Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siti Ingin Bertemu
Lamaran yang disampaikan rombongan Aksa diterima oleh Ramlan. Kemudian Arumi dipersilahkan bergabung di ruang tamu.
Arumi menyalami satu-persatu keluarga Aksa dan Aksa sendiri, Arumi hanya menangkupkan tangannya di dada seperti biasa. Setelah itu, kedua belah pihak membahas langkah selanjutnya.
Kedua belah pihak sepakat mengadakan pernikahan 1 bulan kemudian, yang mana akan dilangsungkan di rumah Arumi secara sederhana. Dan akan dilanjutkan resepsi di rumah Aksa seminggu kemudian.
“Terima kasih sudah mau menjadi menantu Ibu.” Kata Ibu Aksa saat berbincang dengan Arumi selesai makan.
“Saya yang harusnya berterima kasih, Bu. Kak Aksa mencari saya sampai kemari dan menunjukkan ketulusannya.” Jawab Arumi yang tersipu.
“Itu sudah sewajarnya. Laki-laki harus memperjuangkan perempuan yang dicintainya. Kalau Aksa tidak memperjuangkanmu, kamu tidak akan tahu ketulusannya.”
“Benar itu, Kak!” sela Karina.
Arumi tersenyum. Sambutan hangat keluarga Aksa membuatnya merasa diterima dalam keluarga itu. Bahkan selama musyawarah tadi, keluarga Aksa tidak ada menyinggung masalah keluarganya yang rumit.
Mungkin keluarga Aksa sudah tahu dan bisa menerima. Mengetahui ini, hati Arumi menjadi semakin hangat. Ia berterima kasih kepada Allah, yang telah mengirimkan orang-orang baik untuknya.
Setelah sholat dzuhur berjamaah di masjid, keluarga Aksa berpamitan. Ramlan dan Arifin mengantar mereka sekalian membawakan mereka oleh-oleh yang sebelumnya telah disiapkan.
“Bagaimana menurut Ayah dan Ibu setelah melihat Arumi secara langsung?” tanya Aksa sambil fokus di kemudi.
“Ayah suka. Sopan, ramah dan menghormati orang yang lebih tua.”
“Ibu juga suka. Tetapi Ibu lihat Arumi itu sedikit tertutup.”
“Tidak hanya tertutup, Bibi! Kak Arumi juga tidak tahu cara mengekspresikan perasaannya. Selama ini Kak Arumi seperti tidak peduli dengan perasaannya.” sela Karina.
Aksa menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang dikatakan Karina. Kemudian ia menjelaskan jika selama ini, Arumi hidup di keluarga patriaki dimana laki-laki lebih unggul dibandingkan perempuan.
Arumi terbiasa menundukkan kepala dan memendam semuanya sendirian, sehingga memupuk rasa rendah diri. Jika Aksa tidak tahu kisah hidup Arumi, mungkin ia akan menganggap Arumi sebagai perempuan yang suka disakiti.
“Kamu harus memperlakukannya dengan baik ke depannya!” kata Ibu Aksa yang diangguki sang ayah.
“Tenang saja, Bu. Aku akan memperlakukannya dengan baik. Untuk apa aku menunggu dan memperjuangkannya selama ini kalau hanya untuk disakiti?” Ibu dan Ayah Aksa menganggukkan kepala mereka termasuk Karina dan kedua orang tuanya yang ikut di dalam mobil Aksa.
Mereka percaya Aksa akan melakukannya karena selama ini Aksa adalah anak laki-laki yang membanggakan.
Sementara itu, Arifin dan Puji yang membantu di rumah Arumi berpamitan karena acara sudah selesai dan mereka juga sudah membagikan Sebagian oleh-oleh kepada tetangga yang membantu.
Arumi dan Ramlan mengucapkan terima kasih. Saat Ramlan menyalami Arifin, ia menyematkan amplop di tangannya. Arifin menolak pemberian Ramlan dengan halus.
“Aku sudah menganggap Arumi seperti anakku sendiri. Kalau kamu seperti ini, aku jadi tersinggung.”
“Tapi kami sudah merepotkan.” Kata Ramlan dengan sungkan.
“Tidak merepotkan. Kita ini keluarga.” Kata Puji yang setuju dengan suaminya.
“Arumi, kalau ada apa-apa, jangan sungkan mengatakannya kepada kami! Kami akan membantu, termasuk persiapan nanti.” Imbuh Puji.
Arumi mengangguk seraya memeluk Puji. Puji memang sudah menjadi sosok ibu bagi Arumi yang tinggal sendiri di desa kelahiran uminya.
“Surat-suratmu nanti aku perbaiki. Begitu jadi, aku akan mengurusnya langsung ke KUA setelah surat dari pihak Aksa satang.” Kata Arifin.
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Nanti kamu juga harus ikut ke KUA.” Arumi mengangguk.
Rumah Arumi kembali sepi setelah semua orang pulang ke rumah masing-masing. Ramlan duduk di ruang tamu dan menikmati puntungnya sedangkan Arumi di kamar membuka oleh-oleh yang Aksa belikan khusus untuknya.
