Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nisa si Teman Sejati…
Pagi itu, matahari menembus tirai kamar dengan lembut. Jingga sudah bersiap-siap berangkat kerja, menenteng tas sambil mengecek ponselnya. Sementara Savero berdiri bersandar di kusen pintu kamar, masih mengenakan kemeja kerja rapi, matanya terus mengikuti gerak-gerik Jingga.
“Jangan pulang malam,” ucapnya tiba\-tiba.
Jingga menoleh, alisnya terangkat. “Kenapa? Saya kan cuma kerja, bukan main ke diskotik,” jawabnya santai, gaya bicaranya seperti biasa, jenaka, ringan, seolah tadi malam ia tidak meminta sesuatu yang mustahil, memohon restu pada suaminya sendiri untuk menerima lamaran pria lain.
Savero menghela napas, berusaha menyembunyikan keresahannya. “Saya serius. Kalau ada kerjaan lembur, bilang. Biar saya suruh orang buat nemenin.”
Jingga terkekeh pelan, lalu menatap jahil suaminya itu. “Tumben Bapak cerewet. Padahal biasanya dingin, cuek, beku kayak es batu yang udah setahun di kulkas.”
Wajah Savero menegang. “Sekarang kondisinya beda, Jingga.”
“Beda gimana?” Jingga miringkan kepala, matanya berbinar menggoda. “Bapak takut saya kenapa-kenapa terus ngerepotin Bapak lagi ya, atau… Bapak takut ya saya diculik Mahesa?”
Savero diam, sorot matanya menusuk, tapi bibirnya kaku. Ia tak bisa mengaku, tapi juga tak bisa menyangkal.
Jingga tersenyum tipis, lalu melangkah ke arah pintu. “Tenang aja, saya nggak akan tertipu kedua kalinya sama Mahesa. Saya cuma butuh dia percaya dulu, baru rencana saya bisa berjalan.”
Savero mengusap tengkuknya, menahan diri untuk tidak menarik Jingga kembali. Hatinya sudah penuh dengan amarah dan cemburu yang tak pernah ia rencanakan. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Jangan bikin saya nyesel ngizinin kamu.”
Langkah Jingga terhenti sesaat. Ia menoleh, kali ini wajahnya sedikit serius. “Saya nggak akan bikin Bapak nyesel. Percaya aja sama saya.”
Lalu ia benar-benar pergi, meninggalkan Savero berdiri sendiri di ambang pintu, dengan dada yang makin sesak oleh perasaan yang belum pernah ia akui.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu suasana kantor masih belum terlalu ramai ketika Jingga melangkah masuk, menenteng tote bag lusuhnya. Baru saja ia duduk, tiba-tiba Nisa datang dengan langkah tergesa, wajahnya heboh, sambil menenteng amplop berwarna krem.
“Jingga! Nih! Tadi ada kurir nyariin kamu. Undangan, katanya penting banget,” ujar Nisa, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Jingga menerima amplop itu dengan malas. Begitu ia buka dan melihat tulisan besar di bagian depan, bibirnya langsung manyun.
“Reuni SMA? Ya ampun… apaan sih ini…” keluhnya sambil melempar undangan itu ke meja seperti lembaran brosur diskon yang nggak penting.
Nisa langsung melotot. “Lho, kok gitu mukanya? Ini kan keren, reuni gitu loh. Kamu mau ikut nggak?”
“Enggak ah,” jawab Jingga singkat, pura-pura sibuk merapikan kertas-kertas di mejanya.
Nisa mencondongkan badan. “Loh kenapa? Justru sekarang tuh momen kamu pamer. Kamu udah glow up, cantik banget, siapa coba yang nggak kaget lihat kamu? Dulu kan kamu… ya, sederhana lah ya…”
Jingga menoleh, lalu nyengir lebar. “Halah, Nis. Glow up apanya. Aku tuh dulu di sekolah ibarat bola plastik, ditendang sana, ditendang sini, nggak ada yang peduli. Ngapain aku balik lagi buat ketemu mereka?”
Nisa langsung mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Jingga menghela napas, tapi wajahnya malah ceria.
