"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Bayang-Bayang di Balik Kedatangan Ainun
Senja menggantung muram di atas langit Batupute. Laut Lasonrai mengirimkan deburan ombak yang terdengar seperti ratapan panjang dari dunia yang tersembunyi. Dan di tengah senyap yang menyesakkan itulah, Ainun kembali.
Dengan langkah tenang dan sorot mata yang menyimpan sejuta kisah, ia melangkah masuk ke pekarangan pondok tahfidz Ummu Nafizah. Kabut tipis mengiringi langkahnya, seolah alam pun menyesuaikan diri dengan atmosfer yang Ainun bawa. Aisyah menyambutnya dengan senyum kaku, sedang Khaerul mematung. Dunia serasa berhenti berputar.
"Assalamu’alaikum, Ustadz Khaerul. Sudah lama ya... kita tak bertemu," ujar Ainun, suaranya lembut namun menyimpan getar masa lalu yang tak terselesaikan.
Aisyah hanya menunduk. Tapi matanya menyaksikan, menilai. Ada sesuatu yang berbeda dari perempuan ini. Bukan sekadar masa lalu. Ada hawa yang tak kasat mata namun begitu pekat—semacam energi mistis yang terasa mengusik, tapi tak bisa dijelaskan.
Khaerul menjawab dengan suara berat, "Wa’alaikumussalam. Ya, lama sekali. Tapi tempat ini... bukan tempat untuk mengenang. Ini tempat untuk melangkah."
Ainun tersenyum samar, lalu menoleh pada Aisyah. "Saya datang bukan untuk mengganggu. Saya hanya ingin berjuang bersama. Saya juga punya ilmu. Saya bisa membantu."
Tawaran yang tampak tulus, namun terasa ganjil. Karena sejak Ainun hadir, beberapa kejadian aneh mulai muncul. Lampu-lampu pondok sering mati mendadak, suara adzan terdengar samar di tengah malam, dan beberapa santri mengaku mimpi buruk yang berulang tentang perempuan berbaju putih menatap dari balik jendela.
Aisyah merasakan kecurigaan yang tak bisa dibendung. Dalam doanya yang panjang, ia memohon petunjuk. Dan malam itu, mimpi aneh datang padanya—ia melihat sosok perempuan tua dengan sorot mata merah duduk di atas batu karang di Pantai Lasonrai, memegang kitab kuno berbahasa lontara. Di belakangnya, berdiri sosok Ainun yang tersenyum, namun senyumnya tidak sampai ke mata.
Pagi harinya, seorang santri pingsan usai melihat sesosok bayangan tinggi di ruang wudhu. Ketika siuman, ia hanya berkata, "Dia... berbisik sesuatu. Tentang pengkhianatan. Tentang darah."
Khaerul berusaha tetap tenang, tapi batinnya bergolak. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena Ainun adalah bagian dari masa lalunya yang belum ia tutup rapat. Tapi di sisi lain, sebagai pemimpin pondok, ia tak bisa membiarkan kehadiran siapa pun mengganggu ketenangan.
Aisyah mulai mengamati Ainun. Ia menyadari bahwa perempuan itu kadang berbicara sendiri, atau menatap langit terlalu lama, seakan mendengarkan suara dari dunia lain. Bahkan, saat azan dikumandangkan, Ainun sesekali terlihat gelisah.
Sebuah malam, petir menyambar pohon besar di dekat pondok. Setelahnya, mereka menemukan seekor kambing milik warga mati dengan mata terbuka dan lidah terjulur, seolah melihat sesuatu yang sangat menakutkan.
Desa kembali geger.
"Ini bukan hal biasa," ujar seorang kakek tua, mantan dukun kampung yang kini telah bertaubat. "Ada sesuatu yang ikut bersama perempuan itu. Dan itu bukan manusia."
Aisyah memberanikan diri mendekati Ainun, mencoba bicara dari hati ke hati. Tapi Ainun malah menjawab dengan tenang, "Kau tak tahu seberapa gelap masa lalu suamimu. Kau hanya tahu cahaya, tapi tak tahu siapa yang dulu memeluk bayangannya."
Kata-kata itu menghantam Aisyah seperti badai. Tapi ia tak goyah. Malam itu, ia bangun lebih awal, bertahajud sambil menangis. Dan dalam tangisnya, ia bermimpi melihat seorang perempuan tua—sama seperti dalam mimpinya dahulu—membakar kitab lontara sambil berkata, "Rahasia harus dijaga dengan darah."
