Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 16
Pagi tidak membawa kedamaian.
Ia hanya menunda perang yang sudah ditandai.
Sekolah Najla — 07.05
Najla melangkah santai melewati gerbang sekolah seperti gadis pada umumnya.
Tas hitam di bahu kiri.
Earphone di telinga kanan.
Langkah ringan, tatapan lurus.
Tidak ada yang tahu…
bahwa malam tadi, seseorang yang bisa menghancurkan gedung hanya dengan tangan kosong berdiri di ruang tamunya.
Dan bahwa bentrokan besar sudah menunggunya tanpa dia pilih.
Seseorang mengangkat tangan memanggilnya.
“Nadj!”
Bian. Sahabatnya sejak SMP. Tipikal manusia golden retriever—ramai, cerewet, berani, tapi gak pernah mikir sebelum ngomong.
Najla lepas satu earphone.
“Kenapa lo teriak kayak ada diskon?” katanya datar.
Bian nyengir, lalu tiba-tiba berbisik dramatis:
“Lo tau gak… ada anak baru pindahan. Rumornya ikut kejuaraan beladiri internasional. Cakep, aura dingin, banyak bekas luka kecil di tangan…”
Najla mengangkat alis.
“Terus?”
“Terus kelas kita heboh! Kata Rara, dia duduk di sebelah bangku lo!”
Najla mendengus pelan. “Bodo amat.”
---
Bel tanda masuk berbunyi.
Najla masuk kelas.
Dan saat dia mendekat ke bangkunya—
Udara berubah sedikit.
Bukan dingin.
Bukan berat.
Tapi familiar.
Seseorang sudah duduk di kursi sebelahnya.
Cowok dengan rambut hitam sedikit panjang, kulit sawo matang, wajah bersih tapi matanya… bukan mata anak sekolah.
Mata seseorang yang sudah pernah melihat kematian dari dekat.
Dia menoleh pelan saat Najla berdiri di sampingnya.
Tatapan bertemu.
Hening 2 detik.
Cowok itu berkata:
“Pagi.”
Suaranya rendah. Tenang. Seperti ombak yang menyembunyikan arus kuat.
Najla menjawab seadanya.
“Ya.”
Dia duduk tanpa bertanya.
Diam.
Lalu cowok itu bicara lagi, tenang, tanpa basa-basi:
“Lengan abangmu udah mending?”
Najla berhenti bergerak.
Pensil yang baru diambilnya berhenti di udara.
Bian yang duduk di depan langsung menoleh, wajahnya bingung penuh drama:
“HAH? KOK LENGAN ABANGNYA NAJLA LO TAU—”
Najla mengangkat tangan kecil, menepuk kepala Bian ke depan lagi tanpa emosi.
“Diam.”
Bian langsung menurut, walau ribuan pertanyaan mental meledak di otaknya.
Najla menatap cowok di sebelahnya.
“Kamu siapa?”
Cowok itu membuka buku, menyandarkan punggung ke kursi, lalu menjawab dengan nada yang sama datarnya:
“Yang ketemu abangmu semalam.”
Najla menyipit.
“Kairo?”
Cowok itu tidak tersenyum, tapi ada bayangan tipis di sudut bibirnya—nyaris tidak terlihat.
“Sekarang kita sekelas.”
---
Sementara itu, di rumah Arlen
Rumah sepi.
Terlalu sepi.
Arlen berdiri di dapur meracik kopi hitam. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya jauh.
Lalu terdengar suara ringan dari pintu belakang.
Klik.
Bukan suara paksa.
Bukan suara sembunyi.
Tapi suara seseorang yang tidak takut ketahuan.
Langkah mendekat, heels kecil menyentuh lantai.
“Gula dua, Arlen. Kamu masih nyeduh dengan tangan kiri?”
Suara itu dingin. Tajam. Familiar secara buruk.
Arlen menoleh perlahan.
Di ambang dapur, berdiri perempuan berambut putih seperti salju, mata kelabu, coat panjang terang seperti embun pagi yang membekukan.
Seraph.
Tanpa undangan.
Tanpa salam.
Tanpa ragu.
Dia masuk ke rumah Arlen…
seperti dia sudah lama punya kuncinya.
---
Hening mengeras.
Akhirnya Arlen bicara.
“Kamu berani datang sendiri.”
Seraph melangkah masuk, duduk di kursi tanpa diminta.
“Aku bukan datang untuk negosiasi,” katanya.
“Aku datang memastikan… apakah rumor itu benar.”
Arlen menyandarkan tubuhnya pada meja dapur.
“Rumor apa?”
Seraph mengangkat wajah, menatap langsung tanpa gentar:
“Bahwa api keluarga itu masih punya dua sumbu.”
Satu detik.
Dua detik.
Cangkir kopi Arlen retak halus di tangannya.
Bukan karena marah.
Tapi tekanan yang tidak lagi dia sembunyikan.
“Kalau benar kenapa?”
Seraph bangkit perlahan, coat-nya mengikuti.
“Karena besok, mereka berhenti mencari.”
Arlen menatap seperti menatap peluru yang sudah ditembak.
“Dan mulai membakar.”
Seraph melangkah keluar, berhenti di ambang pintu.
Tanpa menoleh:
“Beri salamku ke adikmu.”
Klik.
Pintu tertutup lembut.
Tapi ancamannya… membekas keras.
