NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Orion, Goddess of Death

Di halaman depan yang sunyi, di bawah tatapan tajam Soyeon dari balkon Istana, pertempuran yang menyedihkan terus berlangsung.

Dentang!

Veronica menangkis tebasan pedang Tara, mundur selangkah. Ia tidak menggunakan kekuatan penuhnya, hanya berfokus pada pertahanan. Saat menangkis, ia berusaha menyalurkan sedikit sihir penyembuhan dan penenang ke pedangnya, berharap sentuhan itu bisa menembus kendali yang mengikat sahabatnya.

"Tara, dengarkan aku!" seru Veronica, napasnya mulai terengah-engah. "Sihir ini terasa dingin dan asing! Itu bukan kau! Lawanlah dia!"

Namun, setiap sentuhan sihir Veronica seolah memantul kembali, sementara Tara menyerang tanpa henti, matanya tetap kosong dan mematikan.

Sementara itu, Ikaeda berdiri terpaku, pedangnya teracung namun terasa berat, seolah terbuat dari timah. Pandangannya tidak lepas dari Soyeon di balkon atas. Aura yang dipancarkan Dewi Kematian itu benar-benar melumpuhkan, sebuah tekanan spiritual yang melebihi segala ancaman fisik yang pernah ia hadapi.

Pikirannya dipenuhi kengerian yang melebihi akal sehat. Bertarung melawan entitas dengan kekuatan setara Ibunya, dan mungkin lebih jahat, terasa mustahil. Pedang di tangannya, yang biasanya memberinya rasa percaya diri, kini terasa tidak berguna.

"Kekuatan ini... Ini bukan sihir biasa," gumam Ikaeda, suaranya hampir hilang. "Ini adalah kehendak yang mematikan. Jika aku bergerak, aku akan hancur."

Dari atas, Soyeon hanya memandangi Ikaeda. Ia tidak repot-repot menyerang, ia hanya menikmati keputusasaan yang melanda pemuda itu. Senyumnya menyeringai, sebuah hiburan yang keji.

"Sungguh menyedihkan," suara Soyeon terdengar lembut namun penuh ejekan, menggema dari balkon. "Putra dari Pemimpin Benua yang agung, kini berdiri kaku, dilumpuhkan oleh sedikit pancaran kekuatanku. Dimana keberanian yang kau tunjukkan pada Veronica tadi?"

Soyeon bersandar di pagar balkon. "Aku telah menunggu seseorang dengan darah murni sepertimu. Darahmu... akan menjadi esensi yang sempurna untuk ritual agungku. Jangan khawatir, aku akan menjagamu baik-baik, menjadikamu bagian dari keilahianku."

Ikaeda menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu dirinya harus bergerak, harus membantu Veronica, tetapi tubuhnya membeku. Rasa takut itu begitu nyata, begitu mendalam.

Veronica, yang kini mulai kehabisan tenaga menangkis serangan Tara, berteriak pada Ikaeda, "Ikaeda! Jangan hiraukan dia! Kita harus bergerak! Kita harus keluar dari sini!"

Mendengar teriakan Veronica, Ikaeda akhirnya berhasil memaksakan satu kata keluar dari bibirnya yang kaku.

"Ti-tidak berguna," gumam Ikaeda, matanya menatap Soyeon dengan putus asa. "Kekuatannya... terlalu besar. Kita tidak akan bisa melarikan diri jika dia sudah memutuskan kita akan tinggal."

Soyeon tertawa kecil, tawa yang penuh kemenangan. "Dia mulai menyadari kebenaran, kawan lamamu itu, Veronica. Tidak ada yang bisa lari dari takdir yang kubawa."

Ikaeda, dengan seluruh sisa tekadnya, mencoba memaksa kakinya untuk bergerak maju, menghadapi ancaman yang tak terbayangkan itu, mencoba menemukan celah, seberapa kecil pun itu, untuk melawan Sang Dewi Kematian.

.

.

.

.

.

.

.

Ikaeda masih berdiri kaku, seluruh syarafnya terasa tertekan oleh keberadaan Soyeon. Ia hanya bisa mendengarkan, matanya yang merah memantulkan bayangan gelap Istana.

Soyeon tersenyum puas melihat reaksi Ikaeda yang tak berdaya. Ia melangkah maju di balkon, seolah bersiap membisikkan rahasia kuno.

