"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Pertanggungjawaban
Kian terkejut, spontan membanting setir ke kanan. Ponsel terlempar dari tangan. Jantung Kian nyaris copot dari dada.
Seekor kambing meloncat dari semak-semak.
Menyeberang jalan seenaknya, seperti raja kecil tak tahu takut.
Mobil oleng.
Kian berhasil menghindari kambing… tapi terlambat menyadari ada seseorang di jalan.
Brak!
Sosok tubuh itu terpental ke pinggir jalan, jatuh menghantam tanah kering.
Kian mengerem mendadak. Suara gesekan ban menggema di antara gemuruh jantungnya.
Ia membeku sesaat.
Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu dan turun. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
Tak jauh di depan, seorang gadis tergeletak di tanah berumput. Pakaian serba hitam. Wajahnya tak terlihat jelas karena tertutup cadar. Dan darah mengalir di kakinya.
"ASTAGA!" Kian langsung berlari.
"Nona! Dengar aku? Kamu dengar aku?!"
Gadis itu menggeliat pelan, menahan sakit. Napasnya terdengar berat.
Kian bersimpuh di sampingnya, panik.
"Aku... aku nggak sengaja. Aku sumpah nggak lihat kamu! Aku... kambing itu..."
Gadis itu mencoba bicara, tapi hanya mengerang lirih.
Tubuhnya tergeletak lemah. Napasnya tersengal, namun matanya masih terbuka samar.
Kian berjongkok di sisinya, panik.
“Aku akan membawamu ke rumah sakit, sekarang juga—”
Namun ketika tangannya hendak menyentuh tubuh gadis itu, suara lirih menahannya.
“Jangan…” ucapnya lemah, tapi tegas.
“Kita bukan muhrim…”
Kian terhenti. Matanya menatap penuh kebingungan.
“Kamu terluka! Kaki kamu mungkin patah! Aku—aku cuma ingin menolong!”
Gadis itu mencoba menggeser tubuhnya menjauh, menahan nyeri, menegakkan prinsip meski tubuhnya nyaris tak sanggup bergerak.
“Tolong… jangan sentuh aku…” bisiknya lagi.
Dan sesaat setelah itu—
Gadis itu jatuh pingsan.
Kian membeku. Lalu, tanpa pikir panjang, ia memeluk tubuh itu, mengangkatnya dalam gendongan.
“Maaf…” bisiknya pelan, “tapi kamu harus diselamatkan.”
Mobilnya melesat menuju rumah sakit terdekat. Di dalam hatinya, ia tak tahu apa yang tengah ia rasakan. Panik, bersalah, tapi juga... entah kenapa, ia ingin memastikan gadis itu selamat.
Dan hari itulah—
Hari ketika hidup Kian Ardhana berubah arah.
Hari ketika ambisinya bertabrakan dengan takdir.
Ketika cintanya pada Friska mulai goyah...
...karena seorang gadis asing yang seharusnya tak pernah masuk dalam rencananya.
Seorang gadis bercadar...
Yang wajahnya tak pernah ia lihat.
Sejak hari itu, di jalan sunyi pedesaan Kalimantan,
bayangan gadis bercadar itu... tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
***
Di Rumah Sakit
Kian mondar-mandir di lorong rumah sakit. Tangannya masih bergetar, pikirannya kalut. Nama gadis itu baru saja ia dengar dari suster: Kanya Zahira.
Belum sempat ia menenangkan diri, suara langkah tergesa terdengar dari ujung lorong.
Seorang pria paruh baya berjalan cepat mendekat. Tubuhnya tinggi namun mulai tampak menyusut—pundaknya agak membungkuk, wajahnya tirus dan pucat. Sorot matanya tajam, tapi kelelahan jelas tergambar di sana.
Meski langkahnya tergesa, napasnya sedikit memburu, seolah tubuhnya memikul beban yang lebih berat dari sekadar kekhawatiran. Ia langsung menghampiri suster di meja jaga, suaranya parau tapi mendesak.
“Putri saya. Di mana Kanya Zahira?” tanyanya dengan nada terburu dan berat.
Kian menoleh—dan terbelalak.
Ia mengenal pria itu.
Pak Hasan.
Pemilik tanah terakhir yang menolak menjual lahannya untuk pembangunan resort milik perusahaan Kian. Tanah yang terletak tepat di jantung proyek—tanah yang membuat desain besar mereka terancam gagal total.
Suster menunjuk ke arahnya, sambil menjelaskan singkat siapa yang membawa Kanya ke rumah sakit.
Pak Hasan pun menoleh mengikuti arah tunjuk itu.
Saat matanya menangkap wajah pria di ujung lorong, sorot syok dan curiga langsung mengeras dalam tatapannya.
“Kian Ardhana?” Suaranya menggema pelan, namun tajam.
“Kau yang membuat anakku seperti ini?”
Kian mengumpat dalam hati. Rasanya seperti ditampar kenyataan.
Suasana lorong rumah sakit mendadak membeku.
Kian menunduk sedikit, mencoba menjaga ketenangannya, lalu menjawab pelan, “Saya tidak sengaja… saya bahkan tak tahu kalau dia—putri Anda.”
Pak Hasan melangkah maju. Tatapannya menusuk, penuh kecurigaan dan amarah yang ditahan.
“Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Setelah semua tekananmu agar kami menjual tanah? Lalu sekarang, putriku hampir mati... ditabrak olehmu?”
Kian menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.
“Saya... tidak punya maksud jahat, Pak. Saya hanya ingin menolong.”
Namun dari sorot mata Pak Hasan, Kian tahu—kepercayaan bukan sesuatu yang mudah diminta, apalagi dari pria seperti dia. Keras kepala, penuh prinsip, dan jelas tidak akan membiarkan ini berlalu tanpa perhitungan.
"Shiit! Kali ini aku benar-benar mampus!" Firasat buruk merambat di dada Kian, seperti kabut tebal yang enggan hilang.
*
Beberapa jam berlalu sejak Kanya masuk UGD. Lorong rumah sakit mulai lengang. Tak ada suara selain detak jarum jam di dinding—terdengar seperti dentuman palu yang menggedor ketegangan.
Kian duduk di bangku tunggu, punggung membungkuk, wajah ditutupi kedua tangan. Entah sudah berapa kali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang terus menggerogoti pikirannya.
Sementara itu, Pak Hasan berdiri di sudut ruangan, diam dan kaku. Punggungnya bersandar pada dinding, bukan hanya karena lelah menunggu—tapi karena tubuhnya memang mulai sulit menopang beban hidup yang terlalu berat. Wajahnya masih tampak tegas, tapi lebih tirus dari seharusnya. Sorot matanya menyimpan badai yang belum meledak—perpaduan antara cemas, marah, dan rasa tak berdaya yang terpendam dalam diam.
Hingga akhirnya—
Pintu ruang UGD terbuka.
Seorang dokter keluar. Wajahnya lelah, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat waktu seakan berhenti.
“Dok… bagaimana kondisi anak saya?” tanya Pak Hasan cepat, nadanya genting.
Dokter menghela napas panjang, seperti berusaha meredam berita buruk yang akan disampaikan.
“Kanya mengalami patah tulang cukup parah. Beberapa jaringan di kakinya rusak permanen. Kami telah memasang pen untuk penahan dan stabilisasi. Tapi…”
Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, pelan tapi tegas:
“…meskipun ia selamat, kami tidak bisa menjanjikan dia akan berjalan normal lagi. Bahkan dengan fisioterapi intensif sekalipun… kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan sebagian. Permanen.”
“Cacat…?” suara Pak Hasan tercekat, nyaris tak terdengar.
Dokter mengangguk perlahan.
“Ya. Putri Anda kemungkinan akan pincang seumur hidup.”
Dunia runtuh.
Pak Hasan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Matanya memerah, tapi tak setetes pun air mata jatuh. Yang ada hanya luka—diam, dalam, terlalu perih untuk ditangisi.
Lalu, ia menoleh.
Menatap Kian dengan sorot mata membara.
“Kamu,” ucapnya pelan—tapi tajam, seperti sembilu yang menusuk tanpa darah.
“Ini semua… karenamu.”
Dokter memilih angkat kaki, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara. Ia tahu kapan harus mundur dari urusan yang tak berkaitan dengan medis.
Kian menatap balik, tubuhnya menegang. “Saya… saya benar-benar minta maaf. Ini tidak sengaja. Saya bahkan yang membawanya ke rumah sakit. Saya akan menanggung seluruh biaya perawatannya, Pak.”
Namun kata-katanya hanya menambah bara di mata Pak Hasan.
“Kau pikir cukup dengan itu?” suaranya naik, dingin tapi bergetar. “Minta maaf, bayar rumah sakit, lalu pergi? Lalu hidupmu kembali nyaman seperti biasa?”
Kian membuka mulut, mencoba menjelaskan.
“Pak, saya tak sengaja. Saya bahkan menolongnya…”
“Tanggung jawabmu…” Pak Hasan memotong, nadanya semakin dingin, “…tak cukup hanya dengan kata maaf dan uang. Putriku… mungkin akan kesulitan menikah. Dia akan dicemooh. Lalu siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan melindunginya?!”
Seketika, ruangan itu tenggelam dalam keheningan.
Kian tak bisa menjawab. Ia tak punya jawaban—karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya…
…ia kehilangan arah.
Dan di tengah badai emosi itu—
Sebuah ide gila melintas di kepala Kian.
"Kalau begitu..." ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”
Pak Hasan menatapnya tajam.
“Apa maksudmu?”
“Saya akan menikahinya, Pak.”
Nada suara Kian terdengar bulat, meski dadanya bergetar hebat.
“Kalau itu bisa menebus semua kesalahan saya, saya bersedia menjadi suaminya.”
Dan begitu kalimat itu keluar, sebuah desir aneh bergetar di dada Kian.
Bukan karena cinta.
Bukan karena belas kasihan.
Tapi karena satu hal tersembunyi: tanah.
Tanah milik Pak Hasan—yang selama ini tak tersentuh, kini tiba-tiba terasa mungkin digenggam. Melalui jalan yang tak pernah ia bayangkan: pernikahan.
Namun Kian tahu satu hal—
Sekali kalimat itu terucap, ia tak bisa menariknya kembali.
Dan dari balik tirai UGD, Kanya tak sadar…
…bahwa hidupnya akan berubah.
Dalam sebuah pernikahan yang lahir dari luka.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