Sophia lahir dari keluarga sederhana di pinggiran kota London. Hidupnya tak pernah berlebih, namun penuh kehangatan dari kedua orang tuanya. Hingga suatu hari, datang tawaran yang tampak seperti sebuah pertolongan—keluarga kaya raya, Mr. Rich Charter, menjanjikan masa depan dan kestabilan finansial bagi keluarganya. Namun di balik kebaikan itu, tersimpan jebakan yang tak terduga.
Tanpa sepengetahuan Sophia, orang tuanya diminta menandatangani sebuah dokumen yang mereka kira hanyalah kontrak kerja sama. Padahal, di balik lembaran kertas itu tersembunyi perjanjian gelap. Yakni, pernikahan antara Sophia dan putra tunggal keluarga Charter.
Hari ketika Sophia menandatangani kertas tersebut, hidup Sophia berubah selamanya. Ia bukan lagi gadis bebas yang bermimpi menjadi pelukis. Ia kini terikat pada seorang pria dingin dan penuh misteri, Bill Erthan Charter—pewaris tunggal yang menganggap pernikahan itu hanya permainan kekuasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPILOG
Aku menikahkanmu pada Bill bukan karena tanpa alasan. Itu semua demi menjaga keluarga kita, Sophia. Aku kira... dengan menikahkanmu dengan Bill, dia akan menyadari atas semua apa yang telah ia lakukan selama ini... pada dirinya sendiri dan keluarga kita. Tapi, ternyata... dugaanku salah. Aku akan mengurusi surat ceraimu dengan Bill. Selama dia penjara, akan aku pastikan kau aman.
Begitu penjelasan Edward padanya, Sophia melangkah masuk ke dalam ruangan yang dijanjikan Edward, dengan langkah ragu. Pintu kayu berukir itu terbuka perlahan, mengungkap sebuah ruangan yang hangat dan penuh cahaya.
Sophia tertegun, bukan kemewahan atau perhiasan yang menyambutnya, melainkan deretan lukisan yang terpajang rapi di dinding. Lukisan-lukisan itu... ia mengenalinya. Itu adalah lukisan-lukisan yang ia buat dulu, yang ia kira telah dibuang atau dihancurkan. Namun, di sini, lukisan-lukisan itu justru dipajang dengan bangga, seolah-olah adalah harta karun yang tak ternilai harganya.
Mata Sophia bergerak dari satu lukisan ke lukisan lainnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak menyangka Edward menyimpan lukisan-lukisannya, apalagi memajangnya di ruangan khusus seperti ini. Di tengah ruangan, berdiri sebuah bingkai foto besar yang menarik perhatiannya. Sophia mendekat, jantungnya berdebar kencang. Di dalam bingkai itu, terpampang foto seorang sepasang kekasih yang tengah menggendong seorang bayi. Pria itu adalah Edward, tampak lebih muda dan bahagia.
Dan, wanita di sampingnya sangat cantik. Kulitnya putih bersih, matanya besar dan berbinar, bibirnya merah merekah. Rambutnya hitam legam, tergerai panjang hingga ke bahu. Ia mengenakan gaun putih sederhana, namun aura kecantikannya terpancar begitu kuat. Sedangkan, bayi yang digendongnya memiliki mata yang sama dengan wanita itu, mata yang penuh dengan cinta dan kehangatan.
"Itu ada kamu bersama Ibumu," Kata Edward, suaranya mengejutkan Sophia. Ia tidak menyadari Edward berdiri di belakangnya.
Sophia terkejut, ia menoleh ke arah Edward dengan tatapan tidak percaya. "Ibu?" Bisiknya lirih, suaranya bergetar. Ia kembali menatap foto itu, mencoba mencari kemiripan dengan dirinya. Benarkah wanita cantik itu adalah ibunya? Benarkah bayi yang digendongnya adalah dirinya? Ia merasa seperti mimpi, mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
"Kalian ada kedua ratuku yang cantik." Lanjut Edward. Tanpa permisi, ia merangkul bahu Sophia dan menyandarkan kepala putrinya pada pundaknya. "Putriku, sekarang kau adalah ratu satu-satunya di keluarga Charter yang aku punya."