"Tentu saja kau terkejut," suara Soyeon terdengar lembut, namun mengandung racun. "Anak muda sepertimu pasti tidak tahu seberapa besar drama kosmik yang melibatkan kelahiranmu."

Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan membangun. Veronica dan Tara masih bertarung di bawah, dentangan pedang mereka menjadi iringan yang teredam.

"Kau tahu, Ibunda tercintamu itu..." Soyeon memiringkan kepalanya, senyumnya semakin sinis. "Araya Yuki Yamada. Dia bukan hanya Pemimpin Benua yang bijaksana dan kejam, bukan? Dia adalah perwujudan dari sesuatu yang jauh lebih tua, jauh lebih kuat, yang mungkin putranya sendiri tidak pernah tahu."

Soyeon menarik napas, seolah akan menyampaikan pengumuman agung.

"Araya adalah Dewi Ibu-Goddess of Mother-yang tersembunyi. Penguasa kehidupan dan penciptaan di Benua ini. Kekuatan yang membuatnya bisa menjatuhkan Kerajaan Tirani bukan hanya taktik, Nak, melainkan kekuatan ilahi yang murni."

Informasi itu menghantam Ikaeda seperti sambaran petir. Wajahnya yang tegang kini menunjukkan keterkejutan yang murni. Matanya sedikit melebar, menandakan kebenaran kata-kata Soyeon, yang selama ini hanya ia rasakan sebagai 'kekuatan besar' Ibunya.

"Ibu... Dewi Ibu?" bisik Ikaeda, kata-kata itu terasa asing di lidahnya.

Soyeon tertawa, tawa yang sinis dan tajam. "Tepat sekali! Dan kau, dengan darah campuran di nadimu, adalah hasil persatuan itu."

Ia melanjutkan, nadanya kini penuh rasa ingin tahu yang dingin, "Namun, di sinilah letak misterinya, Putra Sang Dewi. Jika Ibumu adalah Sang Pencipta, dan Ayahmu... siapa pun dia... memiliki benih kekuatan yang kuat sehingga Araya harus menyembunyikan identitasmu..."

Soyeon menunjuk Ikaeda dengan jari telunjuknya.

"Lantas, kau sebenarnya keturunan apa? Dan yang lebih membingungkan bagiku," Soyeon menyeringai. "Jika kau adalah putra Sang Dewi, mengapa aku tidak merasakan energi ilahi sedikit pun darimu? Kau hanya... manusia biasa dengan potensi terkunci, di mata seorang Dewi Kematian."

Pertanyaan itu menusuk Ikaeda. Ia selama ini tahu dirinya berbeda, tahu ia punya tanggung jawab besar, tetapi ia selalu merasa 'normal', terutama di samping kekuatan Ibunya. Kini, kebenenaran dan misteri statusnya dilontarkan oleh musuh bebuyutan. Kebingungan dan kengeriannya bertambah dalam; ia tidak hanya menghadapi entitas kuat, ia juga sedang menghadapi rahasia terbesar tentang dirinya sendiri.

Soyeon mengamati keheningan dan kebingungan Ikaeda, menikmati setiap detik keputusasaan pemuda itu. Ia menyimpulkan dengan nada meremehkan.

"Setelah menganalisis sebentar," ujar Soyeon, mengangkat satu alisnya. "Tidak ada aura surgawi, tidak ada denyut kekuatan yang unik... Aku harus menyimpulkan bahwa Ayahmu, yang bahkan Ibunda Dewi-mu memilih untuk merahasiakannya, pastilah hanyalah seorang manusia biasa."

Ikaeda semakin terperanjat, berusaha memproses informasi yang menghancurkan itu.

Soyeon tertawa sinis lagi. "Sementara Araya... tidak. Klannya, Klan Yamada, yang dikenal sebagai penjaga wilayah suci Benua, sudah pasti kau tahu itu, bukan? Mereka adalah penjaga Pohon Kehidupan. Sebuah akar yang menopang dimensi ini. Kekuatan klan mereka, secara inheren, adalah ilahi."

