"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 33 - Calon Mantu?
Suasana ini benar-benar sangat canggung. Setelah mulut lancangku keceplosan, Pak Armand mengurungkan niat untuk keluar. Dan beginilah kami sekarang. Duduk saling berdiam diri. Bingung untuk melakukan atau memulai sesuatu.
Hari ini adalah malam keduaku di rumah sakit. Malam pertama tak bisa kuingat, karena aku datang dalam keadaan pingsan sehingga tidak bisa memahami situasi. Malam ini begitu berbeda. Kondisiku sangat stabil. Pikiranku sadar seratus persen. Untuk itu aku menyadari, ini adalah pertama kalinya aku berada dalam satu ruang dengan laki-laki.
Perasaanku kacau. Wanita lain dikondisi seperti ini pasti akan merasa takut, tapi aku tak seperti itu. Mungkin bila pria itu bukan Pak Armand, aku akan mengalami ketakutan yang sama. Pak Armand memberikan rasa yang sangat nyaman dan aman. Aku percaya dia tidak akan melakukan sesuatu. Yang tak bisa kupercaya adalah diriku sendiri. Bisakah aku tak melakukan sesuatu yang memalukan lagi? Bisakah aku menahan mulutku untuk tidak keceplosan lagi?
"Kenapa belum tidur?"
"B-belum ngantuk, Pak."
"Ada yang ingin kamu lakukan?" Aku menggelengkan kepala. Percakapan yang sangat canggung. Pak Armand terlihat gelisah. Sejurus kemudian, dia berdiri dan mengambil remote TV.
"Ada channel yang ingin kamu tonton?" tanyanya lagi. Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala, karena pada dasarnya tidak ada yang ingin kulakukan. Aku hanya terlalu gugup berada di ruangan yang sama dengan Pak Armand, itu sebabnya sulit bagiku untuk memejamkan mata.
Pak Armand menghela napas. Dia mulai mengganti-ganti channel secara acak. Sejujurnya, baru pertama kali ini aku melihat ekspresi wajahnya yang tidak biasa. Pak Armand terlihat gelisah, salah tingkah dan gugup? Kenapa?
"Kamu suka ini?" Pak Armand berhenti di channel yang sedang menayangkan drama korea. Karena dia terlihat putus asa, aku menganggukkan kepala. Pak Armand terlihat berpuas diri. Dia kembali duduk di sofa.
"Kenapa Bapak tahu saya suka drakor?"
"Bukannya anak seusiamu suka drama korea semua?"
"Saya bukan anak-anak Pak. Saya wanita dewasa. Umur saya sudah 22. Beberapa bulan lagi 23," sergahku sedikit berang. Sedikit emosi juga dikatakan masih anak-anak.
"Oh, 22 ya? Kupikir masih 12 ...," balasnya santai.
"Ih, Bapak!" Secara spontan aku melempar bantal ke arahnya. Dengan sigap Pak Armand menghindar sembari tergelak.
Aku merasa waktu seolah telah terhenti. Sekelilingku senyap. Bahkan suara televisi pun menghilang. Mataku hanya berfokus pada pria di depanku. Dia terlihat sangat menyilaukan.
Mata menyipit. Sudut bibir tertarik hingga memperlihatkan deretan gigi putih yang berjejer dengan rapi. Dua lesung pipi muncul secara tiba-tiba. Dia seperti malaikat. Aku tertegun. Pak Armand tertawa!!
Pria yang selama ini kukenal sangat kaku dan jarang menunjukkan ekspresi, bisa tertawa lepas seperti ini. Aku harus mengabadikan momen ini dengan kuat di otakku. Ini akan menjadi momen bersejarah yang tak mungkin lagi kulihat seumur hidup.
"Kelakuanmu tidak seperti wanita usia 22, tapi anak 12 tahun," timpalnya lagi. Ucapan itu menarikku ke dunia nyata. Waktu yang terhenti kini telah kembali. Aku berdehem sembari merapikan selimut. Menyadari, bahwa sesaat tadi aku kembali terpesona pada pria di depanku ini.
"M-memangnya kelakuan saya seperti anak-anak ya, Pak?"
"Kadang-kadang."
"K-kok bisa? Kelakuan saya yang mana, Pak?"
Pak Armand tersenyum kecil. Senyum dikulum yang membuat jantungku berdebar sangat kencang. Kenapa dia bisa setampan itu?! Jangan sering-sering tersenyum seperti itu di depan orang lain Pak! Cukup di depanku saja!
"Pak."
"Hem?"
"Kelakuan saya yang mana yang seperti anak-anak?" tanyaku lagi. Jujur saja, aku cukup terganggu dengan pandangan Pak Armand. Jangan-jangan selama ini dia hanya menganggapku sebagai anak kecil saja?
"Nggak. Aku hanya becanda. Kamu menghibur, Arsha." Lagi-lagi Pak Armand tersenyum kecil. Membuat lesung pipinya kembali terlihat. Dari ekspresi di wajahnya terlihat sangat tulus. Tidak ada ekspresi mengejek. Dari hal itu aku bisa memastikan, Pak Armand benar-benar tulus dengan ucapannya.
"Baru kali ini saya melihat Bapak tertawa." Aku menunduk sembari mencubiti selimut yang tak bersalah. "Kenapa Bapak jarang tertawa di kantor?"
"Karena tidak ada hal lucu yang pantas ditertawakan."
"Jadi menurut Bapak, saya lucu?"
"Sedikit."
"Saya bukan pelawak, Pak."
"Kamu bukan pelawak. Tapi anak kecil usia 12 tahun ...."
"Pak!!" Lagi-lagi Pak Armand tertawa. Sepertinya dia terlihat senang sekali.
"Dulu, saya sangat takut sama Bapak," ucapku, mengenang pertemuan pertama kami.
"Kenapa?"
"Ya, karena Bapak terlalu kaku. Waktu wawancara, Bapak terlihat menakutkan. Pak Arif saja tersenyum. Sementara Bapak tidak pernah tersenyum. Waktu memberi perintah, Bapak juga sangat dingin."
Pak Armand tak langsung menjawab. Aku tak bisa menebak isi kepalanya saat ini. Ekspresinya tak terbaca.
"Ternyata pandanganmu selama ini seperti itu." Dia menoleh padaku. "Apa sekarang kamu masih takut?"
Aku menggelengkan kepala. "Sudah tidak."
"Jadi, kamu berani padaku?"
"Y-ya, tidak juga Pak. Mana saya berani sama, Bapak ...."
"Katanya tadi sudah tidak takut."
"Maksudnya, saya sudah tidak setakut dulu lagi. Tapi bukan berarti saya berani. Saya pikir Bapak sangat dingin dan jahat. Ternyata Bapak sangat baik dan hangat ...."
"Hangat?"
""Eh, maksudnya ...."
Duh, aku salah memilih kosakata! Aku melirik Pak Armand yang tengah melihatku dengan fokus penuh. Kemudian pria itu berdiri dan beranjak mendekatiku. Aku menundukkan kepala dalam-dalam ketika dia telah berada tepat di depanku. Dia menumpukan kedua tangan di atas ranjang dan mencodongkan tubuhnya padaku. Jarak kami hanya tersisa lima puluh sensi. Jantungku berdetak sangat kencang. Kalau bukan ciptaan Alloh, mungkin jantungku sudah melompat keluar!
"Aku hangat? Kenapa kamu menganggapku hangat? Apa karena beberapa kali kamu sering tidur di sini?" Pak Armand menunjuk bahunya. "Tidur di sini sampai ngiler ...."
"Pak!!" Aku melempar bantal secara spontan dan lagi-lagi Pak Armand menghindar sembari tertawa lepas.
"Hahaha!"
***
Selepas kejadian itu, suasana menjadi semakin mencair. Komunikasiku dengan Pak Armand semakin lancar. Kalau dulu ada perasaan sungkan dan takut, sekarang perasaan itu sedikit demi sedikit mulai menghilang.
Entah apa hanya perasaanku saja, Pak Armand menjadi lebih ekspresif. Sesekali dia tersenyum dan tertawa mendengar ocehanku, tapi dilain waktu, dia juga khawatir melihat keadaanku.
Beberapa hari kemudian, dokter sudah mengijinkanku untuk pulang. Entah bagaimana prosedurnya, aku dan Pak Armand meninggalkan kota Bogor sebelum menyelesaikan OJT. Sebenarnya aku sudah memaksa Pak Armand untuk mengikuti program itu sampai selesai, namun beliau bersikukuh untuk tidak melakukannya. Aku berharap, hal ini tidak akan mempengaruhi penilaian cabang.
***
Sudah tiga hari aku berada di kota kelahiran. Untuk memudahkan penjagaan, orangtua membawaku pulang ke rumah. Hari ini terdapat jadwal check up, sehingga Ibu mulai membantuku untuk bersiap-siap.
Ketika Ibu tengah membantuku berdiri, tiba-tiba Ayah masuk ke kamar.
"Sudah siap?" tanya Ayah.
"Sudah, Yah ...."
"Pas waktunya." Wajah Ayah terlihat bersinar senang.
"Kenapa, Yah?" tanyaku bingung.
"Sudah ada yang menunggumu Nduk."
"Siapa, Yah?" Kali ini Ibu yang bertanya. Dari ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
"Calon mantumu, Bu. Hihi." Ayah ngeloyor pergi sembari tertawa kecil. Kami saling berpandang-pandangan dengan raut wajah bertanya-tanya. Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, kami berjalan ke ruang tamu untuk melihat orang yang dimaksud sebagai "calon mantu" oleh Ayah.
Langkahku terhenti. Aku pikir Ayah tengah bercanda. Aku pikir, mungkin saja ada tetangga atau saudara yang datang. Tapi ternyata bukan. Yang kulihat sangat sesuai dengan bayanganku. Aku melihat calon suamiku di sana, Pak Armand Abimanyu Mahendra.
(note author : abaikan Arsha yang lagi berhalusinasi 🙄)
***
Happy Reading 🥰
NB : Haha, maaf lama update genk. Lagi sibuk ini-itu 🤭🙏 Oh ya, mungkin 2-3 bab lagi akan mulai masuk cerita inti. Jadi mohon bersabar kalau bab kemaren terlalu bertele-tele ya 🙏