis, "Lihat deh, drama ratu sedang tampil."
"Benar, dasar perempuan gatal. Padahal sudah jelas jika pak Arkan sudah memiliki istri, "
Arkan, yang awalnya tersenyum melihat kedatangan Rina, sekarang wajahnya mengeras. Tatapan matanya tajam, seolah mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Rina dan bisikan yang terdengar dari sekitarnya. Suasana menjadi tegang, Arkan berjalan mendekat ke meja resepsionis, matanya tak lepas dari Rina.
Tanpa banyak bicara, Arkan menarik lengan Rina, "Cukup, kamu bisa pulang sekarang," ucapnya tegas, suara rendah namun jelas terdengar.
"A-apa maksudmu Arkan? " Ucap Rina tidak mengerti
Tanpa membuang waktu, Arkan menghampiri Rina lagi, tangannya yang kuat mencengkeram lengan wanita itu dengan kekuatan penuh. Rina yang terkejut hanya bisa pasrah saat Arkan menyeretnya keluar dari gedung dengan cepat. Fajar yang melihat kejadian itu memilih untuk tidak ikut campur,
Arkan menatap tajam ke arah Rina yang tergeletak lemah di tanah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Kamu hanya wanita murahan yang terus menggangguku!" teriaknya dengan suara serak, setiap kata yang diucapkan seolah-olah seperti pisau yang menancap di hati Rina. Fajar, yang berdiri di belakang Arkan, menundukkan kepalanya, tidak mampu menatap langsung kejadian menyedihkan itu, sementara para karyawan lain terpaku, terlalu takut untuk berbicara atau bergerak.
Rina, dengan segala kekuatan yang tersisa, berusaha bangkit. "Melody lah yang merebutmu dariku, dia wanita rendah yang menghancurkan segalanya!" balas Rina dengan suara yang bergetar, menahan air mata yang hendak jatuh. Arkan semakin geram mendengar pembelaan itu.
"Dengar, aku tidak punya waktu untuk omong kosongmu! Apa kau lupa siapa dulu yang sudah meninggalkan ku ketika aku tengah lumpuh? Itu kau! Kau yang meninggalkan aku, Rina! Bahkan aku rela memohon dan mengemis agar kau tidak meninggalkan ku waktu itu. Tapi apa? Nyatanya kau tidak memperdulikan ku, dan pergi begitu saja. Lalu apa sekarang ha? Kau datang setelah sekian tahun, lalu hadir ditengah tengah rumah tangga ku dan dengan lantangnya mulut kau mengatakan jika Melody lah yang merebutnya!" Arkan berteriak, mengusir Rina dengan gestur tangan yang kasar.
"Pergi dari sini sekarang juga sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!" Rina, dengan hati yang hancur dan tubuh yang lelah, perlahan berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu, meninggalkan para karyawan yang masih terdiam dalam kebisuan, sementara Arkan menghela napas dalam, mencoba menenangkan amarah yang masih bergolak.
"Pastikan agar wanita jalang itu tidak pernah datang kembali lagi! Jika kejadian ini kembali terulang, kau akan ku pecat! " Kecam Arkan pada kedua security yang mangangguk dengan takut takut.
***
Rina melangkah gontai meninggalkan area yang masih gemuruh dengan sinis dan bisikan. Rasa malu dan amarah membara dalam dadanya, namun secercah tekad masih menyala, ia tak akan menyerah. Di kepalanya, rencana demi rencana mulai terbentuk, gelap dan penuh dendam.
Dengan langkah yang semakin mantap, Rina memutuskan akan mengambil kembali Arkan, tak peduli apa yang telah terjadi di masa lalu. Melody, wanita yang sekarang berada di sisi Arkan, akan ia buat menderita. Rina berjanji dalam hati, ia akan menggunakan segala cara untuk menghancurkan kebahagiaan yang kini Melody miliki.
Di tengah keramaian, ia memandang tajam ke masa lalu ketika Melody yang tertawa lepas bersama Arkan. Rina menggertakkan giginya, merasakan iri yang memuncak. "Ini belum berakhir, Melody. Kamu akan merasakan apa yang telah kurasakan," gumam Rina penuh dendam, sambil menghilang ke dalam kerumunan, siap menyusun strategi liciknya.