Soyeon mendesah, pura-pura kecewa. "Sungguh kisah yang menyedihkan. Seorang Dewi Agung jatuh cinta pada fana, dan hasilnya adalah seorang putra setengah dewa yang tidak mewarisi kekuatan ilahi. Setidaknya, tidak ada kekuatan yang bisa kurasakan. Kau hanya seorang manusia yang ditakdirkan untuk memerintah sebuah benua, bukan langit."

Wajah Soyeon kembali menyeringai, menunjukkan kegembiraan yang bengis.

"Namun, ini justru menghiburku! Betapa ironisnya! Putra yang disembunyikan, yang disiapkan untuk mengawasi Benua, ternyata adalah manusia biasa. Itu menjelaskan mengapa Araya begitu protektif. Dia tidak menyembunyikan kekuatanmu, Nak, dia menyembunyikan kelemahanmu."

Ikaeda, setelah mendengarkan semua itu, akhirnya berhasil menemukan suaranya, meskipun masih bergetar.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Ikaeda, mengabaikan serangan pribadi itu, mencoba kembali fokus pada ancaman yang ada.

Soyeon tersenyum lebar. "Sederhana. Aku ingin mengambil alih apa yang ditinggalkan Araya. Aku adalah Dewi Kematian yang haus akan keilahian. Pohon Kehidupan yang dijaga klannya itu... akan menjadi sumber daya sempurna untuk ritual kebangkitan terakhirku."

"Aku akan menghancurkan jaringan kehidupan Araya, dan menggantinya dengan jaringan kematianku sendiri-benang-benang yang kau lihat di seluruh kota ini. Dan kau," Soyeon menatap Ikaeda dengan tatapan tajam. "Kau adalah kunci untuk menarik perhatian Sang Dewi. Aku akan menggunakan darah keturunan ilahimu, yang meskipun fana, tetap berharga di mata Sang Ibu, untuk memancingnya keluar dari persembunyian."

"Kau hanya pion, Ikaeda. Sebuah umpan yang akan menarik Sang Dewi ke medan perangku."

Di bawah, Veronica mendengar sebagian besar percakapan itu sambil terus menangkis Tara. Ia menoleh sekilas ke Ikaeda, matanya dipenuhi peringatan dan juga simpati. Beban yang dipikul Ikaeda kini semakin berat, rahasia hidupnya diumumkan oleh musuh, dan ia dijadikan sasaran utama.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Soyeon mengangkat tangannya, siap melancarkan sihirnya. Beberapa benang merah dari Istana mulai melesat ke bawah, bergerak seperti ular hidup, mengincar Ikaeda yang masih kaku di bawah.

"Waktunya bermain sudah berakhir, Ikaeda," ujar Soyeon dengan nada dingin yang mematikan.

Tepat sebelum benang-benang itu mencapai Ikaeda, sebuah panah bewarna jingga menyala melesat dari kegelapan kota dengan kecepatan yang luar biasa. Panah itu memotong benang-benang Soyeon yang menyerang Ikaeda, menyebabkan benang-benang itu putus dan mengeluarkan asap hitam.

Pada saat yang sama, panah jingga kedua melesat dengan presisi yang sama, menembus udara, dan menusuk tepat di titik yang sangat halus di belakang leher Tara-inti saraf yang mengendalikan kesadarannya.

Srett!

Tara terhuyung. Mata kosongnya berkedip sekali, dan kemudian, tubuhnya roboh tak sadarkan diri di hadapan Veronica. Veronica segera menjatuhkan pedangnya dan berlutut di samping sahabatnya.

Soyeon di balkon tampak sedikit terkejut, tetapi hanya sesaat. Ia menatap ke arah datangnya panah dengan ketenangan yang angkuh.

"Ah, jadi para pengganggu yang lain akhirnya menunjukkan diri," ujar Soyeon, senyum sinisnya kembali, kali ini dipenuhi rasa tertarik.

Dari celah lorong yang gelap, dua sosok muncul di alun-alun kota, mendekati Ikaeda dan Veronica. Itu adalah Pria berambut merah menyala dan Ayunda.

Pria berambut merah itu berjalan dengan langkah yang sangat malas, menyingkirkan sehelai rambut dari wajahnya. Ia menatap Ikaeda dengan ekspresi yang sangat bosan.

"Seharusnya kau mengajakku lebih awal, Ikaeda," keluh Senior itu, suaranya terdengar sangat lesu. "Jika kau tahu akan bertemu entitas sekuat ini, setidaknya berikan aku waktu untuk menikmati tidur siangku."