“Kamu nggak tau ya? Aku tuh anak angkat. Di sekolah, itu kayak cap permanen di jidat. Tiap hari pasti ada aja yang ngerjain. Bukuku sering hilang, padahal aku udah nulis catetan rapi banget. Tas disembunyiin, pernah juga kertas ujian dibuang ke tong sampah sebelum aku kumpulin.”
Nisa sampai menutup mulutnya. “Astaga… serius? Kok aku baru tau sekarang?”
Belum cukup, Jingga malah tertawa. “Belum selesai ceritanya. Pernah suatu kali aku juara cerdas cermat, Nis. Harusnya aku seneng dong? Eh malah diguyur pake air pel. Lengkap sama telur busuk dilempar ke aku. Jadi baunya… ih, jangan tanya deh. Aku nangis seharian. Pas aku aduin ke guru, tau nggak dia bilang apa? ‘Sudah, kamu jangan manja. SPP aja nunggak berbulan-bulan, jangan bikin ribut.’” Jingga menirukan dengan suara dibuat-buat, matanya mendelik jenaka.
Nisa terpaku, air matanya langsung menggenang. Ia mendekat dan memeluk Jingga erat-erat. “Ya Tuhan, Jingga… maafin aku ya. Aku baru tau kamu ngalamin semua itu. Aku bener-bener nggak nyangka.”
Jingga malah terkekeh sambil menepuk-nepuk punggung Nisa. “Lah, kamu minta maaf kenapa? Kamu kan nggak ikut-ikutan ngebully aku. Udah, santai aja. Itu cerita lawas.”
Nisa menarik napas panjang, menatap Jingga dengan serius. “Justru karena itu, kamu harus datang ke reuni. Biar mereka semua lihat kamu sekarang. Biar mereka nyesel udah jahat sama kamu.”
Jingga mendengus, pura-pura malas. “Hmm… tapi aku males lah. Lagian mau pake apa coba? Aku nggak punya baju fancy, sepatu bagus juga nggak ada. Gaji bulan ini udah aku belanjain buat kebutuhan rumah, bonus kemarin pun aku kasih ke orang tuaku. Jadi, skip aja lah.”
Nisa langsung menyambar tangannya, wajahnya tegas. “Itu urusan aku. Pokoknya kamu bakal tampil paling memukau. Aku yang siapin semuanya, gaun, sepatu, makeup, semua. Kamu tinggal datang dan bikin mereka melongo.”
Jingga mengangkat alis, lalu terkekeh. “Ya ampun, kok jadi kayak acara makeover di TV gini. Aku kayak peserta lomba, kamu kayak host-nya.”
“Yaudah, anggap aja gitu. Jadi gimana? Deal?” Nisa menatapnya penuh harap.
Jingga akhirnya tersenyum lebar, mengangkat bahunya. “Baiklah, deal. Tapi kalau aku jadi kayak lampu neon di pesta itu, kamu tanggung jawab ya, Nis.”
Mereka berdua pun tertawa, tapi di mata Nisa masih ada sisa bening air yang tertahan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siang itu, baru saja jam makan siang dimulai, Nisa sudah sibuk menempelkan layar ponselnya ke muka Jingga.
“Lihat deh! Gaun warna emerald ini cakep banget buat kamu. Elegan, tapi nggak norak. Cocok banget sama kulitmu yang putih bersih,” katanya berapi-api.
Jingga mengernyit, lalu mendorong pelan tangan Nisa. “Ya ampun, Nis. Aku ini bukan putri kerajaan, kok disuruh pake gaun menjuntai begitu. Yang ada aku kayak janur kuning, melambai-lambai sendiri.”
Nisa langsung memukul lengannya. “Ih, jangan ngeledek. Ini serius. Aku udah shortlist beberapa model, nanti kita coba di butik. Weekend kosong, kan?”
“Weekend? Aduh, aku tuh biasanya jadwalnya nyuci, belanja ke pasar, terus bersihin rumah. Masa harus fitting baju segala?” keluh Jingga, ekspresi dibuat-buat sengsara.
“Ya makanya! Sekali-kali kamu istirahat jadi upik abu dan nyobain jadi Cinderella. Jangan khawatir, aku yang bayarin semua. Anggap aja hadiah karena kamu temen paling ngeselin tapi paling aku sayang.”