Pagi itu, Khaerul akhirnya bicara. Kepada Aisyah. Tentang masa lalu. Tentang cinta yang kandas karena jalan dakwah. Tentang janji yang terpaksa diingkari. Ainun dulunya seorang murid cerdas, yang bersumpah akan menunggu Khaerul selamanya. Tapi waktu tak menepati harapannya. Dan kini ia kembali, bukan hanya sebagai bayang-bayang, tapi sebagai ujian.
"Dia menyimpan luka yang dalam, dan kadang luka yang tak sembuh... menjadi jembatan bagi sesuatu yang lebih gelap untuk masuk," ujar Khaerul.
Aisyah menatap suaminya, air mata menetes. "Kita tidak bisa mengusir masa lalu. Tapi kita bisa menutup pintu-pintu gelapnya dengan cahaya."
Dan malam itu, mereka mengadakan dzikir akbar. Semua santri, masyarakat, dan bahkan beberapa tokoh adat hadir. Mereka membaca Al-Qur'an dan shalawat hingga dini hari.
Ainun muncul di tengah acara, berdiri diam di pinggiran. Ketika dzikir mencapai puncaknya, tubuhnya tiba-tiba menggigil. Ia jatuh pingsan, dan dari bibirnya meluncur suara asing—seperti bahasa Bugis kuno yang telah lama hilang.
"Aku adalah penjaga rahasia. Tak semua harus dibuka. Tapi cinta yang dibakar... bisa menimbulkan bara yang membakar seluruh desa."
Seorang ulama tua maju, membaca doa ruqyah. Setelah beberapa menit, Ainun siuman. Tapi kali ini ia menangis. Tangis dalam. Tangis yang melepaskan beban bertahun-tahun.
"Aku... hanya ingin dikenang. Tapi cinta tak bisa dipaksakan," katanya lemah.
Pagi harinya, Ainun pamit pergi. Ia tidak membawa apa-apa kecuali secarik kertas lusuh—surat yang ia tulis sendiri, yang akhirnya ia bakar di Pantai Lasonrai sebelum menaiki perahu kecil.
Dan laut kembali tenang. Kabut mulai berkurang. Tapi semua tahu, misteri belum sepenuhnya selesai. Sebab di batu karang tempat perempuan tua itu duduk dalam mimpi Aisyah, kini terlihat ukiran aneh yang tidak pernah ada sebelumnya.
Sebuah tanda bahwa dunia spiritual belum benar-benar menutup tabirnya.
Malam itu, langit seperti jubah hitam yang melilit bumi. Angin dari laut Lasonrai menerpa daun-daun kelapa dengan desir berbisik, seolah membawa kabar dari dunia yang tak kasat mata. Pondok Tahfidz Ummu Nafizah sedang dalam suasana sunyi yang mendalam. Cahaya bulan separuh tertutup awan, memantulkan kilauan redup di atas atap-atap seng yang lembap.
Aisyah duduk di ruang depan pondok, memandangi nyala pelita kecil yang mulai meredup. Tubuhnya masih lemah pasca melahirkan, namun matanya menyimpan keteguhan yang tak mudah retak. Di seberangnya, Khaerul tampak diam, memutar tasbih dengan tatapan kosong ke luar jendela.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar derap kaki yang lembut, namun pasti. Seorang perempuan muncul di pelataran pondok. Langkahnya anggun, pakaiannya serba putih, dan matanya menyiratkan luka yang dalam. Perempuan itu berdiri beberapa saat, lalu mengucap salam dengan suara yang menggema lembut, namun terasa menggetarkan jiwa.
"Assalamu’alaikum..."
Aisyah bangkit pelan, membalas salam, namun tubuhnya gemetar. Begitu pun Khaerul. Wajahnya pucat seperti kehilangan darah. Dalam detik-detik yang seperti membeku, Khaerul akhirnya bersuara.
"Ainun...?"
Perempuan itu tersenyum pilu. "Iya, Kak. Aku kembali. Tapi bukan untuk merebut apa pun... aku hanya ingin mengembalikan yang seharusnya kembali."
Aisyah menunduk. Ada getaran yang aneh di dadanya. Bukan hanya karena kecantikan Ainun yang tampak bersinar dalam gelap, tapi karena hawa dingin yang mengikutinya. Ruang seketika bergetar dengan bisikan gaib, dan pelita padam seketika.
"Apa maksudmu, Ainun?" suara Khaerul bergetar.