Di belakangnya, Ayunda melambaikan tangannya kepada Ikaeda dan Veronica. Meskipun aura di sana mencekam, semangat Ayunda tetap tinggi.

"Selamat datang, teman-teman!" sapa Ayunda ceria. Ia menoleh ke Ikaeda. "Oh, Ikaeda! Kau sudah banyak berkembang rupanya. Dulu kau hanya menguasai teknik pedang dasar di markas pelatihan. Sekarang kau sudah berani menghadapi Dewi Kematian!"

Ikaeda, yang baru saja bebas dari tekanan mematikan Soyeon, menarik napas dalam-dalam, terengah-engah. Ia merasakan energinya sempat terserap hingga ke tulang. Namun, melihat kedatangan kedua rekannya, sebuah senyum tipis-pertama kalinya sejak tiba di Orion-terukir di wajahnya.

"Aku... senang kalian datang," ujar Ikaeda, suaranya masih sedikit serak. "Aku akui, aku butuh bantuan."

Di atas, Soyeon mengalihkan pandangannya dari Ikaeda ke arah dua pendatang baru itu. Matanya menyipit saat melihat Pria berambut merah.

"Kekuatan ini... Aura sihir yang sangat mengganggu," gumam Soyeon, sedikit kehilangan ketenangannya. "Kalian benar-benar utusan dari Dewi Ibu. Tapi siapa kau, Pria Berambut Api?"

Pria itu mendongak, menatap Soyeon dengan ekspresi paling malas yang pernah dilihat Ikaeda.

"Namaku tidak penting untukmu, 'Dewi Kematian'," balas Pria berambut merah itu, membuang muka. "Yang perlu kau tahu, tugasku sekarang adalah menghentikan ritual jelekmu, dan mengamankan Putra Sang Dewi agar tidak dijadikan umpan murahan. Dan... menyelamatkan Ikaeda dari kebodohannya sendiri."

Ayunda menyenggol Seniornya dan berbisik, "Senior, jangan menghina Putra Pemimpin Benua!"

Pria itu hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, sementara ketegangan di antara keempat orang itu dan Soyeon di atas mencapai titik didih. Medan pertempuran di Orion kini telah berubah total.

.

.

.

.

.

Pria berambut merah itu, yang dipanggil 'Senior' oleh Ayunda, tidak menyia-nyiakan waktu. Menghadapi ancaman setingkat dewa, ia langsung mengambil inisiatif. Ia mengangkat tangan kanannya dengan malas, dan dengan jentikan jari yang tenang, lima bilah pedang yang terbuat dari energi sihir murni berwarna merah menyala muncul dan mengambang di sekelilingnya.

"Baiklah, mari kita selesaikan ini sebelum aku benar-benar harus bekerja keras," gumamnya.

Ia melesat maju menuju Istana, diikuti Ayunda yang sigap menjaga bagian belakangnya, busurnya terangkat siap menembak kapan saja.

Pertempuran terjadi seketika. Soyeon, dari balkon, tidak tinggal diam. Benang-benang merah yang memenuhi kota kini menjadi senjata yang fleksibel, bergerak cepat dan tajam, mengejar Pria berambut merah itu seperti sekumpulan serangga.

Cring! Crash!

Pria berambut merah itu tampak tenang di tengah kekacauan. Ia tidak menyentuh pedang-pedang sihir itu; pedang-pedang itu bergerak sendiri, menangkis, memotong, dan menghancurkan setiap benang merah yang mendekat. Setiap gerakan benang Soyeon yang sangat rumit dibalas dengan serangan sihir yang sederhana namun mematikan.

Ia dengan cepat mencapai Ikaeda, yang masih berdiri seperti patung. Tanpa basa-basi, ia meraih kerah belakang Ikaeda.

"Minggir," ucapnya singkat, sambil tersenyum tipis yang sedikit menyiratkan ejekan. Senyum itu jarang Ikaeda lihat.

Syuut! Pria itu melempar Ikaeda ke belakang dengan satu dorongan kuat, menjauhkannya dari zona bahaya.

Ikaeda mendarat dengan sedikit terhuyung. Ia mengumpat pelan karena diperlakukan seperti karung pasir, tetapi ia tidak bisa membantah. "Sialan..." gumamnya, namun ia terkekeh lemas, merasakan perbedaan kekuatan yang sangat besar antara dirinya dan Seniornya.

