Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Jejak
Malam itu, sesak tak lagi tertahan di dada Rendi , Setelah sekian lama membungkam luka yang tertimbun, malam itu akhirnya ia ucapkan juga perasaannya pada sang Ayah.
Namun bukan pelukan yang didapat,melainkan tamparan yang keras, membekas di pipi, membelah hatinya jadi dua.
Sejak kecil, ia belajar menahan kecewa , tapi malam itu… ia hanya ingin didengar,bukan dihakimi.
Pagi datang terlalu cepat mungkin karena ia baru bisa memejamkan mata pukul tiga dini hari. Meski lelah menggantung di pelupuk mata, tubuhnya menggigil letih,
Rendi tetap bangkit, berdiri,berpakaian rapi dan melangkah ke kantor seolah tak ada apa-apa yang pecah semalam.
Beberapa rapat penting ia jadwal ulang.Bunga, seperti yang ia duga, tak datang ke kantor hari itu . Namun perlu dicatat:
perhatian Rendi padanya tak lebih dari kepedulian sesama manusia. Tak pernah lebih dari itu dan tak akan.
“Pak, pembukaan proyek Yogyakarta minggu depan,” ucap Kepala Bagian Perencanaan.
Rendi hanya mengangguk,tanpa satu patah kata pun. Ruangan terasa kaku,karena dalam sembilan tahun bekerja bersama,baru kali ini Pak Rendi terlihat seperti seseorang yang memikul dunia di pundaknya.
Hari itu, Rendi memutuskan pulang lebih awal.Atau mungkin,lebih tepatnya menyerah pada gelisah Ada yang ingin ia akhiri.Ada yang ingin ia peluk kembali cinta yang lama, rumah yang sempat ditinggalkannya.
Ia mencarinya ke tempat Ayu dan Bela. sahabat-sahabat Alisya . Namun kosong. Tak ada jejak istri dan anaknya. Gusar mulai mencubit dada. Dengan langkah tak pasti, Rendi akhirnya tiba di rumah ibu mertua.
Rumah Ibu mertua yang baru ia kunjungi 2 hari lalu aamai tawa pelanggan dan harum kain baru.
Dari kejauhan, sang ibu melambaikan tangan, tersenyum hangat seperti mentari sore.
“Loh, kok sendiri?” tanyanya sambil mendekat, mata mencari sosok Alisya dan Rasya di balik kaca mobil.
“Alisya? Rasya mana?” Tanpa kata, Rendi memeluk ibu mertuanya,
erat, seperti memeluk ibunya sendiri , tahu, pelukan ini bukan pelarian, melainkan permohonan maaf yang tak mampu ia ucapkan.
Sang ibu mengerti, bahkan sebelum penjelasan terucap. Ia mengajak Rendi masuk ke dalam rumah sebuah ruang kecil yang kini hanya berisi dua orang seorang laki-laki yang kehilangan arah, dan seorang ibu yang siap menjadi tempat bertanya.
“Ke mana Alisya? Tidak ikut ke sini?” tanya Ibu sambil menyodorkan segelas air putih ke tangan Rendi yang masih menggigil oleh gelisah.
Rendi menerima gelas itu dengan kedua tangan yang berat. Airnya bening, tapi tak mampu menjernihkan keruh di hatinya.
“Aku juga sedang mencarinya, Bu,” jawabnya pelan.
Suara itu seperti desir angin di musim kemarau—kering dan getir.
Dahi Ibu Alisya berkerut.
Kecemasan mulai tumbuh di wajah yang biasanya hangat dan penuh sabar.
“Ada apa dengan kalian? Kemarin lusa kalian datang ke sini dalam keadaan baik-baik saja… kenapa tiba-tiba seperti ini?”
Nada suaranya naik setingkat, penuh gelisah.
Namun bukan marah—lebih kepada takut akan jawaban yang tak ingin ia dengar.
Rendi menghela napas panjang. Menatap kosong ke dinding rumah itu—tempat banyak kenangan tertinggal.
“Aku… menikah lagi, Bu.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke dalam sumur yang sunyi. Pelan, namun mengguncang hingga ke dasarnya.
“Alisya pergi karena aku menikah lagi.”Singkat. Tanpa alasan. Tanpa pembelaan.
Karena tak ada kalimat yang cukup layak untuk menghapus luka dari pengkhianatan.
Mata Rendi terpejam. Ia menanti tamparan, atau mungkin makian.
Namun yang datang justru sunyi. Dan suara ibu yang bergetar pelan.
