Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Bisa Lihat Aku?
Beberapa hari berlalu sejak keberangkatan Yuna. Di Jakarta, Rizal menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Jadwal meeting ia percepat, laporan-laporan ia periksa hingga larut malam, bahkan proyek yang biasanya ia delegasikan kini ia ambil alih sendiri. Semua itu demi satu hal... agar ia segera bisa menyusul Yuna ke Singapura.
Di sela-sela kesibukan itu, ia rajin mengirimkan pesan ke ponsel Yuna.
Na, hari ini mas lembur lagi. Jangan khawatir, fokuslah pemulihan kamu.
Mas janji, paling lambat akhir pekan mas bisa nyusul kamu.
Kamu gimana? Sudah makan? Jangan lupa minum obat ya.
Namun tak satu pun pesan itu mendapat balasan. Rizal menunggu, menatap layar ponselnya berulang kali, tapi notifikasi yang ia harapkan tak pernah datang. Ia menenangkan diri dengan berpikir, Mungkin Yuna terlalu lelah setelah perjalanan. Atau mungkin sinyal di rumah sakit Singapura buruk.
Setiap malam, ia menatap foto terakhir Yuna di ranjang rumah sakit, senyum tipis yang penuh keberanian meski tubuhnya lemah. Itu jadi bahan bakarnya untuk terus kuat.
Namun perlahan, keganjilan mulai merayapi pikirannya.
Hari ketiga, ia mencoba menelepon nomor Yuna. Panggilan masuk, tapi selalu langsung terputus. Ia mencoba menelepon Raden, tapi pria itu selalu punya alasan sibuk mengurus Yuna di sana.
Hari kelima, ia kembali mengirim pesan panjang.
Na, mas sudah susun semua jadwalku. Lusa baru bisa ke Singapura. Tunggu mas, ya. Mas kangen banget sama kamu.
Ia menunggu balasan dengan sabar. Lima menit. Sepuluh menit. Satu jam. Hingga akhirnya ia jatuh tertidur di sofa kantornya, ponsel masih dalam genggaman.
Ketika bangun, ia menatap layar ponsel dengan hati berat. Masih tidak ada balasan.
Hari ketujuh, jadwalnya benar-benar mulai longgar. Ia memutuskan akan membeli tiket ke Singapura malam itu juga. Namun sebelum itu, ia mencoba satu hal, mengecek dengan seorang kenalan di maskapai penerbangan, hanya untuk memastikan Yuna sudah benar-benar sampai di sana.
“Boleh tolong dicek, ada pasien bernama Yuna Indra Pitaloka yang diterbangkan ke Singapura minggu lalu? Menggunakan fasilitas medis khusus.”
Ada jeda panjang di seberang sana, lalu suara operator terdengar hati-hati.
Maaf, Pak. Data atas nama itu memang terjadwal diberangkatkan dengan fasilitas khusus, ke Singapura. Tapi saat jadwal keberangkatan, tidak ada yang datang.
Deg.
Darah Rizal serasa berhenti mengalir. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar saat menggenggam ponsel.
“Yuna…?!” Suaranya serak, nyaris pecah.
Semua potongan puzzle yang selama ini ia abaikan mendadak menyatu. Pesan-pesan yang tak pernah dibalas. Telepon yang tak pernah terhubung. Raden yang selalu menghindar. Dan Yuna… yang ternyata memilih pergi jauh darinya tanpa sepatah kata pun.
Ia terduduk di kursi, menekan wajahnya dengan kedua tangan. Perasaan marah, sedih, bingung, bercampur jadi satu.
“Kenapa, Na? Kenapa kamu harus bohong sama aku?” bisiknya lirih.
Namun di balik rasa hancur itu, ada tekad yang mulai menyala. Ia tidak akan tinggal diam. Jika Yuna memilih pergi, maka ke mana yuna pergi, dia akan pergi.
“Aku janji… aku akan menemukanmu.”
*****
Beberapa hari yang lalu, Yuna baru saja tiba di Jerman. Udara Berlin terasa menusuk tulang. Begitu keluar dari ambulans bandara yang membawanya langsung ke Zimmerstrabe Krankenhaus pusat rehabilitasi, Yuna merasa tubuhnya semakin kecil di tengah dingin yang asing. Selimut tebal yang membungkus tubuhnya tak mampu menghalau rasa getir di hati.
Kursi rodanya didorong oleh salah satu perawat yang disewa Raden. Di sisi lain, Raden sendiri berjalan sambil berbicara dengan dokter berjas putih yang sudah menunggu sejak tadi. Bahasa Jerman yang terdengar cepat itu membuat Yuna hanya bisa mendengarkan tanpa benar-benar mengerti.
Ia menoleh ke arah kaca besar di lobi klinik, melihat pantulan dirinya. Wajah pucat, rambutnya digelung seadanya, tubuhnya masih lemah. Luka operasi di pahanya masih sering berdenyut nyeri setiap kali sedikit digerakkan.
Aku jauh sekali dari rumah... dari Mas Rizal... Batinnya lirih.
