Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kotak bekal
“Ibu, Amel pamit dulu ya. Nanti kalau ada waktu Amel sama Abang main lagi ke sini.”
“Iya, neng. Hati-hati di jalan ya. Kalau ke sini kasih kabar dulu biar ibu masakin buat kamu. Jangan kamu yang masak nanti luka lagi.”
“Gak apa-apa kok, Bu. Ini gak sakit.”
“Gak sakit apanya? Kamu nangis kayak orang ketiban duren palanya.” Rehan menggoda Amelia.
Gadis itu tidak sungkan memeluk tubuh kurus ini Harlan. Dengen lembut ibu membalas dan mengusap punggung serta belakang kepala Amelia.
“Hati-hati ya, Neng.”
“Iya, Bu.” Amelia mencium punggung tangan ibu.
“Pamit ya, Kak.” Amelia mencium punggung tangan Harlan.
“Pake jaket yang bener. Kasian Rehan kerepotan ngurusin kamu nanti.”
“Biarkan saja dia tersiksa. Suka kok liat dia menderita.”
Harlan tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Amel dan Rehan saling menyayangi tetap selalu saja bertengkar di setiap moment.
Setelah bertukar motor, Rehan dan Amelia pun pergi.
“Ibu, inget ya. Dia Amelia bukan rembulan.”
“Iya, ibu juga tahu. Jika saja rembulan masih hidup, mungkin Amelia dan rembulan seumuran ‘kan?”
“Iya, Bu. Ayo kita masuk. Makin sore makin dingin di luar. Nanti Ibu sesak nafas lagi.”
Harlan merangkul pundak ibunya untuk kembali ke dalam rumah. Baru saja mereka melangkahkan kaki beberapa langkah, mereka kembali menoleh setelah mendengar suara seseorang.
“Aa,” panggilnya.
Seorang gadis cantik bertubuh tinggi agak gemuk, tersenyum begitu manis.
“Ibu masuk duluan ya.”
“Iya, Bu.”
Ibu masuk, sementara Harlan kembali duduk di tepian teras. Dia ditemani gadis cantik bernama Diah.
“Pulang gak bilang-bilang, A.”
Harlan menoleh, lalu tersenyum tipis. Kepalanya menunduka sekilas, lalu kembali menoleh pada gadis itu.
“Diah, hubungan kita sudah lama berakhir.”
“Tadi itu temen-temen aa ya?” Diah mengalihkan pembicaraan. Hatinya mulai bergetar mendengar ucapan Harlan. Baginya, dia dan Harlan masih tetap menjadi pasangan yang seharusnya menikah tahun lalu. Tidak ada pengganti dan tidak akan pernah terganti.
“Udah sore, lebih baik kamu pulang. Dari sini ke rumah harus melewati kebun, takut kalau nanti kemalaman.”
“Kan biasanya juga dianter sama kamu, a. Tidak ada yang aku takutkan di dunia ini jika ada kamu.”
“Sudah cukup, Diah. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini?” Bisik Harlan lembut. Meski kesal, tapi hari Harlan tidak punya kekuatan untuk membentak gadis yang pernah menjadi calon istrinya itu.
“Sampai aku melihat kamu menikah. Di saat itulah aku percaya kalau kamu bukan jodoh aku.”
“Diah, banyak pria yang lebih baik dari aku. Mungkin mereka lebih mencintai dan menginginkan kamu.”
“Tapi aku maunya kamu.”
“Diah, cukup ya . Aku—“
“Aku tidak akan memaksa kamu menerima aku kembali. Cukup kamu biarkan aku menyimpan rasa ini. Seperti yang aku katakan. Menikah lah dengan orang lain, maka aku akan berhenti.”
Tanpa menunggu Harlan berbicara lagi, wanita itu segera melangkahkan kaki menjauh dari rumah Harlan.
Dengan kasar Harlan mengacak rambutnya. Kepalanya terasa berdenyut kuat. Inilah alasan kenapa Harlan selalu enggan pulang ke rumah setiap liburan. Dia akan mencari teman yang sudi mengajak dia pulang.
DI TEMPAT LAIN
“Seriusan kamu gak pusing Dan muntah-muntah, Dek?” Tanya Rehan pada Amelia saat mereka istirahat di sebuah mini market.
“Entahlah, rasanya biasa aja, sih.”
“Syukurlah, aku udah mikirnya berat banget ngebayanhin kamu muntah kayak awal kita berangkat.”
“Seru ya di kampungnya kak Harlan. Udaranya sejuk. Beda banget sama yang sedang kita hirup sekarang.”
“Udaranya atau apanya nih yang bikin kamu seger.”
“Apaan sih, Bang. kayak boleh aja kalau aku deket sama kak Harlan.”
“Jangan.”
