WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA. 
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA. 
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka. 
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari. 
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon. 
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari. 
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama? 
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah? 
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu. 
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Kembali Setelah 5 Tahun
#16
Setelah sempat mendapatkan omelan dari ART yang mengantar Al ke sekolah, Leon pilih sedikit menjaga jarak agar tidak terlalu menarik perhatian.
Tapi, rasa penasarannya telah mencapai puncak, akibat pertanyaan singkat Dean.
“Jika Agnes memiliki anak? Apa yang akan kamu lakukan?”
Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Leon, hingga membuatnya tak fokus melakukan apa-apa.
Ditambah lagi ada begitu banyak kebetulan yang terjadi, kebetulan memiliki bentuk dan warna mata yang sama, rambut yang sama, alergi yang sama, dan Juga nama belakang mereka—
Leon semakin yakin ketika sorot mata membuatnya berdebar, karena sorot mata tersebut, adalah sorot mata mantan istrinya. Leony Agnes.
Terlalu kebetulan jika Al memiliki ciri-ciri fisik sama dengan dirinya dan juga Agnes.
Hari ini, setelah berhari-hari menanti kesempatan ini datang, yang ia nantikan pun tiba—
Tak salah lagi, pada akhirnya rasa rindu itu menuntun Leon pada seseorang yang sangat ingin ia jumpai, walau beribu kali coba memungkiri.
Leon sudah menghentikan mobilnya di tempat strategis, hingga memungkinkannya melihat dengan jelas arah depan sekolah. Hampir satu jam duduk diam dan waspada mengawasi siapapun yang datang, akhirnya yang dinantikannya pun tiba.
Mobil Agnes tiba menjelang bel masuk sekolah berbunyi, Agnes terlihat turun lebih dahulu, kemudian membukakan pintu untuk Al. Leon tak mau membuang waktu lagi, ia pun turun dari mobil, berlari menyebrangi jalan hingga berhenti tepat di hadapan Agnes dan Al.
Deg!
Deg!
Jantungnya kembali berdetak cepat, bukan karena baru saja berlari, tapi karena tiba-tiba merasakan euforia bertemu dengan wanita yang membuatnya merasakan sesak karena rindu, sekaligus benci dengan keputusan yang dulu ia buat dalam keadaan emosi.
Dua pasang mata itu saling menatap, dalam sorot mata keduanya ada luka berbalut percikan cinta, ada rindu yang masih menggebu seperti dulu. Tapi jarak sudah jauh berbeda, ada benteng tak kasat mata yang siap menjadi penghalang mereka.
“Uncle?” sapa Al pada Leon.
Suara sapaan tersebut membuyarkan kebisuan Agnes dan Leon. Hingga keduanya saling membuang muka sesaat.
Agnes memutar tubuh Al, hingga berhadapan dengannya, wanita itu merapikan pakaian serta rambut Al yang sedikit berantakan.
“Al, masuk sendiri, bisa, kan? Mommy harus segera ke toko.”
“Oke, Mom.” Al kembali berbalik, “Bye, Uncle.”
Leon hanya bisa tersenyum kaku membalas lambaian tangan kecil Al, anak itu dengan riang berlari kecil masuk ke gerbang sekolah menghampiri Ibu Guru yang menunggunya di depan kelas.
Jika dihitung sejak perpisahan mereka, hati kecilnya sangat yakin bahwa Al adalah putranya, tapi bagaimana bisa?
Bukankah dulu Agnes tak menginginkan anak? Atau jangan-jangan itu hanya alasan? Agnes sengaja menyembunyikannya, tapi untuk apa?
“Siapa, dia?”
“Anakku.”
“Maksudku siapa ayahnya?!” Leon mempertegas pertanyaannya. Padahal mereka baru saja berjumpa setelah 5 tahun berpisah, tapi Leon merasa tak perlu menanyakan kabar Agnes, karena jelas sekali wanita itu nampak sehat dan bahagia menjalani hidupnya.
Sementara dirinya terpuruk dalam kesedihan mendalam, karena belum bisa menghapus nama Agnes sepenuhnya.
“Kamu bertanya atau menuding?”
“Oh, ayolah, kenapa kamu balas bertanya? Apa susahnya menjawab pertanyaanku?” ulang Leon tak sabar.
“Menurutmu siapa ayah anakku?” Agnes kembali memberikan teka teki, membuat Leon semakin gemas dengan jawaban mantan istrinya tersebut.
“K-kamu sudah menikah lagi?” tebak Leon ragu, lebih tepatnya takut dengan jawaban yang akan Agnes kemukakan.
Tapi pertanyaan itu membuat Agnes tertawa miris, begitu jelas kemiripan antara Leon dan Al, tapi pria itu justru menanyakan hal yang tak pernah Agnes duga.
