Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Baek Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Kim Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34 [Begin Again 2031]
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
......
6 Tahun Kemudian
2031
Pulau Jeju sore itu dipenuhi hiruk-pikuk persiapan sebuah acara besar International Business Summit yang rutin digelar setiap tahun, mempertemukan para pengusaha dari berbagai negara. Tahun ini, giliran Baekho Group menjadi tuan rumah dan perwakilan dari Korea Selatan.
Haerang Resort adalah resort mewah milik Baekho Group berdiri megah menghadap lautan biru, dihiasi lampu-lampu kristal dan bendera dari berbagai negara yang berkibar di halaman depan. Puluhan staf tampak sibuk, menata ruang pertemuan, memeriksa daftar tamu, dan memastikan segala sesuatunya berjalan sempurna.
Bagi Baekho Group, ini bukan sekadar acara bisnis. Ini adalah panggung untuk menunjukkan kekuatan mereka di hadapan dunia. Dan di balik semua kesibukan itu, sosok pewaris muda Baekho Group yang kini dikenal berpengaruh, bersiap menampakkan diri.
Di antara keramaian persiapan, tampak seorang pria berdiri tegap menatap ruangan megah itu. Jas hitamnya terpotong rapi, jam tangan mahal melingkar di pergelangan, dan sebuah cincin pernikahan berkilat di jari manisnya. Matanya menyapu setiap detail, dingin, tenang, dan penuh perhitungan.
Itu Baek Yuan.
Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Ia bukan lagi pria yang dulu mudah tersenyum, bukan lagi Yuan yang hangat dan terbuka. Kehilangan telah membentuknya menjadi sosok berbeda. Tatapannya kini menusuk, suaranya rendah namun berat, seakan setiap kata yang keluar selalu terukur.
Taesung berjalan di sampingnya, mencatat setiap arahan yang diberikan bosnya.
“Pastikan daftar delegasi asing sudah diverifikasi. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun,” ucap Yuan datar, tanpa emosi.
Begitulah Yuan sekarang dingin, berjarak, dan seolah tak menyisakan ruang untuk kelembutan. Seakan ia telah mengunci rapat seluruh masa lalunya di balik dinding baja hatinya.
Di antara instruksi tegas yang meluncur
tanpa jeda, Yuan tiba-tiba berhenti sejenak. Tatapannya kosong, menembus deretan kursi yang sedang ditata rapi.
Tanpa sadar, jarinya bergerak menyentuh cincin di jari manisnya sebuah kebiasaan kecil yang tak pernah benar-benar hilang. Gerakan itu singkat, sekilas saja, namun cukup untuk membuat Taesung yang memperhatikannya diam tanpa komentar.
Seketika Yuan menarik napas dalam, kembali memasang ekspresi datarnya.
“Lanjutkan,” katanya dingin, seolah momen barusan tak pernah terjadi.
Namun jelas, di balik ketegasan dan dinginnya sikap, masih ada sesuatu yang tak pernah ia lepaskan. Sesuatu , atau seseorang yang enam tahun lalu meninggalkannya, dan hingga kini tetap menghantui.
...****************...
Sementara itu, di salah satu Presidential Suite Haerang Resort, ruangan megah itu kini tak lagi terlihat rapi seperti seharusnya. Sofa yang harusnya elegan dipenuhi mobil-mobilan kecil, lantai marmer mewah kini berantakan dengan potongan jalur lintasan yang belum selesai dipasang. Sebuah bola biru menggelinding hingga ke bawah meja kaca, sementara beberapa balok lego tercecer di karpet tebal.
Seorang wanita menghela napas panjang, matanya menyapu ruangan yang kacau. Ia hampir saja terjatuh ketika kakinya menyentuh salah satu mobil mainan yang dibiarkan tergeletak di tengah jalan.
“Kim Haru!” teriaknya, berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kesabaran. “Ini bukan Shanghai, kita sedang ada di hotel orang, berhenti membuat kekacauan!”
Dari balik meja, seorang anak laki-laki berusia lima tahun muncul dengan tawa lebar, matanya berbinar penuh kepolosan. Di tangannya masih ada sebuah mobil merah kecil, seolah dunia hanya miliknya sendiri.
Ya. Wanita itu adalah Reinan.
Reinan menutup wajahnya dengan kedua tangan, setengah frustrasi, setengah tak berdaya. Meski lelah, ada sedikit senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan . Karena pada akhirnya, kekacauan itu datang dari satu-satunya alasan ia masih bertahan ,Kim Haru.
