Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Suasana bandara pagi itu ramai tapi teratur. Di antara para pelancong yang sibuk menarik koper, tampak Naya turun dari mobil mewah bersama Alvan.
Alvan menenteng koper hitam besar, dengan wajah dingin khasnya. Sementara Naya berjalan di sampingnya, wajahnya tenang—mungkin terlalu tenang untuk seseorang yang sedang dalam perjalanan bulan madu.
📢 “Penerbangan menuju Denpasar, Bali akan segera dibuka…”
Mereka sudah hampir sampai ke gerbang check-in saat...
“Woiii!!”
Suara familiar itu membuat Alvan dan Naya sama-sama menoleh.
Dari arah lobi, Sarah muncul dengan koper ungu cerah, lengkap dengan kacamata hitam dan gaya santai seperti pergi liburan musim panas.
Arya menyusul dari belakang, terlihat lebih kalem dengan hoodie dan tas ransel.
Alvan langsung menghentikan langkah.
Kedua matanya mengarah ke Naya—matanya menyipit penuh tanya.
“Apa yang mereka lakukan di sini?” tanya Alvan datar.
Naya berusaha santai, menoleh ke arah Sarah dan Arya yang semakin dekat.
“Ups, surprise?” jawab Naya pelan sambil tersenyum tak bersalah.
"Naya," suara Alvan mulai tegang, "kamu ngajak mereka?"
Sarah sudah tiba tepat di depan mereka dan menyapa penuh semangat,
“Selamat bulan madu yaaa!”
Ia mengedip ke arah Naya, lalu merangkulnya dengan geli.
“Naya.”
Nada Alvan kini lebih rendah. Lebih tajam.
“Kamu ngajak teman-teman kuliah kita ikut bulan madu?”
“Tenang aja, Pak Dosen,” jawab Naya sambil menaikkan alis, “Anggap aja ini... liburan gabungan. Saya kan nggak melanggar aturan.”
Arya berdiri agak canggung di sisi Sarah, tidak banyak bicara, tapi memperhatikan ekspresi Alvan dengan waspada.
“Kalian nggak harus bareng terus, kok,” lanjut Naya dengan tenang. “Saya hanya butuh... suasana ramai. Supaya gak bosan.”
Alvan menatapnya lama. Tak berkata apa-apa.
Ia hanya menahan napas, lalu memalingkan wajah—menarik koper dan langsung jalan ke arah konter check-in.
Sarah mendekat ke telinga Naya dan berbisik sambil tertawa kecil:
“Sumpah... aku suka banget lihat mukanya pas kamu ngomong ‘liburan gabungan’ tadi.”
Naya hanya nyengir dan melambai pelan ke arah Arya.
Sementara Alvan, yang sudah jauh di depan, menarik napas berat.
“Kamu benar-benar membuat liburan ini... jadi ‘berwarna’, Naya.”
Batin Alvan, setengah frustasi, setengah... penasaran.
Langit Bali cerah. Angin pantai terasa hangat, membelai wajah-wajah penumpang yang baru keluar dari terminal kedatangan.
Naya melangkah keluar lebih dulu dengan kacamata hitam dan dress simpel berwarna pastel. Di belakangnya, Sarah dan Arya tampak asyik berselfie dengan latar langit biru dan deretan taksi bandara.
Sementara Alvan berjalan sambil mendorong koper. Wajahnya tenang, tapi dari garis rahangnya, ketegangan masih terasa.
“Wah Bali tetap jadi surga dunia yaaa…” seru Sarah sambil berputar kecil.
“Welcome to honeymoon trip, yang nggak begitu honey!” sambungnya geli, melirik Naya.
Naya hanya mendesah kecil dan menengok ke arah Alvan.
“Kita dijemput shuttle hotel kan?”
Alvan hanya mengangguk, lalu mengangkat ponsel.
“Driver-nya sudah standby. Ayo.”
Hotel Bintang Lima – Beachfront Resort
Mobil shuttle berhenti di pelataran hotel yang megah. Arsitektur khas Bali, suara gamelan pelan terdengar, dan aroma bunga kamboja menyambut mereka.
“Waw…” Arya tampak terkesima. “Ini hotel kelas atas, Nay?”
“Yap. Aku nggak setengah-setengah kalo kabur dari kenyataan,” jawab Naya ringan, tapi tajam menyentil dirinya sendiri.
Petugas hotel menyambut dengan ramah, memberikan welcome drink dan kalung bunga.