Ainun menghela napas panjang. "Aku tak mati, Kak. Tapi aku pernah berada di ambang dunia yang lain. Antara hidup dan mati. Dunia yang disebut para leluhur kita sebagai Biring Nennia, batas antara alam dunia dan gaib."
Aisyah merasa napasnya tercekat. Dingin mulai menyusup ke kulitnya. Ainun duduk perlahan di tikar, dan mulai menceritakan kisahnya.
"Waktu itu, saat aku hilang dari pesantren kita, semua mengira aku diculik. Tapi sesungguhnya, aku didekati oleh seseorang... oleh Pak Samad. Ia tahu darah keturunan kakekku berasal dari garis keturunan Parakang. Ia ingin mengambilku sebagai perantara."
Khaerul menggeleng pelan. Matanya basah. "Jadi benar... Pak Samad bukan sekadar tokoh adat."
Ainun mengangguk. "Dia adalah pewaris terakhir ilmu Parakang, dan dia ingin menurunkan itu padaku. Tapi aku menolak. Aku melawan, hingga tubuhku terbaring tak bernyawa. Tapi jiwaku belum pergi. Aku mengembara... dan aku melihat banyak hal, Kak. Banyak hal yang seharusnya tidak dilihat manusia."
Aisyah kini menangis. Suasana makin tegang. Lampu petromax yang baru dinyalakan mendadak padam, dan suara burung hantu terdengar dari pohon randu di belakang pondok.
"Malam ini," lanjut Ainun, "aku kembali bukan untuk tinggal lama. Tapi untuk memperingatkan. Masih ada kekuatan yang belum padam. Kitab tua yang pernah Khaerul temukan di gua Lasonrai—itu bukan sekadar kitab. Itu adalah segel. Jika dibuka dengan tidak tepat, maka..."
Tiba-tiba bumi bergetar. Tanah di sekitar pondok seperti berdenyut. Anak-anak santri yang tidur di asrama terbangun. Aisyah berlari ke kamar mereka meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Khaerul dan Ainun saling berpandangan, lalu keluar ke halaman.
Di kejauhan, sosok tinggi berambut putih berdiri di puncak bukit kecil. Cahaya bulan kini menerangi wajah itu. Pak Samad. Namun wajahnya tak lagi manusia sepenuhnya. Matanya merah, kulitnya bersisik samar, dan di tangannya, tergenggam lembaran kitab tua yang tercabik.
"Sudah kubilang... jangan lawan aku, Khaerul! Ini sudah takdir dari leluhur kita!" teriaknya.
Ainun berdiri tegak. "Aku tak akan membiarkanmu menyesatkan siapa pun lagi, Pak. Ini bukan tentang darah atau warisan gaib. Ini tentang nurani dan kebenaran."
Pak Samad mengangkat tangan. Langit bergemuruh, dan petir menyambar pohon di dekat pondok. Suara tangis santri kecil terdengar dari dalam. Aisyah menggenggam mushaf dan mulai melantunkan ayat Kursi dengan suara gemetar.
Dalam kegentingan itu, Khaerul meraih tangan Ainun dan berdoa keras. Doa yang mereka ucapkan bukan hanya dari lisan, tapi dari kedalaman jiwa yang telah ditempa oleh luka, cinta, dan keimanan.
Tiba-tiba, cahaya terang menyambar dari langit. Petir yang menyala menimpa tanah di antara mereka dan Pak Samad. Sosok itu terpental, menjerit, lalu menghilang dalam kabut malam. Lembaran kitab tua terbang ke udara dan mendarat di kaki Khaerul, terbuka pada halaman bertuliskan:
"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda kebesaran Kami..."
Suasana mendadak hening. Tak ada lagi bisikan gaib. Tak ada suara angin menderu. Hanya tangis Aisyah yang pecah ketika ia mendekap bayi mereka erat-erat. Ainun menatap mereka dengan mata berkaca-kaca.
"Aku harus pergi lagi. Tapi kalian harus teruskan cahaya ini. Pondok ini akan jadi cahaya yang mematahkan kegelapan masa lalu."
Khaerul mencoba menahan, tapi Ainun hanya tersenyum. Dalam sekejap, tubuhnya lenyap seperti debu diterpa cahaya fajar.
Malam itu, babak baru dimulai. Bukan hanya tentang dakwah, tapi tentang menjaga cahaya dari dalam dan luar. Karena kini, mereka tahu... musuh yang sejati bukan hanya mereka yang terlihat, tapi juga yang tersembunyi dalam kabut sejarah dan darah.