NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31

"Dan... selesai! Sempurna!"

Erica Wijaya tersenyum lebar pada ring light di depannya. Ia menekan tombol "Akhiri Siaran Langsung" di layar tabletnya. Dalam sepersekian detik, senyum porselen hasil veneer seharga mobil kota langsung lenyap, digantikan oleh ekspresi lelah dan jengkel.

"Ya Tuhan, Mona," katanya pada asistennya, suaranya kini serak dan datar, kelembutan "live IG"-nya menguap. "Pertanyaan-pertanyaan di kolom komentar itu makin bodoh saja. 'Kak, rahasia glowing-nya apa?' Rahasianya adalah uang 50 juta rupiah di klinik dermatologi, bodoh. Tulis itu di caption nanti."

Apartemen penthouse Erica di kawasan Senopati adalah sebuah studi tentang kesempurnaan yang dikurasi. Itu bukan rumah; itu adalah set panggung. Semuanya putih, krem, dan beige. Dia benci warna beige. Dia pikir itu warna untuk orang mati yang menyerah. Tapi beige menjual. Beige itu "berkelas".

Tanaman monstera yang subur di sudut (yang disiram Mona, tentu saja). Sofa linen yang nyaman (yang tidak pernah ia duduki karena takut kusut). Dindingnya dihiasi cermin-cermin antik berbingkai emas. Erica menjual mimpi "kesempurnaan" dan "cinta diri". Dengan 12 juta pengikut, dia adalah influencer gaya hidup paling berpengaruh di negeri ini. Siaran langsung tadi adalah tentang "Wanita Mendukung Wanita", sebuah ironi yang begitu kaya hingga nyaris membuatnya tertawa.

"Kerja bagus, Kak," kata Mona, membereskan perlengkapan. Mona adalah bayangan yang efisien. "Oh, iya. Tadi ada paket datang pas Kakak lagi live. Aneh banget."

"Dari brand apa?" tanya Erica, melepaskan anting berliannya. "Kalau bukan Dior atau Chanel, kasih ke kamu aja. Aku lelah pura-pura suka skincare lokal."

"Bukan brand, Kak," kata Mona, mengangkat sebuah kotak datar yang terbungkus aneh.

Erica berbalik. Kotak itu adalah sebuah anomali. Sebuah noda.

Di tengah dunianya yang "krem" dan "putih", kotak ini terbungkus kain beludru hitam pekat, diikat dengan pita perak tipis. Tidak ada alamat pengirim. Hanya stiker cetak yang familier:

PRIBADI

"Wow. Gothic," cibir Erica. "Mungkin dari secret admirer yang menyeramkan. Atau lebih mungkin, brand baru yang mencoba tampil beda. Buka saja."

"Atau hater," gumam Mona.

"Biar kutebak," kata Erica, mengambil alih kotak itu. "Pasti isinya sabun... oh."

Dia membuka kotak itu. Di dalamnya, di atas lapisan satin merah darah, tergeletak sebuah benda. Bukan perhiasan. Bukan makeup.

Itu adalah sebuah cermin tangan antik.

Benda itu indah, Erica harus mengakuinya. Gagangnya terbuat dari perak yang menghitam karena usia, diukir dengan motif tanaman merambat yang rumit. Sangat aesthetic. Sangat cocok untuk properti fotonya.

Tapi saat Erica mengangkatnya, dia merasakan bau-nya. Bukan bau packaging baru. Bau debu. Bau logam tua. Bau... kapur barus, seperti lemari nenek-nenek. Itu mengganggu aroma diffuser Peony & Blush Suede seharga tiga juta di ruangannya.

Lalu dia melihat cacatnya.

Kaca cermin itu retak. Sebuah retakan halus seperti jaring laba-laba menjalari permukaannya, membelah pantulan wajah Erica menjadi puluhan kepingan kecil.

"Ih, rusak," kata Erica, kecewa. "Siapa sih yang kirim barang..."

Lalu, jemarinya merasakan sesuatu yang kasar di gagang perak itu. Ukiran. Itu bukan bagian dari desain tanaman merambat. Itu adalah tulisan. Ditambahkan baru-baru ini. Terlihat kasar dan tergesa-gesa.

Tiga kata.

CERMIN JIWA YANG BUSUK.

Apartemen yang hangat dan terkontrol suhunya itu mendadak terasa dingin.

Erica berhenti bernapas.

Tangan Mona yang sedang memegang ring light berhenti bergerak. "Kak? Kak Erica? Kenapa?"

Erica tidak menjawab. Dia tidak lagi berada di penthouse-nya yang mewah.

Dia kembali.

Bukan ingatan. Itu adalah sensasi.

Dia kembali ke sebuah kafe remang-remang di Kemang, delapan tahun lalu. Dia bisa menciumnya bau kopi basi dan asap rokok kretek yang pekat. Dia bisa merasakan kursi kayu yang keras di bawahnya. Dia masih "Wulan" Erica yang belum terkenal, yang masih merintis, yang berjuang di bawah bayang-bayang orang lain.

Bayang-bayang Clara.

Clara. Desainer muda yang brilian. Kompetitornya. Temannya atau dia berpura-pura menjadi temannya. Clara memiliki bakat mentah yang Erica, sejujurnya, tidak miliki. Erica punya ambisi. Clara punya seni.