“Begitukah menurutmu? Jadi hanya sebatas itu rasa percayamu padaku?”
Leon menjambak rambutnya dengan kesal, “Kalau begitu jawab!”
“Jawaban apa yang ingin kamu dengar?” tanya Agnes dengan mata berkaca-kaca. “Bahwa setelah berpisah denganmu aku buru-buru menikahi pria lain? Lalu melahirkan seorang anak untuknya?”
“Tentu saja! Karena selama bersamaku kamu tak lupa mi-num … “
Agnes memberanikan diri menatap kedua mata Leon. “Satu kali, hanya satu kali aku tak meminumnya, kurasa saat itulah Al hadir—”
Leon terbelalak, bukan Agnes yang menangis justru dirinya yang tiba-tiba meneteskan air mata. “Saat terakhir itu, kita berdebat, lalu kamu pergi membawa pil itu—”
“J-ja-jadi, Al—” ucap Leon dengan pelan belum percaya dengan apa yang baru saja Agnes ucapkan.
Hari itu ia pergi dengan marah ketika Agnes mengakui bahwa selama beberapa bulan pernikahan mereka wanita itu sengaja minum pil pencegah kehamilan.
Karena tak ingin Agnes meminumnya, maka Leon membawa pergi pil tersebut bersamanya.
“Kamu bisa menyimpulkannya sendiri.”
Mereka masih di pinggir jalan, sejujurnya bukan tempat yang nyaman untuk saling bicara berdua, tapi Leon seperti tak mau kehilangan satu-satunya kesempatan. Lagipula ia sudah tak sabar untuk menemukan jawaban atas rasa penasarannya beberapa hari terakhir ini.
“Tapi kamu bilang tak menginginkannya?”
“Aku tidak sekejam itu, Leon!” sentak Agnes menaikkan nada suaranya.
“Maaf, tapi— tak salah, kan, jika aku berpikir demikian? Kamu begitu tegas menolak kehadirannya diantara kita, jadi—”
“Hampir.” Agnes kembali menyela ucapan Leon, “Jika itu yang ingin kamu dengar. Iya, aku hampir menggugurkannya jika saja Mama tak menamparku. Hampir saja aku menggugurkannya, jika tak ingat bahwa dia tidak tahu apa-apa, apa salah dia sampai aku harus membunuhnya?”
Agnes menghapus air matanya dengan kasar.
“Lalu kenapa kamu tega menyembunyikan keberadaan anakku dariku?”
Agnes kembali tertawa miris. “Jika pertanyaanmu benar, apa mungkin aku datang ke kota ini? Bisa saja aku terus bersembunyi di kota kelahiranku. Agar kamu tak bisa menemukan keberadaanku dan Al.”
Leon membuang nafasnya ke udara, bahagianya mungkin terlambat, tapi ia lega karena Agnes tak menyingkirkan buah hati mereka.
“Oke aku mengakui itu, tapi kenapa dulu tak menghubungiku? Jika saja kamu menghubungiku aku pasti— berlari menghampirimu, lalu membawa kalian kembali dalam hidupku.”
Leon hanya mampu melanjutkan kalimat terakhirnya di dalam hati.
Inilah bagian yang paling membuat Agnes merasa emosional, di saat ia berharap bisa bicara dengan Leon, selalu ada saja penghalangnya. “Bukan aku bermaksud menyembunyikan keberadaan Al, tapi—”
Tiba-tiba ponsel Leon berdering, pria itu mengumpat kesal setelah tahu siapa yang meneleponnya. “Iya—”
“Dok, Anda dimana? Operasi akan segera dimulai?”
“Haissh, bagaimana aku bisa lupa?” gumam Leon geram pada dirinya sendiri.
“Iya, aku kesana sekarang.” Leon mengakhiri panggilan tersebut.
“Masih banyak hal yang ingin aku tanyakan, tapi aku harus pergi.” Terpaksa Leon pamit untuk urusan tanggung jawab moralnya sebagai dokter.
“Pergilah, aku pun harus kembali ke toko.”
Agnes tak ingin menghalanginya, karena itu adalah bagian dari kewajiban Leon, lagipula kenapa juga harus ditahan? Toh mereka bukan siapa-siapa lagi, selain orang tua Al.
Sebelum pergi, Leon menyempatkan diri meminta nomor ponsel Agnes, pria itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia ingin Al segera tahu bahwa dirinya adalah ayah kandungnya.
“Aku ingin Al segera tahu siapa diriku.”
Agnes menelan ludah, melihat kepergian Leon. “Mungkin perjuanganmu tak akan mudah—”
abaikan Debby