Di belakang Pria berambut merah, Ayunda dengan mudah menangkap Ikaeda sebelum ia terjatuh.

"Berhati-hatilah, Ikaeda!" tegur Ayunda, mendudukkan Ikaeda di pinggir bangunan batu yang aman. Ia hanya sempat melihat Ikaeda sekilas sebelum kembali memfokuskan panahnya pada Soyeon.

Saat pertempuran mereda sejenak, Veronica, yang telah memeriksa Tara dan memastikan sahabatnya hanya pingsan, menggendong Tara di pundaknya dan bergabung dengan Ikaeda.

Veronica menurunkan Tara dengan hati-hati. Ia kemudian berdiri, siap untuk membantu Ayunda. "Ayunda, aku akan..."

"Duduk saja, Veronica!" seru Ayunda tanpa menoleh, matanya terpaku pada pergerakan Pria berambut merah itu dan Soyeon. "Kau baru saja bertarung dengan kawan lama, dan kau perlu menjaga Ikaeda dan Tara. Tonton saja. Senior akan mengurus yang satu itu."

Veronica, meskipun enggan, menuruti perintah itu. Ia duduk di samping Ikaeda, memandang ke atas.

Ikaeda menatap Seniornya yang kini mulai mendominasi pertarungan di hadapan Soyeon. "Dia..."

"Dia adalah ahlinya dalam sihir destruktif dan pertarungan jarak jauh," potong Veronica, menatap Senior yang berambut merah itu dengan penuh kekaguman. "Percayalah pada utusan Araya. Sekarang, fokuslah untuk memulihkan diri. Kita masih punya banyak hal yang harus kita lakukan setelah ini."

.

.

.

Pertarungan antara Pria berambut merah dan Soyeon semakin intens. Pedang-pedang sihirnya bergerak seperti badai yang terprogram, menghancurkan setiap benang merah yang mendekat. Setiap benang yang dipotong mengeluarkan suara mendesis, seolah-olah darah yang mengalir di dalamnya menguap seketika.

Sambil melompat mundur untuk menghindari serangan benang yang tiba-tiba mengikat, Pria berambut merah itu berbicara santai, seolah ia sedang melakukan latihan pagi.

"Ayunda," panggilnya, tanpa menoleh. "Hitunglah berapa poin yang kudapatkan sejauh ini. Aku merasa sudah memotong lebih dari seratus 'urat nadi'nya. Apakah ini sudah cukup untuk mengklaim hari libur tambahan?"

Ayunda, yang kini berdiri dalam posisi pemanah yang sempurna, menembakkan dua anak panah yang melesat cepat ke arah benang-benang yang mencoba menyelinap melewati Seniornya. Panah-panah itu meledak kecil saat mengenai benang, menghasilkan kilatan cahaya oranye.

"Senior!" jawab Ayunda sambil tertawa kecil. "Poin liburmu masih nol! Nyonya Araya tidak pernah menghitung 'poin' untuk tugas yang sudah jelas merupakan tanggung jawabmu!"

Ia memasang anak panah baru di busurnya. "Tapi, jika kau berhasil menjatuhkan Dewi palsu ini dalam sepuluh menit, aku akan menjamin kau mendapat kopi premium yang baru dari Benua!"

Pria berambut merah itu mendesah panjang, suaranya terdengar jengkel. "Kopi premium? Begitu rendahnya tawaranku? Aku lebih suka tidur dua hari penuh tanpa gangguan, Ayunda."

Di atas balkon, Soyeon menyaksikan interaksi santai mereka dengan kemarahan yang semakin memuncak. Wajahnya yang semula angkuh kini menegang karena kesal. Ia tidak terbiasa diperlakukan sebagai target latihan atau, lebih buruk, sebuah permainan.

"Cukup!" teriak Soyeon, suaranya memantul di antara menara. Aura gelap di sekelilingnya semakin pekat. "Kalian berdua, fana rendahan, berani menganggap kekuatanku sebagai bahan lelucon!"

Benang-benang merah di sekitarnya mendadak memerah gelap, dan jumlahnya bertambah secara eksponensial. Benang-benang itu kini mulai membentuk formasi yang lebih besar, membentuk lengan-lengan tebal dan cakar yang terbuat dari jalinan darah.

