Not My Type (Unfortunately, You Are)

Senin pagi yang cerah kala itu tak senada dengan suasana hati Hanna yang sedikit mendung — entah kenapa.

Ajakan menghadiri ruang rapat untuk turut serta dalam morning report sudah terdengar.

Perlahan Hanna melangkah ke ruang rapat. Dengan tatapan kosong. Ia takut mendengar kata perpisahan dari dr. Arga. Ia lupa, beberapa bulan lalu ia menolak dr. Arga untuk masuk ke dalam hidupnya. Dan kini — ia seolah ingin dr. Arga memaksanya lagi.

Setelah selesai memberikan arahan saat rapat, dr. Selamat mempersilahkan dr. Arga untuk memberikan kata perpisahannya.

Dengan tubuh yang tegap serta senyuman yang tulus, ia mengucapkan kata perpisahannya "Tibalah hari ini saya sampaikan bahwa saya telah resmi mengajukan pengunduran diri dan akan selesai masa jabatan per-akhir bulan ini.."

Disaat semua sibuk dengan kegiatannya, semua serempak berhenti. Semua pandangan menuju dr. Arga.

Dr. Hendra menatapnya lama dan tersirat sedikit senyuman di ujung bibirnya seolah ia sedang memenangkan sesuatu.

Di sudut kanan sana, Hanna terdiam dan larut dalam pikirannya. Ia membayangkan jika dr. Arga pergi, maka tak ada lagi yang dengan lembut menyapa nya, menjadi penyelamatnya, dan tak ada lagi bayangan tubuh tinggi itu yang sering ia lihat melintasi gedung fisioterapi.

Yang paling membuat Hanna takut adalah, dia sadar bahwa perasaan itu mulai tumbuh disaat dia sudah pernah menolak dr. Arga untuk masuk ke dalam hidupnya..

Namun, siapa yang bisa menolak sesuatu yang datang tanpa diminta, tanpa izin dan tiba-tiba terasa perlu untuk ada di dalam hidupnya?

Kacaunya, Hanna mengakui bahwa saat ini hatinya sedang terjebak bersama dua orang yang saling bersinggungan.

Bersama dr. Arga, Hanna merasa bersama seseorang yang seperti sejalan dengannya. Tapi diantara mereka berdiri tembok yang besar — yaitu perbedaan keyakinan.

Sedangkan dr. Hendra, keyakinan mereka sama tapi Hanna merasa jarak mereka sangat jauh sebab ia tahu bahwa dr. Hendra mungkin sudah berpihak pada wanita lain, yaitu dr. Vera.

"Kenapa justru aku jadi terjebak dengan hal yang kayak gini? Aku cuma pengen sembuh dari masa lalu.."

Hanna tak sadar, lamunannya terus berlanjut hingga morning report sudah selesai dan semua orang kembali bekerja ke unit masing-masing.

Saat hendak keluar, dr. Hendra sedikit memberikan senyuman pada Hanna. Maksud hati ingin memberikan sapa, Hanna justru bersikap dingin.

"Ah.. Sudahlah.." dr. Hendra tak mau ambil pusing.

dr. Hendra kembali ke ruangan kerjanya. Disana dr. Ikhsan langsung menghampirinya.

"Hen, kamu ikut aku yuk untuk diskusi sebentar bareng Hanna"

dr. Hendra bingung, padahal tadi baru saja bertemu Hanna "Lho? Kenapa nggak sekalian tadi aja, bang?"

"Tadi kan lagi morning report, Hen. Ayuk cepet"

Dr. Ikhsan mengajak dr. Ningsih dan dr. Faisal juga. Akhirnya mereka bergegas menuju gedung fisioterapi dan menunggu Hanna di kursi tunggu.

Sesampainya disana, dr. Ningsih dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan menelpon Hanna untuk meminta turun sebentar.

Saat Hanna sudah sampai ke bawah, ia bingung mengapa ada dr. Hendra yang tiba.

Melihat Hanna menghampiri mereka, dr. Ikhsan mengajak Hanna untuk duduk didekat mereka.

"Maaf ya, Han kita ganggu dulu hehehe" canda dr. Ikhsan.

Dengan tawa yang lembut, Hanna menyatakan bahwa ia tidak keberatan "Hehehe nggak masalah, dok."

Dr. Ikhsan membalas dengan tawa juga "Gini, Han. kami mau tanya. Kenapa ya tunjangan perjalanan dinas untuk tim klinik nggak dicairkan? Kabarnya ada beberapa honor dan tunjangan medis dokter yang belum dibayarkan, Han. Termasuk milik dr. Arga"

Hanna mulai paham mengapa dr. Arga memutuskan untuk resign namun ia juga berpikir tidak mungkin dr. Arga seperti itu. Pasti ada alasan lain mengapa ia memilih untuk resign.

"Maaf, dok. Untuk masalah pembayaran bukan ranahnya Hanna. Hanna khusus untuk pengajuan tagihan kepada perusahaan"

Dr. Ikhsan terkejut. Selama ini, ia mengira bahwa Hanna yang berwenang dalam masalah pembayaran hutang.

Dengan cepat dr. Ningsih menyambungkan agar tidak ada kesalahpahaman dr. Ikhsan kepada Hanna. "Dok, lebih baik kita tunggu penjelasan dari Bu Vannya saja. karena beliau yang punya wewenang."

Karena ucapan dr. Ningsih itu, akhirnya dr. Ikhsan menyetujuinya.

Disela-sela percakapan itu, dr. Hendra sesekali mencuri pandang kepada Hanna yang kala itu sedang fokus mendengarkan.