Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Skenario Leo
Langkah Tantri bergema di koridor panjang lantai dua. Sepatu haknya menghentak lantai marmer, iramanya cepat, berat, seolah setiap langkah membawa bara yang siap meledak. Wajahnya kaku, rahang mengeras, dan matanya menatap lurus ke depan—ke satu tujuan: kamar Leo.
“Leo!”
Suara itu memecah kesunyian malam, tajam seperti cambuk yang menghantam udara.
Dari balik jendela, Leo yang sedari tadi bersandar pada bingkai kayu, memandangi langit malam yang pekat, tersentak kecil. Alisnya sedikit berkerut, napasnya terhenti sejenak. Perlahan, ia menurunkan tirai, memutus pandangan dari bulan yang menggantung di langit, lalu berbalik.
“Iya, Ma,” jawabnya pelan, mencoba menjaga nada datar, meski jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Tantri sudah berdiri di ambang pintu, bahunya tegak, kedua tangan bersilang di dada. Sorot matanya tajam, menusuk seperti pisau yang menguliti perlahan. Tanpa meminta izin, ia melangkah masuk, hak sepatunya memantulkan suara ketus di lantai.
“Apa yang sedang kau mainkan, Leo?” suaranya datar, tapi ada bara di bawah permukaannya. “Jelaskan apa yang kau lakukan di meja makan tadi.”
Leo diam, bahunya sedikit menegang.
“Jangan bungkam di depanku!” bentak Tantri, maju satu langkah. Ujung jarinya terangkat, menuding ke arah wajah anaknya. “Kau menyuapi Keira. Di depan semua orang. Di depan keluarga! Apa yang kau pikirkan?! Sejak kapan kau memperlakukannya seperti istrimu sungguhan?”
Tatapan Leo bergerak perlahan, menunduk sedikit sebelum kembali mengunci mata ibunya. Rahangnya mengeras. “Itu bukan seperti yang Mama kira.”
“Bukan seperti yang Mama kira?” Tantri terkekeh, suara tawanya dingin, memotong udara. “Kau pikir semua orang di rumah ini buta? Tak lihat bagaimana caramu menatapnya? Menjaganya? Sikapmu berubah drastis sejak hari kau menemaninya di rumah sakit. Apa yang terjadi, Leo? Apa kau mulai merasa bersalah?”
“Aku tidak sebodoh itu, Ma,” suara Leo mulai tajam, tapi tetap terkendali. “Aku tahu apa yang kulakukan.”
Mata Tantri menyipit, seperti sedang mengupas lapisan demi lapisan wajah anaknya, mencari retakan. “Kau lupa alasanmu menikahinya? Kau lupa rencana kita? Kau menikahi Keira bukan untuk mencintainya, tapi untuk membalaskan dendam. Untuk mempermalukan keluarganya. Untuk menebus luka yang Papa buat di masa lalu.”
Leo mengangkat dagunya sedikit, suaranya terpotong cepat. “Aku tahu semuanya. Mama tidak perlu mengulanginya.”
“Lalu kenapa kau bersikap seperti itu? Kau bela dia. Kau tatap dia seolah dia berarti. Kau suapi dia seperti pasangan mesra. Apa itu bagian dari akting? Atau… kau mulai tenggelam?”
Leo menarik napas panjang, menahan panas yang mulai menggelegak di dadanya. “Itu semua bagian dari permainan. Keira mulai membuka diri. Dia percaya padaku. Aku menggiringnya pelan-pelan. Kalau aku benar-benar mencintainya, itu pasti sudah terjadi sejak dulu, sejak kami pertama bertemu. Tapi lihat aku sekarang, Ma… Aku bahkan muak menyentuhnya.”
Tantri menatapnya lama. Sunyi menggantung di antara mereka, hanya terdengar bunyi detak jam dinding yang terasa terlalu nyaring.
“Dan Revan?” suaranya kembali tajam.
Sudut bibir Leo terangkat, senyum tipis penuh dingin menyelusup ke wajahnya. “Dia akan tersingkir, Ma. Papa mulai condong ke pihakku. Tadi siang bahkan memuji sikapku—katanya aku lebih dewasa, lebih bisa diandalkan. Revan mulai kehilangan pijakan. Dan kalau Papa benar-benar mengembalikannya ke tempat itu…”
“Dia akan hancur,” potong Tantri, senyum puas mulai merekah di wajahnya. “Dan kita tak perlu lagi khawatir soal siapa pewaris perusahaan.”
