NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

Sore itu, langit Bali mulai berwarna keemasan. Teras vila yang menghadap laut menjadi tempat Makes berdiri, tangan bersandar di pagar kayu, matanya menatap jauh ke horizon. Angin asin laut membelai wajahnya, tapi pikirannya tidak benar-benar berada di sana.

Suara langkah sepatu hak terdengar mendekat. Rania.

“Aku dengar kamu di Bali. Jadi… aku pikir kita bisa ngobrol,” ucapnya dengan senyum tipis yang dulu pernah memikat banyak mata.

Makes hanya menoleh sekilas, ekspresinya datar. “Aku sedang sibuk, Ran. Ini proyek penting untuk Wilson Grup.”

“Bukannya kamu selalu ada waktu untukku dulu?” Rania melangkah lebih dekat, nada suaranya mengandung nada menggoda. “Aku cuma kangen, Makes. Apa salahnya mengingat masa lalu sedikit?”

Zhavira yang baru keluar dari ruangan kerjanya menghentikan langkahnya. Ia mendengar setiap kata. Pandangannya membeku, napasnya melambat. Kenangan bertahun lalu — malam saat ia memutuskan pergi karena Rania — muncul begitu saja, menusuk.

Makes menyadari kehadiran Zhavira di ambang pintu. Tanpa ragu, ia berbalik sepenuhnya menghadap Rania.

“Masa lalu kita nggak pernah ada, Ran. Yang ada cuma Zhavira. Dia… satu-satunya yang aku mau sekarang.”

Rania tersenyum kecut, seolah tak percaya Makes bisa mengucapkan itu di depannya. “Jadi segitunya kamu sama dia? Sampai lupa siapa yang selalu ada di masa kecilmu?”

“Mungkin aku lupa, atau mungkin aku memang sengaja nggak mau ingat.” Makes melirik sekilas ke arah Zhavira, memastikan matanya bertemu dengan mata perempuan itu, seolah mengatakan aku di pihakmu.

Zhavira tak berkata apa-apa, tapi ia merasakan sesuatu menghangat di dadanya. Luka lama memang belum sepenuhnya hilang, tapi kali ini… Makes berdiri di sisinya, bukan meninggalkannya.

Rania menatap keduanya, matanya mengeras. “Kita lihat saja, Makes. Aku nggak mudah menyerah.” Lalu ia pergi, meninggalkan aroma parfum yang memudar tertiup angin laut.

Begitu Rania menjauh, Makes melangkah mendekati Zhavira.

“aku gak akan biarkan dia bikin kamu mikir macam-macam lagi,” ujarnya pelan. “Aku nggak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya, Zhavira.”

Zhavira menunduk, menyembunyikan senyum yang nyaris muncul. “Semoga kamu bener-bener menepati janjimu.”

Makes mengangkat dagunya lembut, memaksanya menatap. “Aku janji.”

**

Suara debur ombak menyambut langkah kaki mereka saat kapal kecil itu merapat ke dermaga kayu. Udara asin bercampur aroma kelapa dari kejauhan membuat suasana terasa benar-benar liburan. Zhavira memejamkan mata sejenak, membiarkan angin laut membelai pipinya.

Di belakangnya, suara Tika terdengar riang.

“Astaga, ini sih liburan kelas sultan, Zha Kita biasanya outing cuma ke Puncak atau pantai deket-deket doang.” ucap Tika

“Iya, dan kali ini ada boss besar yang traktir. Cieee...” Sinta melirik nakal ke arah Makes yang sedang mengawasi porter menurunkan koper-koper mereka.

“Boss besar? Lebih kayak bodyguard kalau aku lihat. Dari tadi nggak lepas mandangin Mbak Zha.” timpal Andi.

Semua tertawa, kecuali Zhavira yang hanya menggeleng sambil menahan senyum.

Makes berjalan mendekat, memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Kalau kalian sudah selesai menggoda saya, mari kita menuju villa. Saya tidak mau Zhavira kelelahan sebelum liburan dimulai.”

Nada suaranya datar, tapi sorot matanya jelas menyimpan ketegasan yang tak bisa dibantah.

Villa mereka ternyata berdiri di atas tebing rendah, menghadap langsung ke laut. Bangunannya modern dengan jendela kaca besar dan balkon luas. Begitu masuk, Tika dan Sinta langsung terpukau.

“Gila, ini sih bukan villa... ini surga.”Ucap sinta dengan wajah senang.

“Eh, kalau begini aku rela kerja lembur tiap minggu asal dibawa liburan kayak gini.” lanjut Tika

“Masalahnya kamu lembur juga cuma nonton drama di meja kerja, Tik.” ujar Andi

Tawa pun pecah.

Di ruang tamu, Makes sudah mengarahkan porter meletakkan koper masing-masing di kamar yang telah disiapkan. Dia lalu menatap Zhavira.

Makes: “Kamu di kamar sebelahku. Kalau butuh apa pun, panggil saja.”

Zhavira mengerling sekilas, setengah ingin membantah karena tahu teman-temannya pasti akan menggoda, tapi pada akhirnya ia hanya mengangguk.