---
🔥 Di dua tempat berbeda, api yang sama mulai bangun:
Najla duduk di sebelah seseorang yang dulunya dikirim untuk mengincar keluarganya
Arlen baru saja didatangi algojo organisasi, di meja dapurnya sendiri
Dan keduanya mulai sadar:
Mereka tidak lagi sedang bersembunyi.
Perang yang lama tertunda…
Baru saja mengetuk pintu.
Sekolah — 09.30
Jam pelajaran berlangsung… secara teknis.
Karena setengah kelas lebih fokus ke dua bangku di sudut:
Najla.
Kairo.
Yang satu dingin bawaan dari lahir.
Yang satu dingin hasil tempaan.
Kalau es bertemu es… yang lain yang menggigil.
Guru sedang menjelaskan di depan, tapi hening antara dua orang ini jauh lebih keras.
Akhirnya Najla yang bicara duluan, tanpa menoleh:
“Kamu ngawas aku, atau ngelindungi?”
Kairo menulis sesuatu di bukunya.
“Ngecek.”
“Ngecek apa?”
“Apa kamu percikan… atau sumber apinya.”
Najla menghela napas kecil, tipis, seolah sudah lelah dengan orang-orang yang bicara pakai metafora.
“Tulis aja aku mau dibunuh atau enggak, susah amat.”
Kairo berhenti menulis.
Lalu jawabannya… jujur, tanpa sensor:
“Dulu iya. Sekarang belum tentu.”
Najla menoleh perlahan.
“Kalo nanti jadi ‘iya’ lagi?”
Kairo menatap balik, tanpa ragu sedetik pun.
“Berarti kamu cukup berbahaya sampai harus dihabisin.”
Percakapan itu selesai.
Bukan dengan emosi.
Tapi dengan kesadaran yang sama:
mereka bukan teman, tapi juga bukan musuh… belum.
Sementara itu — Gudang bawah tanah rumah Arlen
Cahaya neon menyala setengah.
Udara tebal dengan bau besi dan solar.
Arlen berdiri di depan meja senjata — bukan untuk memilih, tapi menghitung kemungkinan perang.
Di meja itu ada:
Pisau lipat militer (tanda gores di gagangnya)
Sarung tangan fiber tahan besi
Senar monofilamen (tipis, tajam, mematikan)
Rompi ringan tanpa logo
Dan satu pistol tua tanpa nomor seri
Dia menyentuh pistol itu terakhir.
Warisan ayahnya.
Tidak pernah dipakai kecuali saat tidak ada pilihan lain.
Arlen bergumam sendiri, pelan:
“Kalau mereka mulai… gue gak bisa berhenti setengah jalan.”
Lalu suara langkah terdengar dari belakang.
Ringan. Lambat. Percaya diri.
Tanpa menoleh, Arlen sudah tahu siapa.
“Ngikutin aku sejak kapan, Kairo?”
Kairo berhenti 3 meter di belakangnya, tangan di saku blazer sekolah, tas masih tergantung di bahu.
“Sejak kamu mulai lupa kalau perang gak dimenangkan sendirian.”
Arlen menyeringai miring.
“Mau bantu?”
Kairo mengangkat satu alis.
“Gak. Mau nonton sejauh mana kamu mau hancur dulu sebelum nerima bantuan.”
Arlen terkekeh kecil. Sinis.
Lalu serius lagi.
“Najla gimana?”
Kairo menjawab tanpa mikir.
“Dia bukan lilin. Dia sumbu dinamit.”
Arlen menunduk sesaat, seolah menerima sesuatu yang sudah dia duga.
“Berarti waktunya tinggal dikit.”
Suara Kairo rendah tapi pasti:
“Bukan tinggal dikit. Sudah habis.”
00.47 — Malam yang sama
Najla terbangun bukan karena mimpi.
Tapi karena rumahnya tidak pernah sehening ini.
Tidak ada suara step Arlen.
Tidak ada bunyi gelas.
Tidak ada hembusan napas orang yang berjaga.
Kosong.
Dia bangkit dari kasur, melangkah tanpa sandal, menuruni tangga perlahan.
Dan saat dia mencapai ruang tengah…
Lampu mati.
Gelap total.
Tapi di sofa…
Ada api kecil.
Ujung rokok menyala, memendarkan wajah seseorang yang duduk tenang seperti bayangan.
Suara perempuan.
Datar. Indah. Beracun.
“Bangun juga kamu, Najla.”
Korek gas berbunyi, menyalakan lilin di meja.
Cahaya kecil itu memperlihatkan wajahnya:
Seraph.
Najla tidak kaget.
Hampir seperti… jauh di dalam dirinya, dia sudah menunggu momen ini.
Seraph mengembus asap perlahan, lalu berkata:
“Kakakmu pergi berburu singa, tapi lupa… rumahnya gak dikunci.”
Najla berdiri 2 meter di depannya.
“Terus?”
Seraph tersenyum kecil. Tipis. Tajam.
“Terus aku datang… mau lihat apakah adiknya benar-benat percikannya, atau cuma asap.”
Najla menunduk sedikit… lalu tersenyum.
Bukan takut.
Bukan sombong.
Tapi akhirnya ada sesuatu yang layak dihadapi.
“Kalau aku api, kamu mau apa?”
Seraph bangkit. Slow. Elegan. Mematikan.
“Memadamkan.”
Najla menatap lurus.
“Coba aja.”
Dan untuk pertama kalinya di cerita ini…
Angin di rumah itu bergerak memutar, bukan mengalir.
Seperti sesuatu yang lama tertidur… baru saja membuka mata.