Leo mengangguk mantap. “Aku sudah rancang semuanya. Keira akan menjadi pion. Revan akan tersingkir. Dan Papa akan menyerahkan semuanya padaku, tanpa tahu bahwa aku menusuk dari belakang.”
Tatapan Tantri melunak, tapi ada kebanggaan yang beracun di dalamnya. “Kau memang anak yang Mama besarkan. Licik. Cerdas. Tak mengenal belas kasihan.”
Leo menatap balik, matanya membeku. “Justru itu. Jangan khawatir, Ma. Aku tidak jatuh cinta. Aku sedang menggiring Keira masuk ke dalam perangkapnya sendiri.”
Tantri mendekat, telapak tangannya menepuk bahu Leo perlahan—sentuhan yang lebih mirip restu dari iblis ketimbang kasih seorang ibu. “Buat dia percaya. Buat dia merasa dicintai. Lalu… hancurkan dia sampai tak bersisa.”
Leo menunduk singkat, lalu mengangkat wajah dengan senyum yang mengandung racun. Di balik ketenangan itu, badai sedang berputar liar, merangkai langkah berikutnya dengan presisi seorang algojo.
$$$$$
Di sisi lain rumah, jauh dari riuh tawa palsu dan senyum basa-basi, Tamara tengah menyusun sebuah rencana kecil yang baginya lebih menyenangkan daripada sekadar berdandan atau berbelanja. Dendamnya pada Keira tak pernah benar-benar padam—ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyala kembali, dan malam ini, ia punya cara baru untuk menyalakannya.
“Jika kekerasan sudah tidak berlaku lagi untukmu, mungkin aku bisa menakuti mu dengan hewan-hewan ini,” bisiknya sambil menatap dua kantong plastik berisi mainan kecoa dan seekor ular mainan otomatis yang bisa menggeliat seperti sungguhan.
Dengan langkah ringan dan suara napas ditahan, Tamara menyelinap masuk ke kamar Keira. Lampu ruangan sudah dimatikan, hanya cahaya remang dari jendela yang menuntunnya melangkah ke sisi ranjang. Ia membuka sedikit selimut Keira dan menyelipkan beberapa kecoa plastik di baliknya—bentuknya begitu realistis, lengkap dengan kaki-kaki kecil yang membuat siapa pun bergidik hanya dengan sekali lihat. Lalu, ia mengambil bantal dan dengan hati-hati memasukkan ular mainan ke dalam sarungnya. Alat itu bisa bergerak perlahan jika terkena tekanan, seolah hidup.
“gue ngak sabar melihat wajah drama lo , Keira,” gumam Tamara puas sebelum ia keluar dari kamar dengan senyum licik membungkus bibirnya.
Kayla dan Leo tiba bersamaan di depan pintu kamar. Langkah mereka beradu seperti adegan klise di drama Korea.
Kayla berdecak pelan. “Udah deh, lo ke kamar lo aja. Gak usah drama mau tidur bareng gue. Biasanya lo juga jijik kan sama gue?”
Leo menatapnya, sorot matanya sok polos. “Apa aku pernah mengatakannya? Itu cuma dugaanmu, Keira.”
Tanpa menunggu balasan, Leo mendahuluinya dan langsung melompat ke atas ranjang dengan ekspresi puas.
“Kenapa wajahmu kayak gitu? Apa kau takut?” godanya dengan senyum nakal.
“Apa...?” Kayla memicingkan mata, penuh curiga.
“Kau paham itu, Keira,” balas Leo santai sambil bersandar ke bantal.
Kayla, yang kesal karena dipermainkan, dengan cepat mendekat dan menarik selimut. Tapi begitu kain itu tersibak, puluhan kecoa mainan yang diselipkan Tamara beterbangan ke mana-mana, membuat udara kamar seketika terasa kacau.
Leo langsung menjerit. Histeris.
Ia melompat ke belakang Kayla dan meraih pundaknya seolah mencari perlindungan. Wajahnya pucat pasi, napasnya tak beraturan, dan tubuhnya bergetar seperti anak kecil ketakutan.
“A apa itu tadi?! Kenapa binatang-binatang menjijikkan ini ada di sini?!” serunya panik, menggenggam erat bahu Kayla.
Kayla menahan tawa yang hampir meledak. Matanya berair, bukan karena takut, tapi karena geli melihat Leo kehilangan seluruh martabatnya dalam satu detik.