Sore itu, mereka duduk di teras menghadap laut, menikmati jus kelapa muda. Angin bertiup lembut, membawa percikan air laut.

Sinta: “Vir, kamu nggak takut nanti kulitnya gosong?”

Zhavira: “Biarin, namanya juga liburan. Lagi pula, ada yang bakal ngingetin kalau aku kebanyakan kena matahari.”

Sadar akan tatapan Makes yang langsung mengarah padanya, Zhavira buru-buru menyesap jusnya.

Andi: “Kalau aku sih nggak masalah gosong. Yang penting bisa snorkeling besok.”

Tika: “Ngomong-ngomong soal itu, Pak Makes ikut, kan?”

Makes menoleh, menatap mereka satu per satu. “Ikut. Tapi saya pastikan kalian semua kembali ke darat dengan selamat. Termasuk Zhavira.”

Nada seriusnya membuat Andi dan dua rekannya spontan mengangguk patuh.

**

Malamnya, mereka mengadakan barbeque di halaman belakang villa. Bau daging bakar dan seafood memenuhi udara. Andi sibuk membolak-balik ikan di panggangan, sementara Tika dan Sinta menyiapkan saus.

Zhavira duduk di kursi sambil memotong sayuran, dan Makes duduk di sebelahnya, membantu mengupas jagung bakar.

Tika (menyenggol Sinta): “Zha, hati-hati, nanti jarinya kena pisau. Kasihan Pak Makes panik.”

Makes menoleh dingin. “Kalau dia terluka, kalian semua saya suruh pulang besok.”

Tawa langsung meledak, meski ada sedikit rasa ngeri di dalamnya.

Malam itu berakhir dengan suasana hangat. Langit penuh bintang, ombak berdebur pelan, dan meski Zhavira berusaha menjaga jarak di depan teman-temannya, tatapan Makes yang tak pernah lepas darinya membuatnya sulit menepis kenyataan: laki-laki itu benar-benar menepati janjinya — tidak hanya soal liburan, tapi soal menjaga dirinya.

**

Pulau itu seperti surga kecil yang terpisah dari dunia. Air laut bergradasi biru kehijauan, pasir putih selembut tepung, dan angin yang membawa aroma garam bercampur bunga liar. Zhavira berdiri di tepi dermaga kayu, matanya tak lepas dari ombak yang berkejaran.

"Bagus banget, kan?" suara Makes terdengar di belakangnya, hangat dan rendah.

Zhavira menoleh, bibirnya membentuk senyum kecil. "Kalau ini niatnya cuma traktiran, kayaknya kamu terlalu niat, deh."

Makes mengangkat bahu santai. "Aku kan janji. Dan kalau janji, aku harus bayar lunas… plus bunga." Ia meliriknya nakal.

Rekan kerja Zhavira—tiga orang perempuan dan dua laki-laki—sudah asyik berlarian di pantai, tertawa sambil melepas sepatu. Mereka jelas tak menduga kalau "traktiran" yang dimaksud Makes adalah paket liburan mewah di pulau pribadi.

"Terima kasih," Zhavira berkata pelan, tapi cukup untuk membuat Makes menoleh serius.

"Kalau kamu terima kasihnya cuma sekali, aku nggak puas," ujarnya, nada suaranya setengah bercanda, setengah menuntut. "Kamu tahu kan, ini cuma separuh janji."

"Separuh? Terus separuhnya lagi?" Zhavira memiringkan kepala, pura-pura bingung.

Makes mendekat, jaraknya tinggal sejengkal. "Separuhnya lagi… aku mau kamu bahagia di sini. Nggak mikirin kerjaan, nggak mikirin yang lain. Fokus sama aku."

Tatapan mereka terkunci. Dan di momen itu, Zhavira tahu, semua kata-kata Makes bukan sekadar manis di bibir—laki-laki ini benar-benar berusaha menebus semua waktu yang terlewat.

Malamnya, di tepi api unggun, Makes duduk di samping Zhavira sambil menyerahkan selimut tipis. "Biar nggak kedinginan," ucapnya singkat.

Suara ombak jadi latar. Rekan-rekan kerja Zhavira sibuk membakar marshmallow, sesekali melirik mereka berdua dengan tatapan penuh tanda tanya.

Di tengah kehangatan itu, bayangan masa lalu kembali menghampiri. Rania. Nama itu seperti angin dingin yang menyusup diam-diam. Dan entah kebetulan atau takdir, Zhavira melihat pesan masuk di ponselnya—dari nomor tak dikenal, tapi dengan nada yang terlalu familiar:

"Masih yakin dia cuma untukmu?"

Zhavira menatap layar cukup lama sebelum memutuskan mematikan ponsel. Malam itu, ia tak ingin masa lalu merusak momen yang akhirnya mereka miliki kembali.

Makes, yang sedari tadi memperhatikan, mengerutkan kening. "Kamu oke?"

Zhavira tersenyum tipis. "Oke. Selama kamu di sini, aku oke."

Makes menatapnya lekat-lekat, seakan ingin memastikan. Lalu tanpa banyak kata, ia meraih tangan Zhavira, menggenggamnya erat.

Malam itu, janji yang dulu hanya sebatas kata-kata, berubah menjadi sesuatu yang nyata.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!