Beberapa saat kemudian, ponsel Ramlan berdering dan memperlihatkan panggilan video dari Siti.
“Assalamu’alaikum, Kang…”
“Wa’alaikumsalam, Dek. Bagaimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik, Kang. Kang Lan sedang ada di rumah Arumi?”
“Iya. Adikmu baru saja dilamar.”
“Benarkah? Bagaimana calonnya?”
“Namanya Aksa, dari Kota Minyak. Cukup tampan dan baik.”
“Aku ingin bertemu Arumi. Apakah bisa?”
“Tentu saja!”
“Aku takut Arumi tidak menerimaku.”
“Tidak mungkin! Adikmu ini sangat baik hati. Ia bahkan tidak kecewa dengan perlakuan Emak dan tetap menganggap beliau sebagai ibu yang sudah melahirkannya.”
“Biarpun dia tidak kecewa, dia pasti tetap merasakan sakit hati, Kang. Aku bisa memakluminya jika Arumi tidak menyukaiku.”
“Sebaiknya kamu dekati adikmu. Aku akan mengirimkan nomornya nanti. Kamu akan tahu setelah kamu mengenalnya.”
Ramlan bertanya apa alasan Siti ingin bertemu dengan Arumi. Siti akhirnya menjelaskan apa yang sudah terjadi di rumah Emak.
Apa yang dikatakan Siti sudah bisa Ramlan tebak karena ia telah mengenal baik sifat keluarganya. Dari semua adiknya, hanya Siti yang memiliki sifat yang sama dengannya termasuk Arumi yang memiliki rasa kepedulian.
Tidak seperti Nana yang mementingkan keuntungannya atau Nani yang ambil aman. Yuni sebenarnya juga memiliki kepedulian, hanya saja belum bisa memutuskan karena masih anak-anak.
Obrolan selesai, Ramlan mengirimkan nomor ponsel Arumi kepada Siti. Ia berharap, di hari Bahagia Arumi nanti Siti bisa hadir mendampingi sang adik bersamanya.
Keesokan harinya.
Ramlan pamit pulang karena ia belum sempat pulang ke rumah.
“Apa istri Kang Lan tidak menyukaiku?” tanya Arumi ragu.
“Kenapa bertanya seperti itu?”
“Kang Lan tidak ada membawanya kemari dan saat terakhir kali aku ke sana mencari Kang Lan, beliau marah dan mengusirku.”
“Dia hanya tidak suka dengan keluargaku yang lain karena mengabaikannya. Jika dia mengenalmu, dia akan menyukaimu.”
“Apa benar begitu?” Ramlan mengangguk.
Arumi tersenyum dan menyalami Ramlan. Ia juga menyiapkan oleh-oleh untuk istri Ramlan. Arumi melambaikan tangannya kepada Ramlan yang kemudian melajukan motornya. Setelah bayangan Ramlan menghilang, Arumi kembali masuk rumah dan menutup pintu.
Tok… Tok… Tok…
Pintu rumah Arumi diketuk dari luar. Arumi yang sedang mencuci di belakang bergegas membukakan pintu.
“Mas Dwi?” sapa Arumi saat melihat Dwi berdiri di depan pintu.
“Assalamu’alaikum, Rum…”
“Wa’alaikumsalam, Mas. Ada perlu apa?”
“Nanti malam ada pertemuan di balai desa. Kalau kamu tidak sibuk, bisa ikut gabung. Seminggu lagi akan ada acara nikahan di rumah Pak Broto, karang taruna akan menjadi sinoman di sana.”
“Maaf, Mas. Kalau malam saya tidak bisa ikut, kalau siang saya bisa.” Tolak Arumi.
Arumi tidak mau membuat orang-orang membicarakannya karena keluar malam sendiri. Meskipun itu untuk mengikuti pertemuan, orang tetap akan mengecapnya buruk nantinya. Lagi pula ia sudah berstatus sebagai tunangan Aksa, ia harus mulai membatasi diri.
Lain cerita jika pertemuan diadakan di rumah kepala desa. Arumi akan ikut karena sungkan jika tidak hadir.
“Kalau jadi sinoman, bagaimana? Apa kamu mau?”
“Kalau pagi sampai siang saya bisa, Mas. Tetapi kalau sampai malam, saya tidak bisa.”
“Baiklah! Aku akan memasukkan namamu nanti. Pagi biasanya mulai dari jam 7 sampai sekitar sebelum asar.”
“Iya, Mas.”
Dwi pamit karena keperluannya sudah tersampaikan. Sebenarnya ia bisa saja mengabari Arumi lewat pesan, tetapi ia justru datang secara langsung karena melewati rumah Arumi.
Seseorang yang melihat dari kejauhan, merasa kesal. Beberapa kali Arumi selalu lolos dari tuduhan karena kepala desa selalu melindungi Arumi. Dan sekarang, Arumi sudah bertunangan masih saja menggoda ketua karang taruna.
“Dasar penggoda!”