Alvan langsung mengurus check-in. Di meja resepsionis…
“Dua kamar,” ujar Alvan tegas.
“Satu untuk saya dan istri, satu lagi untuk dua teman kami.”
Tapi Sarah langsung memotong dengan suara yang sedikit meninggi.
“Loh, Pak! Kok dua kamar? Gak mungkin kan saya dan Arya nginep barengan di satu kamar?”
Sarah menoleh ke Naya dengan wajah kaget campur panik.
“Gila, Nay, gue gak gitu banget juga!”
Arya langsung menunduk, wajahnya merah padam.
“Saya juga bisa cari penginapan lain deh, gak usah repotin.” ucap Arya canggung.
Naya memijat pelipisnya.
“Pak dosen, jangan asal ngatur. Kita di sini bawa teman, bukan pasangan kedua!”
Alvan menatap mereka bertiga sebentar, lalu menghela napas.
“Maaf. Saya pikir... akan lebih efisien. Tapi kalau itu masalah—”
Ia menoleh ke resepsionis.
“Tolong, tambahkan satu kamar lagi. Jadi tiga kamar. Terpisah semua.”
“Baik, Pak. Akan kami siapkan sekarang,” ucap resepsionis ramah.
Sarah bersedekap, lalu melirik Naya.
“Untung aja suami lo masih bisa diajak bicara pakai logika ya.”
Naya menjawab cepat,
“Kalo soal logika, dia jagonya. Hatinya aja yang belum nyala.”
Alvan mendengar itu, tapi tidak menanggapi. Ia hanya kembali ke koper dan mengecek ponselnya.
Ketiganya naik lift ke lantai atas. Setiap kamar berada di lorong yang sama tapi berjauhan beberapa pintu.
“Oke, jadi malam ini... bebas tugas,” ujar Sarah sambil mengangkat kunci kamarnya.
“Besok pagi kita susun rencana main, agreed?”
“Terserah kalian.” sahut Alvan datar sambil membuka pintu kamarnya bersama Naya.
Saat pintu tertutup, Alvan dan Naya kembali terjebak dalam satu ruangan luas dengan ranjang besar yang kini terasa… seperti arena diam-diaman.
“Oke, seperti di rumah. Pak dosen tidur di sofa itu, dan aku tidur di sini.”
Naya menepuk-nepuk kasur empuk dengan penuh kemenangan.
Alvan mendongak dengan ekspresi datar.
“Enak saja kamu bilang begitu. Aku yang pesankan kamar ini. Jadi yang menentukan... aku.”
Naya memutar bola mata lalu tersenyum manis, yang jelas-jelas sarkas.
“Hmm, oke, aku maklumi. Tapi...”
Dia dengan cepat meraih bantal guling, meletakkannya di tengah kasur.
“Bantal ini pembatas. Saya di sini, Anda di sana. Titik.”
Tapi pembatas itu tidak adil. Bagian Alvan tinggal sepertiga ranjang, sementara sisi Naya seperti lapangan.
Alvan menggeleng pelan.
“Kamu pembagi wilayah yang kejam.”
Tanpa komentar lebih lanjut, ia mulai membuka kancing kemejanya, satu per satu.
“EH!” Naya langsung melotot.
“Ngapain buka-buka baju di depan saya?!”
Alvan menahan tawa, menaikkan satu alis sambil menatapnya heran.
“Lah... Aku mau mandi memang nya kenapa?"
“Mandi ya mandi aja... jangan buka baju depan orang dong!”
Naya masih menutup mata, tapi dari sela jari-jarinya terlihat wajahnya yang merah padam.
Alvan mendekat pelan, dengan nada yang sengaja dibuat datar.
“Kita ini sudah sah secara hukum dan agama, Bu Naya. Lagian aku juga nggak buka semuanya di sini.”
Ia mendesah, menyambar handuk, lalu berjalan menuju kamar mandi.
“Santai aja, aku bukan tipe yang cari kesempatan dalam kesempitan.”
Tepat sebelum masuk ke kamar mandi, ia menoleh sedikit, senyum tipis mengembang di bibirnya.
“Kecuali... kamu yang duluan nyari.”
“MIKIR AJA ENGGAK!” bentak Naya sambil melempar bantal ke arah pintu kamar mandi yang langsung tertutup rapat.
Setelah suara air mengalir, Naya akhirnya berbaring dengan wajah masih memerah.
“Ya Allah... ujianku nggak habis-habis.” gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar hotel.
🍒🍒🍒