Kim Haru duduk bersila di atas karpet, wajahnya cemberut sambil memeluk mobil-mobilannya.
“Mamaaaa… Haru sudah sampai Jeju dari kemarin, tapi belum ke pantai juga,” rengeknya, bibirnya monyong lucu. “Haru mau main pasir… mau lihat laut!”
Reinan yang sedang merapikan mainan yang tercecer hanya bisa menghela napas, lalu menatap putranya dengan lembut. Ia mengusap kepala Haru yang berantakan.
“Ya ampun, anak ini. Kita pasti ke pantai, tapi sabar dulu, hmm?” katanya pelan.
Haru menatap ibunya dengan mata berbinar penuh harap.
“Sekarang aja, maaa…”
Reinan tersenyum lemah, lalu berjongkok sejajar dengan Haru.
“Kita tunggu samcheon (paman/om dalam b.korea) selesai urusannya dulu, baru kita ke pantai. Oke?”
Anak itu mendengus, tapi akhirnya mengangguk kecil, meski jelas masih tak puas. Reinan hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya ada rasa bersalah, juga hangat, karena tahu betul betapa keras kepalanya Haru jika sudah menginginkan sesuatu.
...****************...
Tanpa sepengetahuan Reinan, Haru keluar dari kamar hotel. Kakinya yang mungil berlari kecil melewati lorong, lalu berhenti di taman resort yang sepi.
Di bangku dekat air mancur, seorang pria duduk termenung, menatap kosong pada langit senja Jeju. Baek Yuan.
“Om lagi sedih?” suara kecil itu menyentak Yuan.
Yuan menoleh, kaget melihat seorang bocah laki-laki berdiri di hadapannya. “Hei… siapa kamu? Di mana orang tuamu?” tanyanya cepat, separuh panik.
Haru tersenyum, lalu berjalan mendekat seenaknya. “Aku bosan… mamaku gak izinin aku main ke pantai.” Ia menjatuhkan diri duduk di sebelah Yuan, menatap wajahnya polos.
“Tapi, om… kenapa ya mata om sama kayak mama?”
Alis Yuan terangkat. “Sama…? Maksudmu apa?"
Haru mengangguk mantap, tanpa sadar menusuk lebih dalam. “Iya. Kalau mama sendirian, matanya juga begitu. Kaya… habis nangis"
Yuan tercekat. Kata-kata bocah itu entah kenapa menusuk terlalu dalam.
Ia menunduk menatap anak kecil itu bola matanya bulat, polos, tapi… ada sesuatu yang familiar.
“Kalau mama kamu sedih… kamu harus jagain dia,” ucap Yuan pelan, suaranya bergetar tanpa sadar.
Haru mengangguk polos. “Aku selalu jagain mama kok. Tapi mama sering bilang kalo dia kuat. Padahal kulihat mama diam-diam selalu menangis”
Yuan terdiam, napasnya tercekat. Setiap kata yang keluar dari mulut anak itu seperti menggema dari masa lalu yang berusaha ia kubur.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang berontak ingin bertanya, tapi lidahnya kelu.
“Om, boleh aku duduk di sini sebentar? Aku ingin menikmati pemandangan disini sebelum aku pulang ke hotel.”
Tanpa menunggu jawaban, Haru menyandarkan tubuh mungilnya ke lengan Yuan.
Dan saat itu… untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Yuan merasakan hangat yang asing. Hangat yang mirip dengan seseorang yang pernah ia cintai habis-habisan.
Selang beberapa menit Yuan bangkit dari duduknya.
"Hei anak kecil, ayo om antar kamu kembali ke hotel. Ibumu pasti sedang mencarimu sekarang"
Haru menggeleng. "Gak perlu om, aku bisa sendiri. Mamaku bilang aku tidak boleh ngobrol dengan orang asing."
"Tapi karena om kelihatannya baik, jadi aku ajak ngobrol deh"
Yuan terkekeh. "Dari mana kamu tahu om itu baik atau tidak? Kita aja baru bertemu hari ini"
"Insting om, udah ah aku pergi dulu ya om. Jangan sendirian terus" ucapnya sambil berlalu.
Detik berikutnya haru menoleh.
"Oh iya om, namaku Haru!" teriak Haru.
Siapa Haru?
Kenapa ia bersama Reinan?
Jangan lupa untuk terus vote, like dan komen yaa biar cece tau kalo Eternal Love ada yang baca hihi
Have a great day all 😘❤
jangan balikan lagi sama si mantan
apaan baru begitu aja udah cemburu
😭😭😭
semangat berkarya terus ya Thor