Sophia menegang di tempatnya saat Edward merangkul bahunya dan menyandarkan kepalanya. Ia merasa tidak nyaman dengan sentuhan itu. Namun, ia juga tak bisa menepis air matanya yang kembali mengalir di pipinya, kali ini bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena kebahagiaan. Ia merasa terharu dengan kata-kata Edward, merasa diterima dan dicintai.
Sophia kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Edward lebih dalam, menikmati kehangatan dan kenyamanan yang ditawarkan pria itu, sebuah pelukan dari seorang Ayah yang tak pernah ia dapatkan seumur hidupnya. "Ayah..." Ucapnya lirih, pertama kalinya ia menyebut Edward dengan sebutan itu.
"Ruangan ini aku buat khusus untukmu, Sophia," ulang Edward lagi, kali ini suaranya lembut dan penuh harap. Ia melepaskan pelukan dan menatap Sophia dengan penuh keyakinan. "Aku ingin kau tahu betapa berartinya dirimu bagiku. Aku ingin kau merasa nyaman dan bahagia di sini, di rumahmu. Kamu tak perlu lagi khawatir tentang apapun, sekarang."
Mata Sophia berbinar, secercah harapan mulai menyala di hatinya. Kata-kata Edward, meskipun masih terasa asing, namun menyentuh sesuatu yang ada di dalam dirinya. Mungkinkah semua ini benar? Ia menatap lukisan-lukisan itu, foto ibunya, dan kemudian kembali menatap Edward. Keraguan masih ada, tapi kali ini, ada juga keinginan yang kuat untuk percaya.
"Ayah," Ulang Sophia, memeluk Edward dengan tangis haru yang tak dapat terbantahkan. Tangis kerinduan yang selama ini hilang dari kehidupannya. Tangis penderitaan yang telah cukup lama ia lalui sendirian. Dan, tangis kebahagiaan yang tak dapat tergantikan oleh apapun. "Terima kasih," Ucapnya tulus. "Terima kasih, Ayah."
Edward mengangguk dan melepaskan Sophia perlahan, "Kamu... adalah putriku satu-satunya." Ucapnya menatap lurus Sophia, "Ruangan ini... khusus aku persembahkan untukmu. Segala yang kau butuhkan untuk melukis, semuanya ada di sini. Kau bebas berekspresi, Sophia."
Sophia menelan saliva. Ia tidak mampu berkata apa-apa, terlalu banyak emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia merasa bahagia, terharu, bingung, dan takut pada saat yang bersamaan. "Terima kasih, Ayah."
"Cukup, Sophia." Geleng Edward. "Bagaimana... sebagai ungkapan terima kasih ini... buatlah satu lukisan tentang kita, aku... kamu... dan Ibumu?"
Ada jeda di antara mereka, detik berikutnya Sophia mengangguk, senyum merekah di wajahnya. "Aku akan melukisnya," Ucapnya dengan nada riang, matanya berbinar penuh semangat. "Aku akan melukis kita bertiga, Ayah. Aku akan melukis kebahagiaan kita, cinta kita, keluarga kita." Jelasnya. Ia merasa seperti memulai awal yang baru, sebuah kesempatan untuk menciptakan kenangan indah bersama keluarganya yang selama ini telah hilang.
Edward tertawa kecil, kini nadanya terdengar bijak dan hangat. "Lakukanlah, anakku! Buatlah diriku terlihat muda dan tampan!" Celetuknya.
"Ayaaah!"
"Ayaaah!" Sophia terkekeh, merasa geli dengan tingkah ayahnya. Ia tidak menyangka Edward bisa bersikap selucu ini. Ia merasa seperti berada dalam keluarga yang normal, keluarga yang penuh dengan cinta dan kehangatan. Keluarga Charter, yang kini tak dapat tergantikan oleh apapun.
_TAMAT_
****