Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.Istana Tanpa Pintu
Fajar menyalakan Jakarta pelan-pelan, tetapi matahari enggan menembus gumpalan awan kelabu. Aku pulang ke apartemen ketika langit masih biru pudar, rambut lepek oleh sisa hujan dan hati terguncang ultimatum delapan jam. Kotak Hello Kitty di dalam tas bergetar seolah memiliki detik sendiri—detik menuju keputusan yang akan memenggal masa laluku atau masa depanku.
Di dapur, Kalea menunggu dengan mug kopi instan yang telah dingin. Mata bengkak, hidung sembab—ia mungkin tak berkedip sejak aku keluar semalam.
“Aku menunggu sampai pukul sepuluh,” suaranya serak, “sekarang hampir enam pagi.”
Aku melepaskan jas hujan tipis, menaruhnya di sandaran kursi, lalu duduk di hadapannya. Ponselku tergeletak di meja—ia menyimpannya semalaman, mungkin agar aku tak menjawab pesan apa pun dari Tristan.
“Dia melamarku,” ucapku, jujur sekaligus sekarat.
“Kau menolak,” tebak Kalea—lebih berharap daripada yakin.
“Aku… belum menjawab.” Jemariku saling mengatup, bergetar. “Batas waktu sampai pukul delapan.”
Hening jatuh seperti debu kaca. Kalea meletakkan mug, menatapku, seakan mengukur apakah Aurora yang ia kenal masih duduk di depannya atau sudah diganti boneka.
“Kalau kau bilang tidak,” katanya perlahan, “dia akan menghancurkan hidupmu di media—aku tahu skenario itu.”
Aku mengangguk. “Dan kalau aku bilang ya… mungkin aku menghancurkan hidupku sendiri.”
Kalea mengembus napas panjang. “Jadi apa rencanamu, Rora?”
Aku memejam mata; di gelap sekejap itu kulihat dua jalan: satu menuju sangkar emas berisi badai, satu menuju bebas tapi berdarah. Ketika kubuka mata, ku ulang paling jujur:
“Aku akan berkata ya.”
Mug Kalea terjatuh; kopi mengalir di serat kayu, menggenangi lenganku—namun kami tak bergerak membersihkannya.
“Kau menerima?” suaranya hampir tak terdengar.
“Pura-pura menerima,” koreksi ku, meski detak jantungku ragu seberapa pura-pura keputusan ini. “Aku masuk sarangnya, cari celah. Kalau dia mengurungku, aku tahu dindingnya terbuat dari apa. Kalau dia main kotor, ku bungkus buktinya. Aku tidak lari… aku menyusup.”
Kalea menutup wajah dengan telapak tangan. “Bagaimana kalau dia menebas sayapmu sebelum kau terbang?”
Aku membuka kotak Hello Kitty. Kontrak suci lusuh kami terlipat di dalamnya—tinta biru pudar, janji yang dulu lebih sakral daripada hukum negara.
“Ini jantungku,” bisikku, memutar kertas agar nama kami terlihat. “Jika aku melanggar sampai tak bisa kembali… bakar ini. Anggap aku mati.”
Kalea menatap lembar itu, kemudian menatapku. “Kau minta restu atau surat izin mati?”
“Keduanya,” sahutku getir. “Dan aku butuh penjaga pintu. Kalau kukirim pesan tiga titik, artinya aku benar-benar dikurung. Kau mulai operasi penyelamatan—apa pun caranya.”
Ia terdiam lama sebelum mengangguk kecil. “Kau hanya boleh minta diselamatkan sekali. Tak ada cadangan.”
“Satu kali saja sudah mewah.”
Menjelang siang kami tiba di kantor catatan sipil Menteng yang sunyi bak perpustakaan. Hanya pegawai berseragam cokelat, saksi notaris bawaan Tristan, dan kami—dua orang yang menandatangani pernikahan dengan tangan dingin. Cincin emas putih bertatah batu bulan melingkari jariku, terasa terlalu besar untuk kulit yang masih berdebar.
