Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENJADI ORANG TUA BARU
Kepulangan baby Cilla disambut dengan suka cita oleh keluarga besar Semeru. Tak hanya Oma dan Opanya yang bahagia atas kehadiran anggota baru di keluarga mereka, Rinjani dan Arjuno, tak kalah happy. Kedua anak itu, begitu gemas pada baby Cilla yang memang meski baru lahir beberapa hari, pipinya udah terlihat cubby. Waktu di rumah sakit, Ridho dan Amel sudah datang menjenguk.
"Biar aku gendong, Mi," Jani mengulurkan kedua lengan, meminta Cilla yang ada di gendongan Mami.
"Heiss, jangan!" Meru menepis tangan Jani. "Ini bayi beneran, bukan boneka. Kamu gak bisa." Ia yang bersimpuh di dekat kaki Mami, memelototi Rinjani. Sofanya tidak muat jika semua mau duduk di atas, semua ingin dekat dengan Cilla.
"Cuma gendong doang, pasti bisa," Jani kesal dengan larangan abangnya.
Mami tertawa cekikikan, jadi ingat kejadian di rumah sakit kemarin. Meru yang baru pertama menggendong Cilla tanpa bedong, gemetaran saking gugupnya.
"Cantik banget!" Baby Cilla menggeliat saat pipinya disentuh Juno. "Mirip banget sama Kak Ara," Juno yang berdiri di samping Jani, menatap Ara setelah memperhatikan wajah Cilla.
"Bayi wajahnya masih berubah-ubah," Mami menjelaskan. "Kadang pas lahir mirip mamanya, tapi agak gedean, mirip papanya, bisa juga sebaliknya. Kamu contonya Jun, sekarang plek ketiplek sama Papi, padahal pas lahir mirip Mami."
"Cantik dong," celetuk Jani sambil ngakak, lupa jika di sebelahnya, ada bayi yang sedang tidur. Setelah mendapatkan gaplokan dari Meru, baru-buru ia menutup mulut dengan telapak tangan. "Sorry, lupa."
Untungnya baby Cilla gak sampai bangun, hanya menggeliat saja.
"Ketiga anak Mami, semua mirip Papi. Mami cuma pabriknya doang," Mami tersenyum, menatap suaminya yang duduk agak jauh, di sofa single. Gimana gak jauh, Papi yang awalnya duduk di sebelah Mami, langsung kena usir Jani dan Juno yang kepengen dekat dengan ponakannya.
"Tapi kan emang gitu, Mi, menurut penelitian, wajah anak menurun dari ayahnya," ujar Meru. "Aku yakin deh, nanti semakin besar, Cilla bakalan mirip aku."
"Berarti mirip aku dong," lagi-lagi Jani nyeletuk. "Aku kan versi ceweknya Abang."
"Enggak, Cilla pasti lebih cantik daripada kamu pas gedenya nanti. Mamanya kan cantik banget," tersenyum, menatap Ara yang duduk di sebelah Mami.
Ara seketika salting, pipinya memerah, hatinya berbunga -bunga dipuji seperti itu di depan semua keluarga.
"Ciee.... ehem," Juno langsung menyoraki. Dan apa yang dia lakukan, lagi-lagi bikin Baby Cilla hampir terbangun.
"Terus, maksud kamu Mami gak cantik gitu?" protes Mami.
"Hajar, Mi!" Juno mengompori.
"Cantiklah Mi," Meru terkekeh sambil menutup mulut dengan telapak tangan. "Mami paling cantik pada masanya, sedang Ara paling cantik pada masa ini."
"Lha aku?" Jani protes, menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu nanti, kalau udah gede," sahut Meru.
"Dih, sok udah dewasa banget kamu, Bang," Jani mencebikkan bibir. "Kita cuma beda dua tahun tahu! Abang aja yang dewasanya kecepetan. 19 tahun udah jadi bapak. 40 tahun nanti, udah jadi kakek-kakek kamu, Bang."
"Kayak Mami dong," Mami tersenyum, menyadari jika saat ini, dia sudah nenek-nenek di usia yang terbilang belum terlalu tua, pertengahan 40 an.