“Astagfirullah… Rendi… Ren… Kapan?”Suara itu pecah.
“Sejak kapan? Kenapa?” Sontak tangan Ibu menekan dadanya. Seolah mencoba menahan beribu tanya yang tiba-tiba menyerbu.
“Empat bulan yang lalu…” Suara Rendi nyaris tak terdengar.“Gak tahu, Bu. Aku pun… benci keputusanku saat itu.”
Ibu Alisya terdiam.
Matanya menatap lurus ke ruang depan ruang kecil yang ia jadikan butik pakaian.
Di sanalah Alisya sering duduk, membantu menata rak-rak kain sambil bercanda.
Bayang wajah putrinya mengapung dalam ingatan.
Wajah yang tak pernah meminta lebih, hanya ingin dicintai dengan jujur.
“Anakku… Alisya…” gumamnya.
Pelan. Penuh iba.Seolah nama itu sendiri sudah cukup untuk menjatuhkan air mata.
Rendi mendekat, duduk di hadapan perempuan yang pernah ia panggil ‘Ibu’ bahkan sebelum ia menikahi Alisya.
“Bu…”Suaranya serak.
“Aku nggak mau kehilangan Alisya. Aku cinta dia… aku benar-benar cinta.” Kata-kata itu runtuh bersama air matanya.
Bukan hanya karena cinta yang hampir hilang, tapi karena penyesalan yang datang terlambat seperti senja yang ingin kembali jadi pagi.
Ibu Alisya tak menjawab. Hanya memejamkan mata, menahan sesak di dadanya. Di antara diam dan air mata, hanya satu yang pasti:
seorang ibu sedang patah hati untuk anak perempuannya
Ibu Alisya terdiam.Dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.
Suara obrolan pelanggan di butik depan mendadak menjauh, menghilang bersama denyut nadinya yang pelan-pelan tak beraturan.Matanya menerawang kosong ke arah pintu toko tempat Alisya biasa berdiri sambil menyambut pelanggan dengan senyum hangatnya.
Kini pintu itu tertutup rapat, seperti hatinya yang mendadak sesak oleh kabar buruk ini.
“Anakku… Alisya…” gumamnya,
seakan nama itu saja cukup untuk mengguncangkan seluruh isi jiwanya.
Ada getar di suara itu lirih namun menyayat, seperti doa yang patah di tengah jalan.Ia menyandarkan tubuh pada sisi sofa,tangannya refleks menekan dada kirinya.
“Ya Allah…” bisiknya lirih,
udara seolah menolak masuk ke paru-parunya.Tak ada amarah yang meledak, karena luka semacam ini tak perlu teriakan cukup sunyi untuk membuat hancur.
Air mata menetes perlahan, tapi ia usap cepat, seolah tak ingin Rendi melihatnya rapuh.
Namun sorot matanya tak bisa berdusta.Tatapan itu bukan hanya kecewa… tapi hancur.
“Dia anakku, Ren…”Suaranya gemetar, seperti ingin menangis namun tertahan.
“Sejak kecil, Alisya tak pernah meminta lebih.Tak pernah protes saat dunia tak berpihak padanya.Ia mencintaimu dengan seluruh sisa percaya yang ia punya. Lalu hari ini… kau balas dengan luka seperti ini?”
Ia menarik napas panjang,namun dadanya seolah tak memberi ruang untuk itu.
“Kau tahu betapa sulitnya aku membesarkan dia sendirian?Setiap malam aku berdoa, agar lelaki yang mencintainya adalah lelaki yang setia . tidak seperti ayah nya ibu u kira itu kamu, Ren…”Suaranya pecah.
“...Ibu kira kamu.” Rendi menunduk, menahan tangis yang nyaris meledak.
Tapi sang Ibu belum selesai.“Ketika kamu masuk ke keluarga kami, aku menerimamu seperti anak sendiri. Tapi luka yang kau beri ke Alisya… itu terlalu dalam, Ren. Lebih dari sekadar pengkhianatan. Kau telah meruntuhkan rumah dalam hati anakku yang selama ini ia bangun dengan sabar.” Lalu ia diam Bibirnya bergetar, namun ia tak berkata apa-apa lagi Hanya matanya yang terus menatap kosong, ke arah pintu toko,seakan berharap Alisya akan pulang, membuka pintu dan tersenyum seperti biasa. Namun yang datang hanya sunyi.
Dan di antara sunyi itu hati seorang ibu sedang pecah bukan karena menantu yang bersalah, tapi karena cinta anaknya tak lagi punya rumah.