Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 32
Beberapa menit setelah mobil melaju meninggalkan kerumunan, Kevin mulai membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, kepala terasa berat seperti habis dipukul benda tumpul. Ia mengerjap pelan, berusaha fokus pada suara di sekitarnya.
“Kevin, lo denger gue, kan?” suara Anton terdengar tegang tapi lega.
“Kita mau ke rumah sakit. Lo pingsan tadi, bro.”
Kevin menggeleng pelan sambil menarik napas berat.
“No... jangan ke rumah sakit,” katanya serak. “Kalau wartawan tau aku di sana, they’ll come swarming like bees again. Aku cuma pengin istirahat.”
Anton menatapnya khawatir.
“Tapi lo pucat banget, Kev. Kita nggak tahu lo kenapa. Bisa aja tekanan darah lo drop.”
Kevin menatapnya lemah.
“Please, Ant... just call my doctor. Minta dia ke rumahku. Aku capek banget. Aku cuma mau tempat tenang. Rumah sakit bakal bikin semuanya tambah gila.”
Anton terdiam beberapa detik, lalu menghela napas panjang. Ia tahu Kevin keras kepala, tapi kali ini alasannya bisa dimengerti.
“Oke, fine. Kita ke rumah dulu. Gue hubungi dokternya sekarang.”
Riku yang duduk di depan menoleh lewat kaca spion.
“Lo yakin, Kev?”
Kevin menutup matanya lagi, bersandar di kursi.
“Yakin. I just... need some peace for a while.”
_____
Kevin berbaring di sofa dengan selimut menutupi bahunya. Wajahnya masih pucat, tapi matanya kini lebih jernih. Di meja depan, segelas air putih hampir tak tersentuh.
Beberapa menit kemudian, bel berbunyi. Anton segera membuka pintu dan mempersilakan seorang pria paruh baya masuk, dr. Suryo, dokter langganan Kevin sejak awal kariernya di Indonesia.
“Mas Kevin... saya dengar tadi sempat pingsan?” tanya dr. Suryo dengan logat Jawanya yang kental sambil membuka tas medisnya.
“Iya, Dok. Cuma capek aja. Too much noise out there,” jawab Kevin lemah, mencoba tersenyum.
Dokter itu menatapnya, lalu menggeleng kecil.
“Capek bisa, tapi kamu kelihatan stres berat. Tidurmu cukup?”
Kevin menghela napas, menatap lantai.
“Nggak tidur, Dok. Wartawan nggak berhenti nongkrong di depan rumah.”
Anton yang duduk di sampingnya menimpali,
“Saya udah bilang, Dok. Dia keras kepala. Dia juga dari tadi pagi belum makan.”
Dr. Suryo tersenyum tipis sambil memasang alat tensi.
“Ya sudah, sekarang biar saya periksa dulu, ya.”
Ia memeriksa tekanan darah, suhu tubuh, dan detak jantung Kevin. Setelah beberapa menit, dokter itu menulis sesuatu di buku catatan kecil.
“Tekanan darahmu turun. Mungkin karena kelelahan dan kurang tidur. Tapi detak jantung masih normal, itu bagus.”
Kevin mengangguk pelan.
“So I’m fine, right?”
“Secara fisik, sementara ini iya. Tapi kamu harus benar-benar istirahat. Jangan pikirin media dulu. Saya kasih obat penenang ringan dan vitamin. Kalau masih pusing atau jantung berdebar, segera kabari saya.”
Anton menerima resep itu sambil berterima kasih.
“Baik, Dok. Saya pastikan dia nggak ke mana-mana hari ini.”
Kevin hanya tersenyum lemah.
“Thanks, Dokter. Aku cuma pengin tidur. Maybe tomorrow will be better.”
Dr. Suryo menepuk bahunya lembut.
“Yang penting jangan biarkan stres ngatur kamu, Mas Kevin. Dunia boleh ribut, tapi kamu tetap harus punya ruang tenang di kepala kamu sendiri.”
Setelah dokter itu pergi, rumah kembali hening. Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar. Kevin meminta Anton untuk tetap tinggal di rumahnya.
Kevin sudah pindah ke kamarnya. Hanya beberapa menit berlalu setelah obat dari dokter itu ia minum, Kevin menatap langit-langit, matanya perlahan terpejam dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, ia tertidur lelap.