Jingga pura-pura menutup wajahnya dengan tangan. “Astagaaa… aku dijadiin proyek makeover. Nanti kalau aku berubah kayak sinetron, kamu jangan nangis ya kalo aku jadi rebutan pangeran.”
Nisa menatapnya sinis, tapi bibirnya tersenyum. “Yaudah biar rebutan. Yang penting mereka semua tau, anak angkat yang dulu mereka hina bisa berdiri paling cantik di ruangan itu.”
Jingga terdiam sejenak, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Ada kilatan hangat di matanya, meski ia berusaha menutupinya dengan canda.
“Yaudah deh. Tapi janji ya, kalo aku jadi malu di tengah jalan, kamu harus siap bawa aku kabur naik ojek online. Jangan ditinggal sendirian.”
Nisa tertawa keras. “Deal! Tapi aku yakin, pas kamu masuk ruangan, yang ada mereka semua bengong, bukan kamu yang kabur.”
Akhirnya, weekend pun mereka sepakati. Nisa sudah bersemangat menyusun jadwal: fitting gaun, pilih sepatu, bahkan booking salon. Sementara Jingga hanya bisa menggeleng-geleng, separuh tak percaya dirinya mau saja diseret-seret ke dalam rencana besar Nisa itu.
Sabtu siang, butik di pusat kota lumayan ramai. Manekin berjejer di etalase, lampu sorot membuat gaun-gaun tampak berkilau. Jingga melangkah masuk dengan wajah masam, sementara Nisa sudah bersemangat seperti ibu-ibu yang lagi borong diskon.
“Cepet-cepet, sini, aku udah booking fitting room,” ujar Nisa sambil menyeret tangan Jingga.
“Aku udah bilang kan, Nis, aku tuh ngeri banget masuk tempat beginian. Rasanya kayak orang salah alamat. Semua kain di sini kayaknya bisa buat bayar cicilan motor aku setahun.” Jingga memelototi price tag salah satu gaun, lalu berbisik dramatis, “Astaga, segini harga satu potong kain? Aku bisa beli beras berton-ton.”
Nisa mendesah panjang. “Jingga, tolonglah. Ini sekali seumur hidup. Kamu harus bikin mereka nyesel pernah ngerendahin kamu.”
Dengan berat hati, Jingga akhirnya masuk ke ruang ganti, sementara Nisa menunggu di luar. Sepuluh menit kemudian, tirai tersibak, Jingga keluar dengan gaun satin warna emerald. Gaunnya jatuh pas di tubuhnya, belahan leher berbentuk V rapi, dan ada potongan slit di bagian paha.
Orang-orang yang sedang berbelanja spontan menoleh.
Nisa langsung ternganga. “Ya ampun… Jingga, sumpah, kamu cantik banget! Aku sampe pengen nangis. Cocok banget! Kamu kayak model majalah.”
Jingga justru merengut, berjalan kaku. “Aku kayak lontong dibungkus daun pisang, Nis. Sumpah, ini ketat banget. Rasanya napas aku disponsorin oksigen tabung.”
Beberapa pengunjung tertawa kecil mendengar komentarnya.
Nisa menepuk dahinya. “Ya Tuhan, aku serius. Kamu cantik banget! Awas aja kalo kamu nolak. Ini harus kamu pake.”
“Enggak, Nis, ini terlalu… seksi. Kalau aku jalan, takutnya orang malah kepeleset gara-gara sibuk melototin paha aku, bukan lantai.” Jingga menutup slit gaun dengan tangannya, pura-pura malu.
Nisa melipat tangan di dada. “Cukup! Kamu diem aja, aku yang pilih. Nanti kalo kamu nyoba kabur, aku iket pake hanger.”
Jingga menaruh tangan di dada, wajahnya dibuat dramatis. “Astaga… temen macam apa kau ini, memaksaku jadi boneka Barbie. Padahal aku lebih nyaman jadi Doraemon.”
Pengunjung butik makin banyak yang melirik, beberapa ikut tertawa pelan mendengar gaya bicaranya.
Nisa akhirnya memeluk Jingga dengan gemas. “Udah, pokoknya ini gaun yang bakal bikin mereka nyesel. Percaya sama aku.”
Jingga hanya menghela napas panjang, lalu menatap dirinya di cermin besar butik itu. Diam-diam ia mengakui, untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa… menawan.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya