Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Croissant
Semenjak kepergian Cassie, hari-hari Vania terasa berbeda. Meski mereka tak begitu dekat, namun kehadiran Cassie membekas jelas di ingatannya.
Kini ia duduk termenung di dalam perpustakaan, halaman di hadapannya sudah terbuka cukup lama, tapi sorot matanya kosong. Dalam ruangan yang cukup padat itu, Vania justru merasa terkurung dalam ruang tertutup tanpa jendela: gelap dan pengap. Dalam kepalanya terlintas lagi isi surat Cassie yang terkesan seperti wasiat.
“Titip Rayhan?” gumamnya lirih, ia tersenyum miring. Permintaan itu terdengar mudah, tapi nyatanya hal itu teramat sulit baginya.
Meski tak bisa dipungkiri, rasa sukanya terhadap Rayhan belum hilang. Namun, rasa itu berubah menjadi beban. Jika ia bersama dengan Rayhan, ia merasa hanya menempati sebuah janji, bukan dari keinginan terdalamnya. Akan tetapi, meninggalkannya pun terasa sulit, sebab ia merasa seperti terikat dengan benang merah yang kusut.
Vania mengusap wajahnya, merasa tak menemukan ketenangan hati. Ia beranjak dari duduknya, berniat pulang karena sudah tak ada lagi kelas hari itu.
Saat ia melangkah keluar, angin sore menyapu wajahnya, langit berwarna abu-abu, seolah ikut menekan hatinya yang berat. Vania menarik napas panjang, namun dadanya tetap terasa sesak.
Belum sempat ia melewati pintu gerbang, terdengar suara familiar memanggilnya.
"Vania ...."
Langkahnya terhenti, ia kenal betul siapa pemilik suara berat itu. Sosok yang selalu membuat hatinya terombang-ambing. Rayhan berdiri beberapa meter di belakangnya. Dengan kantung mata yang dalam, dan postur tubuh seperti kehilangan arah.
Vania menoleh, wajahnya datar, menahan gejolak yang kembali menyeruak.
Rayhan terdiam sejenak, lalu perlahan mendekat, menyodorkan sebuah kotak berisi croissant coklat pada Vania.
“Gue lihat, lo kayak kekurangan energi. Makan ini biar suasana hati lo balik lagi.” Ucapnya dengan sudut bibir yang terukir tipis.
Vania mendengus pelan, “Bukankah yang butuh energi lebih adalah dirinya sendiri? Matanya saja terlihat sayu begitu. Apakah kepergian Cassie membuatnya terus terjaga dalam tidurnya?” batinnya penuh tanya.
“Apa gue seperti anak kecil yang akan membaik kalau dikasih makanan manis?” ujar Vania datar, tapi tangannya tetap menerima pemberian Rayhan.
Bibir Rayhan tersenyum manis, matanya menatap lembut. “Iya. Dan gue akan beri seberapa banyak yang lo mau.”
Vania membisu, kalimat itu, yang diucapkan Rayhan dengan lembut, entah kenapa mampu melebur semua kata-kata pedas yang ia siapkan. Vania memandang kotak croissant di tangannya, lalu beralih menatap wajah Rayhan. Mata itu ... masih sama. Teduh, tajam dan penuh kelembutan yang dulu begitu ia kenal.
Namun, kini ada lapisan baru di sana: lelah yang teramat sangat.
“Simpan itu untuk lo sendiri, dan tidur lah. Lo terlihat kayak zombie.”
“Zombie?”
“Ya. Kapan terakhir lo tidur?”
“Tidur kok tadi di kelas, walau cuman sebentar.”
Alis Vania berkerut. “Hanya di kelas?”
Rayhan tertawa kecil, tawa yang terdengar kosong. Wajahnya menurun, menatap tanah sebentar sebelum kembali mengangkat pandangannya.
“Iya... Gue takut, Van. Gue takut saat gue tidur, Cassie menghantui dalam mimpi. Gue merasa bersalah karena tak bisa memenuhi keinginannya dengan sempurna.”ungkapnya lirih. Matanya memandang langit seolah Cassie berada di sana.
Kata-katanya jatuh pelan, terdengar berat, membuat dada Vania ikut tertekan. Ia ingin membalas sesuatu, namun lidahnya kelu. Croissant di genggamannya terasa dingin, padahal harusnya hangat.
Rayhan menarik napas panjang, lalu menatap mata Vania lurus-lurus.
“Lo gak harus jawab sekarang. Tapi ... gue boleh terus berada di deket lo? Bukan karena surat itu atau permintaan seseorang. Tapi karena gue butuh lo buat jadi alasan gue tetap merasa hidup.”
Vania tercekat. Kata-kata itu menembus pertahanannya. Ada bagian dirinya yang ingin berteriak ‘Ya’ lalu meraih Rayhan saat itu juga. Tapi bagian lain juga berseru ‘Tidak’ dengan lantang, karena takut semua ini hanya kelanjutan dari ’wasiat Cassie’ dan bukan dari keinginan mereka sendiri.
Ia mengalihkan pandangannya, menatap pintu gerbang seperti penjaga tua yang menjadi saksi bisu dari dua jalan semu.
Vania menjawab dengan lirih, setengah berbisik.“Jangan taruh hidup lo di pundak gue, Ray ... Gue sendiri masih nyari alasan untuk berdiri.”
Hening merambat di antara mereka. Bahkan bisik-bisik mahasiswa yang berlalu lalang pun lenyap di telinga. Angin sore kian dingin, sementara dedaunan berguguran satu per satu. Seperti kefanaan yang mengingatkan: dari setiap akhir lahirlah awal, dan dari perpisahan tercipta kelahiran.
Rayhan akhirnya mengangguk pelan, meski jelas raut wajahnya kecewa.
“Gue ngerti, Van. Gue gak akan maksa. Tapi, Van ...” ia menelan ludah, suaranya pecah. “Jangan jauhi gue, ya? Itu aja.”
Vania tak menjawab, ia menatap kotak croissant di tangannya seperti menimbang nasibnya.
Dan menjelang matahari terbenam, di depan gerbang kampus, dua orang yang sama-sama hancur mencoba saling menemukan. Meskipun jalan mereka penuh bayang-bayang seseorang yang sudah tiada.
Namun, tanpa mereka sadari. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari depan kampus, Ali memperhatikan Rayhan dan Vania yang saling memandang dengan ekspresi terluka. Ali menggenggam setir kemudi erat, hingga kubu jarinya memutih. Hatinya diremuk oleh kenyataan bahwa ini adalah buah dari ulahnya sendiri.
“Kalau saja gue gak maksa Rayhan waktu itu ... kalau saja gue gak taruh ego gue di atas perasaan mereka ....” batinnya berkecamuk.
Ali cepat-cepat menggeleng. Satu tangannya menutup wajah, lalu tawa lolos di bibirnya— tawa getir yang terdengar seperti mengejek dirinya sendiri. Karena sejujurnya jika waktu bisa diulang, ia tahu dirinya akan tetep melakukan hal yang sama. Yang membuatnya tak tahan bukanlah pilihan masa lalunya, melainkan perasaan bersalah yang kini menjerat, mengikatnya seperti rantai berkarat.
Dan di titik itu, perlahan muncul sebuah tekad dalam dirinya. Tekad yang masih kabur arah tujunya. Entah akan memperbaiki keadaan atau justru memperumit semuanya.
sholeh bgt rayhan nih wkwk