Leo melirik Keira dengan penuh amarah, tatapan Leo membuat kayla merasa leo menuduhnya.
“lo... Pikir pikir gue yang ngelakuinnya?” ujar Kayla menahan geli, menunjuk lantai yang kini penuh dengan kecoa plastik.
Leo tak menjawab. Ia hanya mengibas -ngibaskan celananya, seolah hewan-hewan itu masih melekat di tubuhnya. Panik dan geli bercampur jadi satu.
Ia lantas meraih bantal untuk menutupi wajahnya, tapi belum sempat merasa aman, seekor ular mainan keluar dari dalamnya—bergerak lambat seperti melata di tubuhnya. Leo kembali menjerit. Kali ini lebih nyaring, lebih kacau.
“ARGH! ULAR?!”
Tanpa sadar, ia melempar bantal itu tepat ke arah Kayla dan tergelincir ke belakang, menabrak tubuh gadis itu. Mereka berdua jatuh ke atas ranjang dalam posisi canggung. Leo berada di bawah, memeluk Kayla tanpa sengaja. Napas mereka memburu, tatapan mereka saling bertemu dalam diam. Sekilas, waktu seperti berhenti.
Detik itu, semua ketegangan berganti jadi keheningan yang membingungkan.
Namun Kayla segera menyadarkan dirinya. Ia bangkit dan berdiri dengan cepat, lalu mengambil ular mainan itu sambil menatap Leo yang masih tampak linglung.
“Ini cuma mainan, Pak Leo yang terhormat,” katanya sambil melempar si ular ke arah Leo dengan santai. “lo drama banget sih. Hampir aja bikin gue gegar otak!”
Leo masih gemetar, tangannya menepuk-nepuk dadanya sendiri.
Kayla mengambil salah satu kecoa plastik, memperhatikannya sebentar, lalu mendekat dan menatap Leo dengan pandangan geli.
“Lo bisa milih investor bejat dengan handal, tapi gak bisa bedain kecoa asli dan palsu? Payah,” katanya menyeringai lalu melempar kecoa itu ke arah Leo.
Leo menghindar dengan ekspresi jijik yang luar biasa. Kayla tertawa makin keras, tubuhnya hampir terlipat dua menahan geli.
Sementara itu, dari kejauhan, seseorang memperhatikan segalanya dari balik dinding lorong lantai atas.
Tamara berdiri diam, matanya nyalang penuh amarah. Wajahnya memerah, bukan karena malu—tapi karena kesal tak terkira. Tubuhnya menegang, tangan mengepal di sisi tubuh, dan giginya tertutup rapat menahan desakan emosi.
“Kenapa... kenapa Kak Leo malah ada di kamar Keira?” desisnya dengan nada nyaris tak terdengar, namun penuh kebencian yang menetes pelan-pelan seperti racun.
Ia menghentakkan kakinya—sekali, dua kali—gemas dan frustrasi. Bayangan tawa Kayla tadi, dan wajah panik Leo yang justru membuat mereka terlihat semakin dekat, terus berputar di kepalanya seperti mimpi buruk.
“Bukan begini... bukan ini yang gue rencanakan...” gumamnya getir. Suaranya pecah di ujung tenggorokan.
Tamara menatap pintu kamar Keira dengan mata berkaca-kaca. Tak ada satu pun dari semua itu yang berjalan sesuai rencana. Ia ingin Keira menjerit, ingin gadis itu histeris dan lari keluar kamar seperti anak kecil. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Keira tertawa... dan Leo malah terlihat melunak.
“Mereka tertawa bersama... setelah semua kekacauan itu?” bisiknya penuh dendam. “Sialan.”
Gadis SMA itu menghela napas panjang, lalu bersandar pada dinding dengan tubuh yang lemas oleh amarah.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua kejahilan yang kulakukan... justru membuat mereka semakin dekat?”
Ia mendongak, menatap langit-langit koridor dengan mata penuh dendam yang kini menyala semakin terang. Keira bukan hanya saingan dalam keluarganya. Kini, Keira telah menjadi ancaman nyata. Bukan hanya untuk posisinya sebagai anak Tantri, tapi juga sebagai adik perempuan.Kesempatannya untuk dekat dengan Leo kini justru semakin terhalang.
“Lo pikir lo bisa ambil semua dari gue, Keira?” bisik Tamara pelan. “Tunggu saja. Ini belum selesai. Gue akan buat lo menyesal pernah tertawa malam ini.”
.
.
.
Bersambung.
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