Pagi itu udara Jakarta masih lembap setelah hujan semalam. Di luar, suara mobil dan burung bercampur menjadi irama khas awal hari. Di dalam rumah Kevin, aroma kopi hitam tercium samar dari dapur, buatan Anton yang sudah bangun lebih dulu.
Anton duduk di meja makan dengan ponsel di tangan, membuka berita pagi. Headline tentang SilverDawn masih mendominasi semua portal:
“Kenji SilverDawn Ditangkap: Polisi Dalami Kemungkinan Keterlibatan Jaringan Pengedar!”
Ia menghela napas berat. Kopi di depannya sudah dingin ketika ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal muncul di layar, hanya tulisan “Polres Jaksel” di bawahnya.
Anton langsung berdiri, menekan tombol hijau.
“Halo, dengan Anton.”
Suara di seberang terdengar resmi.
“Selamat pagi, Pak Anton. Kami dari Polres Jakarta Selatan. Terkait kasus Kenji, ada perkembangan baru yang perlu kami sampaikan.”
Anton merapatkan ponsel ke telinga.
“Iya, silakan, Pak. Gimana hasil pemeriksaannya?”
“Untuk saat ini, hasil tes Kenji positif mengandung zat narkotika jenis sabu. Dari keterangan sementara, dia mengaku mendapatkan barang itu bukan dari pengedar yang kami tangkap kemarin tapi dari seseorang yang biasa datang ke area belakang gedung konser waktu tur di Surabaya beberapa bulan lalu. Tapi kami masih menelusuri siapa orang itu.”
Anton terdiam, menatap kosong ke arah dinding.
“Jadi... ini sudah dipastikan ya, Pak?”
“Ya, sementara begitu. Tapi yang lebih penting, kami minta seluruh anggota SilverDawn tetap standby. Ada kemungkinan kami akan memanggil semuanya lagi untuk pemeriksaan tambahan. Termasuk Saudara Kevin.”
Anton mengusap wajahnya pelan.
“Baik, Pak. Kami siap kerja sama. Terima kasih infonya.”
Begitu sambungan ditutup, ia menatap layar ponsel beberapa detik, lalu mendesah berat. Tatapannya beralih ke arah kamar Kevin, tempat Kevin masih tertidur pulas.
Anton meneguk sisa kopinya, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri,
“Ahh... Kevin, sepertinya kamu makin yakin untuk meninggalkan SilverDawn, ya?”
_____
Kevin duduk bersandar di tepi tempat tidur, rambutnya masih acak-acakan, napasnya pelan. Malam sudah turun sepenuhnya, dan hanya cahaya redup dari lampu meja yang menerangi kamar. Ia baru saja terbangun setelah tidur nyaris seharian penuh tidur yang begitu dalam sampai Anton pun menyerah untuk membangunkannya.
Tubuhnya terasa jauh lebih ringan, kepala tidak lagi seberat batu seperti pagi tadi.
“I just needed a break... just sleep,” gumamnya pelan, suaranya serak tapi lega.
Ia meraih ponselnya di nakas samping tempat tidur. Layarnya penuh dengan notifikasi: pesan dari Anton, panggilan tak terjawab dari beberapa nomor media, notifikasi berita, dan pesan yang paling menarik perhatiannya dari Meira.
Kevin membuka pesan itu perlahan.
“Kev... aku lihat berita kamu sempat pingsan. Kamu nggak apa-apa, kan? Tolong jawab aku ya, aku khawatir banget.”
Pesan itu dikirim kemarin sore, saat dirinya bahkan tak sadar dunia di sekitarnya. Ia menatap layar cukup lama, lalu menarik napas dalam. Ada rasa bersalah yang muncul begitu saja di dadanya.
Jarinya sempat melayang di atas papan ketik, tapi tak jadi mengetik. Ia hanya menatap foto profil Meira beberapa detik wajah yang tersenyum lembut.
“I’m fine, Meira… just tired,” bisiknya pelan, meski belum dikirim dalam bentuk pesan.
Kevin menutup ponselnya, lalu menatap langit-langit. "Aku akan menelponnya...
musti pake bodyguard berapa banyak 😅
dia pikir punya anak banyak ngak mumed 😅