Kamar rawatnya cukup luas, dengan jendela besar yang menghadap taman berdaun cokelat keemasan. Musim gugur baru saja dimulai. Yuna dibantu naik ke tempat tidur khusus, lalu perawat memasang alat monitor ringan.
Raden menghampirinya setelah selesai berbicara dengan dokter.
“Yuna, kamu sudah aman di sini. Rumah sakit ini yang terbaik. Mereka tahu kondisi patah tulangmu dan juga kelemahan saraf pasca operasi. Setiap hari kamu akan menjalani fisioterapi, jangan takut.”
Yuna mengangguk kecil, meski matanya berkaca-kaca. Mampukah dia menjalani rehabilitasi sementara yang di lihatnya saja hanya kegelapan.
“Om… apa Mas Rizal tahu aku ada di sini?” Tanyanya lirih.
Raden terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Tidak. Dan sebaiknya biarkan begitu dulu.”
Yuna menggigit bibirnya. Ada rasa bersalah yang menekan dadanya. Ia ingat bagaimana Rizal menggenggam tangannya erat sebelum keberangkatannya. Ingat janji-janji sederhana yang ia buat di ruang rawat itu.
Malamnya, ketika semua sudah tenang, Yuna terjaga sendirian di kamarnya. Hanya suara mesin pemanas yang berdesir pelan. Ia meraba ponselnya yang masih ada di laci. Saat baru saja dia hidupkan, notifikasi pesan dari Rizal membanjiri layar.
Na, mas kangen.
Hari ini mas lembur lagi, biar cepat bisa nyusul kamu.
Kamu baik-baik aja, kan?
5 Panggilan Tak Terjawab
Air mata Yuna jatuh begitu saja. Bahkan untuk sekedar melihat pesan yang masuk pun dia tidak bisa. Ia menutup mulutnya dengan tangan agar tangisnya tidak terdengar perawat. Terbayang, bagaimana kecewanya Rizal padanya.
“Mas… maaf… aku harus bohong.” Bisiknya parau.
“Aku takut kalau kamu tahu aku udah nggak sesempurna dulu, aku takut kamu ikut terbebani. Aku nggak mau jadi alasan kamu jatuh sakit lagi.”
Ia menatap keluar jendela, ke arah langit Eropa yang dingin dan jauh.
*****
Raden baru saja selesai bicara panjang dengan dokter senior di lantai bawah. Banyak hal yang harus ia catat. Jadwal fisioterapi, perawatan luka operasi, serta kemungkinan terapi saraf tambahan. Namun sejak awal, ada keganjilan yang terus mengganggunya.
Begitu masuk ke kamar rawat, ia mendapati Yuna duduk bersandar di ranjang, wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu yang aneh. Tatapannya kosong, lurus ke arah jendela, seolah menatap hamparan taman di luar. Dia sengaja tidak membuka suara sebelum dia mendekat.
“Yuna, kamu nggak tidur?” Tanya Raden sambil menaruh map dokumen di meja.
“Belum ngantuk, Om.” Jawab Yuna pelan, senyumnya tipis.
Raden memperhatikan lebih saksama. Dari tadi, sejak ia masuk, Yuna tidak pernah benar-benar mengarahkan pandangannya padanya. Ia bahkan tidak sadar ketika Raden mendekat sampai duduk di kursi tepat di samping ranjang.
“Dokter bilang, kondisi kamu harus terus dipantau. Nanti ada fisioterapi setiap hari. Kamu siap?” Ucap Raden, mencoba mengalihkan pikiran.
“Iya, Om… aku siap.” Jawab Yuna lagi, suaranya tenang.
Tapi lagi-lagi matanya kosong, tidak menatap wajah Raden sama sekali.
Raden mengernyit. Ada rasa tidak enak di dadanya. Ia coba mengetes.
Pelan-pelan, ia mengangkat tangannya di depan wajah Yuna, lalu menggerakkannya ke kiri dan kanan.
Tidak ada reaksi.
“Yuna…” Suaranya terdengar berat.
“Kamu bisa lihat aku, kan?”
Pertanyaan itu membuat Yuna kaku. Tangannya yang menggenggam selimut bergetar halus.
“Aku… aku baik-baik aja, Om.” Jawabnya cepat, seolah ingin menutupinya.
Raden menghela napas panjang. Ia mencondongkan tubuh, menatap lebih dekat.
“Jangan bohong sama Om. Dari tadi tatapanmu kosong. Kamu nggak pernah lihat ke arahku. Bahkan tadi waktu Om datang, kamu nggak sadar sampai Om bicara.”
Air mata Yuna mendesak keluar. Ia menunduk, menggigit bibirnya keras-keras.
“Aku… aku nggak mau bikin semua orang tambah khawatir…” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Raden terdiam sesaat, lalu bangkit, berjalan ke arah jendela, memandang keluar dengan rahang mengeras. Kini semua potongan puzzle mulai masuk akal.
“Ya Tuhan…” Gumamnya.
“Jadi… kamu buta?” Pekik Raden.