Di luar, Kalea menunggu di halte, ponsel di tangan. Aku tak sanggup menatapnya ketika sedan hitam berhenti di depanku, tetapi kupijit paha tiga kali—kode aku masih bernapas.
Sedan melaju menuju rumah keluarga Dirgantara. Tristan menggenggam tanganku di jok belakang; tangannya panas, tanganku es. Ia menatap wajahku lalu berbisik, “Kau akan terbiasa.”
Aku tak yakin terbiasa adalah kata yang menenangkan.
Malam itu Clarissa—ibu tiri Tristan—mengadakan makan malam “keluarga” untuk menyambut istri baru putra tirinya. Meja sepuluh kursi, lilin ramping, perak berkilat. Aku duduk di samping kiri Tristan; di seberang ku , di ujung adik tiri Tristan dengan gawai dan tatapan sinisnya. Ayah tiri Tristan, kata Clarissa datar, masih di luar negeri.
“Pernikahan buru-buru,” komentar Clarissa pada suapan pertama, “biasanya berarti calon mempelai menyembunyikan sesuatu.”
Tristan meletakkan pisau daging lembut, suaranya baja. “Biasanya berarti calon mempelai tak mau menghamburkan uang keluarga untuk pesta tak penting.”
Clarissa tertawa tipis. “Uang keluarga ini sudah hidup empat generasi. Satu pesta takkan membuat kami miskin. Tapi mungkin—” matanya menikam ke arahku, “—membuat beberapa orang syok budaya.”
Aku menyeka bibir dengan serbet. “Syok terbesar saya justru datang dari ketulusan sambutan Ibu.”
Aurora membentuk senyum kecil. Clarissa meneguk anggur tanpa berkedip.
Usai makan, Tristan mengajakku ke beranda. Lampu taman kuning lembut membasuh aroma kenanga.
“Kau melewati ujian pertama,” katanya.
“Hanya menahan lidah,” balasku. “Lidah terbiasa menjilat luka sendiri.”
Ia memandangku lama. “Aku akan melindungi mu dari mereka kalau mereka melewati batas.”
Aku tersenyum miring. “Siapa yang melindungi ku darimu?”
Tristan menelisik nyaliku. “Aku tak tahan terluka lagi karena kehilangan. Jadi aku melindungi apa yang kucinta dengan cara paling efektif.”
“Kekuasaan,” bisikku.
“Dan kedekatan.”
Ia menyentuh pipiku; sentuhan yang seharusnya menenangkan justru menyalakan alarm. Aku teringat kotak Hello Kitty di laci kamar tamu—tombol tiga titik jika segalanya runtuh.
“Aku lelah,” pamit ku. “Hari ini terlalu panjang.”
“Aku antar.”
Ruang tamu tamu di lantai dua—besar, balkon pribadi, lemari pakaian penuh gaun mahal. Sebelum menutup pintu, Tristan mencium keningku. “Panggil aku kalau kau takut.”
Ketika langkahnya menjauh, aku merebah di ranjang. Lampu kristal di langit-langit memecah cahaya menjadi serpihan pelangi—indah, palsu, rapuh.
Aku menyalakan ponsel, menulis kepada Kalea:
Aku sudah di dalam istana. Dinding emas. Kunci belum terlihat. Aku masih utuh.
Ku matikan layar, menyembunyikan ponsel di bawah bantal.
Malam bergulir tanpa tidur. Aku mengingat mata Marsha, gosip di ponsel Clarissa, tangan panas Tristan, dan kontrak suci di laci.
Berapa lama aku bisa pura-pura jadi ratu di papan catur ini? Satu langkah salah, dan sandiwara berubah menjadi perang—perang yang menuntut harga lebih mahal daripada keperawanan, lebih dalam daripada rasa bersalah, dan lebih tajam daripada cincin batu bulan di jariku.
.
.
.
Bersambung