Dan Erica iri.

Iri hati. Envy. Dosa yang menggerogoti. Itu bukan perasaan yang dingin. Itu panas. Perasaan asam yang membakar di dadanya, lebih kuat daripada cinta, lebih panas daripada benci. Perasaan bahwa dia lebih pantas mendapatkan apa yang dimiliki Clara.

Jadi, Erica melakukannya.

Dia tidak menggunakan pisau. Dia menggunakan senjatanya: kata-kata.

Dia ingat malam itu. Dia tidak hanya "ingat"; dia mengalaminya lagi. Dia merasakan sensasi jari-jarinya yang menari di atas keyboard laptop lamanya yang murahan, sangat berbeda dari MacBook-nya yang sekarang. Dia merasakan kegembiraan yang jahat dan berdebar-debar saat dia membuat akun email anonim itu. Saat dia menyusun "bukti" palsu invoice palsu, screenshot obrolan yang direkayasa yang menunjukkan bahwa Clara mencuri desain portofolionya dari seorang senisaman luar negeri.

Dia merasakan getaran jarinya saat menekan 'Kirim', mengirimkannya ke tiga portal gosip mode terbesar.

Seminggu kemudian, karier Clara hancur.

Dua minggu kemudian, Clara dikeluarkan dari kompetisi desain bergengsi yang seharusnya mereka ikuti berdua.

Enam bulan kemudian, Erica mendengar Clara pindah kembali ke kampung halamannya. Depresi. Hancur. Tidak pernah mendesain lagi.

Erica memenangkan kompetisi itu. Kariernya meluncur. Dia membangun kerajaannya di atas reruntuhan karier Clara.

Dia kembali ke kafe remang-remang itu. Pertemuan terakhir mereka. Clara ingin mengembalikan barang-barangnya. Wajah Clara pucat, matanya kosong.

"Kamu menang, Erica," bisik Clara saat itu, suaranya nyaris tidak terdengar. "Kamu dapat semua yang kamu mau."

"Ini bisnis, Clar. Bukan personal," jawab Erica, mencoba terdengar kuat.

Clara tertawa. Tawa yang kering dan hampa. "Kamu bisa memoles penampilanmu secantik apa pun, Erica. Kamu bisa menipu semua orang. Tapi aku tahu... aku tahu... apa yang ada di dalam."

Clara mencondongkan tubuhnya, bau rokok di napasnya. "Dan di dalam sana... jiwamu busuk."

"Kak! Kak Erica!"

Suara Mona yang panik menarik Erica kembali ke masa kini. Cermin antik itu terasa membakar di tangannya.

"Cermin... Jiwa... yang Busuk."

"Apa sih, Kak?" Mona mencoba mengambil cermin itu.

"JANGAN SENTUH!" teriak Erica, suaranya melengking suara "Wulan", bukan "Erica". Dia melempar cermin itu ke lantai marmer yang mahal.

Benda itu seharusnya hancur berkeping-keping.

Tapi cermin itu tidak pecah. Kaca yang retak itu tidak hancur. Benda itu hanya tergeletak di sana. Utuh. Retakannya tampak semakin jelas, seperti mengejeknya.

"Mona, pergi," kata Erica, suaranya gemetar.

"Tapi, Kak..."

"PERGI! SEKARANG! Aku mau sendiri!"

Setelah Mona pergi dengan ketakutan, Erica mengunci pintu penthouse-nya. Tiga kali.

Dia sendirian. Tapi dia tidak merasa sendirian.

Dia pikir itu hater. Atau prank yang kejam. Tapi siapa? Siapa yang tahu persis kata-kata yang diucapkan Clara delapan tahun lalu? Tidak ada. Clara sudah menghilang.

Erica berjalan ke jendelanya yang setinggi langit-langit. Pemandangan kota yang biasanya ia pamerkan di story Instagram-nya kini tampak... mengancam. Lampu-lampu itu tampak seperti ribuan mata yang menatap.

Dia merasa... diawasi.

Dia menatap gedung perkantoran di seberang jalan. Salah satu jendela di lantai 40-an. Gelap. Tapi... apakah itu... apakah itu kilatan?

Bukan kilatan kamera ponsel. Bukan. Ini terlalu tajam. Terlalu profesional.

Kilatan lensa teropong?

Erica tersentak mundur dari jendelanya, jantungnya berdebar kencang di dadanya.

Dia melihat kembali ke lantai. Ke cermin antik yang tergeletak di sana.

Di dalam kaca yang retak itu, pantulan penthouse-nya yang sempurna tampak terdistorsi. Hancur.

Dan di dalam pantulan itu... dia bersumpah... dia melihat bayangan.

Bayangan seseorang yang berdiri di belakangnya.

Dia berbalik dengan cepat, berteriak.

Tidak ada siapa-siapa.

Tentu saja tidak ada. Ruangan itu krem dan kosong.

Tawa gugup keluar dari tenggorokannya. Dia hanya... lelah. Stres. Haters zaman sekarang benar-benar gila.

Tapi saat dia melihat kembali ke cermin itu, bayangan itu seolah masih ada di sana, di dalam kaca. Menatapnya. Menghakiminya.

Menunggunya.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!