"Gak papa usia berapa pun udah jadi kakek, yang penting kakeknya sekeren papi," Papi ikut nimbrung.
Ara tersenyum, dalam hati mengucap syukur tak henti-henti. Tak pernah menyangka, jika janin yang awalnya tidak diharapkan, bahkan hampir digugurkan, ternyata saat lahir, membawa kebahagiaan untuk banyak orang. Saat pergi ke Jogja nanti, dia tidak akan terlalu khawatir, karena yakin semua orang di rumah ini, menyayangi Cilla.
Mami mengajari Ara cara memandikan bayi, mengganti popok, juga lain-lain. Sengaja tidak mencari baby sitter terlebih dahulu, ingin Ara yang melakukan semuanya sebelum nanti kuliah ke Jogja.
Hari-hari Ara dan Meru berubah drastis sejak adanya Cilla. Mereka yang biasanya bisa tidur nyenyak setiap malam, sekarang harus rela begadang karena hampir tiap malam, Cilla rewel.
"Ru, bangun," Ara menepuk-nepuk bahu Semeru. "Gantian dong, aku capek, ngantuk juga." Cilla tidak mau diletakkan, setiap kali coba di tidurkan di box, bayi itu akan menangis, hanya akan diam saat digendong.
Meru berdecak, kesal karena Ara mengganggu tidurnya. "Aku juga ngantuk, Ra. Udahlah, tidurin di kasur, nenenin, pasti diam."
Ara menghela nafas panjang. "Gak mau, Ru, udah aku coba. Dia gak mau nen, kayaknya udah kenyang. Tapi memang minta digendong aja. Kamu bangun dong, gantian. Aku belum tidur sama sekali," mata Ara rasanya berat banget, sekarang sudah hampir pukul 12 malam.
"Ya udah, ya udah, sini," meski dengan wajah cemberut, Meru bangun, ganti menggendong Cilla.
Beberapa saat kemudian, "Ra, bangun!" gantian Meru yang membangunkan Ara. "Cilla nangis, nenenin."
Ara melihat ke arah jam, baru pukul setengah 1. Itu artinya, ia baru tidur tak sampai 1 jam. Mau kesal karena sudah dibangunin, tapi tangisan Cilla membuat ia mau tak mau mengambil bayi itu dari Meru. Siang hari, Cilla juga lumayan rewel, maunya nenen terus. Ara sungguh lelah di hari-hari awalnya menjadi ibu.
"Ra," Meru membangunkan Ara yang baru tidur siang sekejap.
"Apa sih, Ru, aku capek," Ara kesal istirahatnya yang baru beberapa saat sudah diganggu. "Kamu itu jagain anak bentar aja, udah gak tahan."
"Cilla pup," Meru memberi tahu.
"Ya kamu ganti popoknya."
"Gak bisa."
"Belajar. Masa aku terus, gantian dong."
"Gak bisa, Ra."
"Sebenarnya bukan gak bisa, tapi kamunya aja yang males."
Cilla mulai menangis, mungkin karena pantatnya gatal.
"Ra, buruan!"
"Males. Giliran kamu sekarang, gantian."
Meru berdecak kesal, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tapi pusing. Tak ada pilihan lain, ia mulai melepas celana Cilla. Menyobek popok seperti yang biasanya Ara lakukan saat mau mengganti popok. Setelah kedua sisi popok sobek, Meru mendadak mual melihat dan mencium aroma pup Cilla. Ia langsung ngacir menuju kamar mandi.
"Hoek, hoek."
"Astaga!" Mau tidak mau, Ara bangun. "Bisa-bisanya muntah melihat pup anak sendiri."
Kalau ditanya apa Ara lelah mengurus Cilla, jawabannya iya, tapi dibalik rasa lelah itu, ada kebahagiaan tersendiri, apalagi saat melihat wajah damai Cilla yang tertidur pulas dalam buaiannya. Saat hari keberangkatannya ke Jogja makin dekat, hatinya makin galau. Rasa sayangnya, membuat ia berat berpisah dengan Cilla.