“Tuh, ‘kan? udah dari awal aku yakin dan tahu kalau abang pasti gak bakalan ngizinin. Malah aja ngecengin adek. Kenapa? Karena dia orang miskin?”
“Dia bukan orang miskin, adek.”
“Terus? Eh, tapi kan rumahnya jelek.”
“Kamu gak liat perabotan di rumahnya? Itu mahal semua, dek. Barang antik itu.”
“Mana adek ngerti. Intinya kalau emang gak setuju aku deket sama kak Harlan, gak usah godain. Aku takut baper dan—“
“Dia udah punya calon istri, dek.”
Amelia terdiam. Dunia yang berisik ini tiba menjadi sunyi sepi baginya. Perasaan hangat dan bahagia yang entah apa sebabnya, menjadi hilang seketika tanpa sebab juga.
“Ada gadis sana yang sejak lama menjadi kekasihnya, dan mereka sudah bertunangan. Entah kapan mereka akan menikah. Mungkin nanti setelah wisuda.”
Menikah?
“Udah mulai gelap, ayo kita cari mushola.”
Amelia mengekor seperti anak bebek mengikuti induknya. Dia berjalan seperti robot yang melakukan aktivitas sesuai prosedur.
Setelah melaksanakan solat magrib, mereka kembali melakukan perjalanan. Semangat Amelia yang awalnya full, seperti tersedot entah ke mana.
Bahkan sesampainya di rumah, dia hanya bersalaman pada orang tuanya, lalu masuk ke dalam kamar. Membersihkan diri, lalu memejamkan mata meski rasanya sangat sulit.
Gadis itu tertidur dengan perasaan gamang dan hampa.
Alarm berbunyi saat waktu menunjukkan pukul 04.30 wib. Bangun, solat, mandi, lalu bersiap-siap untuk pergi sekolah di hari Senin.
“Dek, papa boleh tanya?”
“Boleh, Pa. Ada apa?”
“Dari kemarin setelah kamu pulang dari rumah Harlan, kenapa kamu murung terus? Ada apa, Nak?”
“Nggak ada apa-apa, Pa. Papa, mumpung abang di rumah, boleh gak abang yang antar jemput adek.”
“Abang sih ayo aja.”
“Oke, gak apa-apa.”
Setelah sarapan selesai, Amelia pamit pada orang tuanya. Dan pergi sekolah setelah Ira memberikan bekal.
“Banyak amat bekal kamu, Dek.”
“Berbagi.”
“Sama?”
“Temen lah. Ada temen aku yang kalau sekolah gak bawa uang dan bekel juga. Jadi aku suka ajak dia makan bareng.”
“Uhhtututu … baik banget my princess.” Rehan mencubit kedua pipi adiknya.
“Ihhhhh aku udah pake skin care, abaaang!”
Rehan tertawa sambil mengucek rambut Amelia, membuat gadis kecil itu semakin marah dan menginjak kaki abangnya.
Setelah memakai helm, mereka berdua naik, lalu mulai pergi keluar dari halaman rumah.
Sepanjang perjalanan, Rehan terus saja menggoda adiknya. Dia sangat suka jika Amelia marah dan wajahnya mengkerut.
“Jangan lupa jemput jam satu. Jangan telat!,” titah Amelia setelah mereka sampai di depan gerbang sekolah.
“Siaaappp!”
“Awas ya, beneran nih.”
“Bawel!”
“Abaaaang!” Amelia berteriak saat Rehan menubit pipi adiknya yang gembil.
Amelia berjalan menuju gerbang sekolah, dari jalan raya menuju gerbang sekolah memiliki jarak kurang lebih 10 meter. Saat Amelia sedang asik berjalan, tiba-tiba tas nya di tarik dari belakang sampai dia terjatuh.
“Rin, ih!”
“Apa? Gak terima bekal lo jatuh dan tumpah? Kenapa? Masi ngasih pakan buat temen kesayangan lo itu?”
“Dia bukan hewan, Rin.”
“Sama. Sama-sama gak guna dan gak punya otak. Udah tau orang miskin, malah berani deketin lo dan bikin lo gak mau gabung sama circle gue.”
Amelia mencoba merapikan bekal makan yang sudah tidak layak lagi untuk dimakan.
Gadis itu terkejut saat tepak makanannya terpental jauh. Dia menengadah dan melihat Rehan berdiri di sana.
“A-abang Rehan?”
“Sekali lagi kamu menyakiti Amel. Akan aku adukan bagaimana buruknya perangai kamu di sini.”
“Ja-jangan, Bang. Plisss, jangan kasih tahu ayah aku.”
“Minta maaf dulu!” Bentak Rehan sambil menunjuk ke arah Amelia. Dengan muka kesal, dia minta maaf pada Amelia dan pergi begitu saja.
Adeuuuuh. Ini mah di kelas pasti aku jadi bahan olok-olok dia lagi. Ck!