"Aku akan tunjukkan apa artinya kekuasaan sejati!" ancam Soyeon. "Setelah aku merobek kalian dan menjadikan kalian bagian dari jaringanku, lelucon kalian akan berakhir!"

Pria berambut merah itu hanya mendengus, Pedang-pedang sihirnya kini berputar lebih cepat. "Aku pikir dia mulai marah, Ayunda. Baik, setidaknya ini akan sedikit lebih menarik."

Ayunda menyeringai, busurnya tertekuk penuh. "Waktunya habis, Senior. Sekarang, tunjukkan pada mereka mengapa kau adalah yang terbaik dalam 'efisiensi energi'."

.

.

.

.

.

Pertarungan memasuki fase yang lebih berbahaya. Soyeon, dengan kemarahan yang membara, melancarkan serangan benang darah secara bertubi-tubi. Ratusan benang, kini setebal tali, melesat ke segala arah, membentuk dinding hidup yang bergerak dengan kecepatan luar biasa.

Pria berambut merah dan Ayunda kini benar-benar sibuk. Pedang-pedang sihir sang Senior bekerja keras, berputar dan menebas tanpa henti, menghasilkan suara dentingan zring-zring yang nyaring saat memotong benang. Namun, jumlah benang yang datang jauh melebihi yang bisa ia tangani dengan mudah.

"Kau lihat, Ayunda? Sekarang kita harus benar-benar bekerja!" seru Pria berambut merah itu, sedikit terengah-engah, namun masih mempertahankan senyum malasnya. Ia harus melompat ke belakang untuk menghindari benang tebal yang hampir mengikat kakinya.

"Aku tahu, Senior! Aku tahu!" balas Ayunda, nadanya tegang. Dia menembakkan panah-panah dengan cepat. Kali ini, setiap panah ditembakkan dengan energi sihir yang lebih kuat, menargetkan simpul-simpul benang yang paling vital. "Jangan hanya mengeluh! Fokus!"

Di tepi alun-alun, di tengah kebisingan pertempuran, terjadi pergerakan halus.

Tara, yang terbaring pingsan sejak panah Ayunda menusuknya, tiba-tiba tersentak. Ia terbatuk keras, seperti baru saja tenggelam dan berhasil menarik napas. Matanya berkedip, kebingungan dan rasa sakit terpancar di wajahnya.

Veronica yang duduk di sampingnya, segera menyadari kesadaran sahabatnya itu. Air mata kelegaan langsung membasahi pipinya.

"Tara! Kau sadar!" seru Veronica, dengan suara yang penuh haru. Ia segera memeluk Tara erat-erat, membiarkan Tara bersandar di bahunya.

Tara mengerjapkan matanya, pandangannya kabur. Ia mencoba memproses di mana ia berada dan apa yang terjadi.

"Vero... nica?" Suara Tara terdengar lemah dan serak. "Apa... apa yang terjadi? Aku ingat... kegelapan... dan dia..."

"Ssst," bisik Veronica, memeluknya lebih erat. "Jangan pikirkan itu dulu. Kau aman sekarang. Aku datang, Tara. Aku datang untuk menyelamatkanmu."

Tara membalas pelukan sahabatnya itu, meski dengan tenaga yang tersisa. "Kenapa... kenapa di sini? Istana ini..."

Veronica menggeleng. "Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, kita harus tetap di sini. Kita berada di tengah pertempuran. Utusan Araya sedang mengurus 'Dewi Kematian' itu. Tetap bersamaku."

Ikaeda, yang duduk di samping mereka, menatap Tara. Ia melihat pahlawan yang diceritakan Ibunya. Ia melihat secercah harapan.

"Tenanglah, Nyonya Tara," ujar Ikaeda, suaranya kembali stabil. "Kami akan memastikan Anda keluar dengan selamat dari tempat terkutuk ini."

.

.

.

.

.

Tara mencoba melepaskan diri dari pelukan Veronica. Meskipun lemah, ada urgensi dalam tatapannya.

"Tidak, Veronica! Kau seharusnya tidak datang," ujar Tara, suaranya sedikit meninggi dengan keputusasaan.

Veronica dan Ikaeda saling pandang, kebingungan tergambar jelas di wajah mereka.

"Apa maksudmu, Tara? Kami datang untuk membawamu pulang," tanya Veronica, memegang bahu sahabatnya.

Tara menggeleng lemah. "Kalian tidak mengerti. Soyeon... dia sangat berbahaya. Dia bukan hanya mengendalikan, dia menggunakan orang-orang untuk menjadi sumber kekuatannya. Dia adalah Dewi Kematian, Vero. Jika dia tahu kau datang untukku..."

"Apa?" tanya Ikaeda, menyadari ada rahasia yang lebih gelap di balik misi ini.

"Ritualnya... dia ingin mengikat Benua dengan jaringan darahnya. Dan aku," jeda Tara, menatap Veronica dengan air mata, "Aku adalah salah satu pion vital yang dia butuhkan untuk ritual terakhir. Kalian mempertaruhkan segalanya dengan datang ke sini."

Di tengah pertempuran, situasi memburuk bagi kedua utusan Araya. Pria berambut merah itu mulai kewalahan. Meskipun ia memotong benang dengan cepat, benang-benang Soyeon datang dengan kecepatan dan jumlah yang tak tertandingi.

"Sial!" umpat Pria berambut merah itu, melompat mundur dari jalinan benang yang hampir mengikat Pedang Sihirnya. "Benang-benang ini beregenerasi terlalu cepat! Dia menggunakan energi Benua!"

Ayunda juga terlihat kelelahan, panah-panahnya mulai meleset. "Senior, kita harus mundur! Energi kita terkuras!"

Sadar bahwa pertempuran normal tidak akan berhasil, Pria berambut merah itu mengambil keputusan drastis. Ia menjentikkan jarinya sekali lagi, dan pedang-pedang sihir di sekitarnya menghilang. Di gantikan dengan sebuah busur sihir raksasa yang terbuat dari energi murni, ditarik dari punggungnya. Busur itu jauh lebih besar dari busur Ayunda, dan anak panahnya adalah pancaran energi sihir yang besar.

"Minggir, Ayunda!" perintah Pria berambut merah itu, suaranya kini serius, tanpa ada nada malas sedikit pun.

Ayunda segera melompat mundur.

Pria itu menarik tali busur raksasa, mengarahkannya ke kumpulan benang terpadat yang berasal dari balkon Istana. Sebuah energi besar berkumpul di ujung anak panah sihir, membentuk kepala burung api yang sangat besar.

"Ambil ini, dasar Dewi Palsu!" teriaknya. "Busur Phoenix Raksasa!"

SWOOSH!

Busur Phoenix Raksasa itu melesat, meninggalkan jejak api jingga yang besar, menghantam kumpulan benang dengan kekuatan yang mengerikan. Sebuah ledakan besar mengguncang seluruh kota, cahaya jingga membakar benang-benang itu menjadi abu dan asap.

Ayunda, yang menyaksikan ledakan dahsyat itu, terperangah. "Senior! Panah sihirmu... Kenapa sangat mirip dengan teknikku, tetapi jauh lebih besar?"

Pria berambut merah itu menatap Ayunda sambil tersenyum misterius. "Itu karena akulah yang mengajarkannya padamu, Ayunda. Hanya saja, milikku versi yang sedikit lebih... malas."

Asap tebal mengepul di lokasi ledakan. Namun, di tengah asap itu, sesosok bayangan melesat dengan kecepatan yang jauh melampaui kemampuan manusia.

Itu adalah Soyeon.

Soyeon melesat sangat cepat dari balkon Istana, melewati mereka berdua. Ledakan itu tidak melukainya, hanya membuatnya semakin marah. Matanya yang merah menyala tertuju lurus ke targetnya: Tara, Veronica, dan terutama Ikaeda.

"Kau tidak bisa menghindariku!" teriak Soyeon, suaranya penuh amarah.

Pria berambut merah dan Ayunda sadar bahwa tujuan Soyeon telah bergeser.

"LARI! LARI, IKAEDA! VERONICA!" teriak Pria berambut merah itu dengan urgensi yang nyata, tanpa ada sisa-sisa kemalasan dengan dirinya terikat oleh benang-benang merah Soyeon.

"PERGI DARI SANA!" teriak Ayunda, memasang busurnya lagi, mencoba menembak Soyeon yang bergerak seperti kilat.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!