Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Gaza Terdesak
Gaza sedikit berlari menuju ruangan Nala, tekadnya sudah bulat untuk berusaha berubah mencintai Nala. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Nala. seharusnya tak sulit untuk menumbuhkan semua perasaan itu. Tanggung jawab juga butuh cinta dan perhatian di dalamnya. Ia tau ini memang amanah, tapi dirinya memilih Nala dengan kesadaran penuh, harusnya ia tak menyakiti Nala sedalam ini.
“Nala…” panggil Gaza.
Langkahnya terhenti saat memasuki ruang perawatan Istrinya. Suasana hening, semua mata tertuju ke arahnya. Ada keluarganya dan juga keluarga Nala. Entah kapan mereka datang, mungkin saat Gaza berada di luar ruangan.
“Istri sakit malah diam di taman,” ujar Zanna sinis.
Tatapan adiknya itu sukses membuat Gaza terkejut, jika Zanna melihat dirinya di taman tentu adiknya juga tau dengan siapa Gaza duduk di taman tadi.
“Kakak cuman mau cari udara segar saja,” jawab Gaza sembari berjalan mendekat ke arah Nala.
“Oh, udara segar. Kirain udaranya cantik.” Zanna kembali menyindir.
Gaza tak menanggapi ia mengamati ekspresi Nala yang biasa saja, seolah tak terusik. Gaza tau, Nala mengerti maksud dari sindiran Nala. Tidak hanya Nala, semua orang bahkan menatapnya penuh selidik terlebih Tante Laras.
Gaza mendekat ke arah mertuanya dan Tante Laras, ia menyalami keduanya sebelum duduk di samping Nala.
“Dokter bilang Nala sakit apa, Za?” tanya Maya. Ibunya itu sibuk membuka buah untuk Nala.
“Keracunan makanan.” Gaza menjawab apa adanya.
Puspa mengerutkan keningnya, ia melirik ke arah Nala. “Kamu habis makan apa?” tanya Puspa sedikit kesal.
Zanna memalingkan wajahnya, ia berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya.
“Gara-gara cucu perempuan Nenek.” Bukan Nala yang menjawab, tetapi Gaza. “Suruh belajar masak, takutnya kalau nikah suaminya keluar masuk rumah sakit,” lanjut Gaza lagi.
“Gak ya Kak, itu karena Kakak!” Zanna menolak dituduh sebagai penyebab Nala masuk rumah sakit.
“Yang bakar ayam siapa?” tanya Gaza.
Zanna menunjuk dirinya, sembari tersenyum lebar memamerkan deretan giginya.
“Kakak juga sih, bukannya ngasih istri malah…”
“Zanna…” Iskandar memperingati dengan suara tegasnya.
Zanna mengerti, ia menunduk dan kembali fokus dengan telepon genggamnya. Ia hanya melirik Gaza sekilas, dalam hati ia sudah mencaci kakaknya sendiri.
“Kamu harus jaga makan, jangan sakit-sakit lagi. Malam itu Gaza memang salah.” Puspa membenarkan ucapan Zanna membuat cucu perempuannya itu mengangguk setuju.
“Sudah Bu, sudah terjadi. Fokus sama kesehatan Nala saja.” Maya akhirnya menengahi.
“Aku baik-baik saja, Nek.” Nala berusaha menenangkan.
“Jangan terjadi lagi, Za. Istri kamu seperti ini murni karena keteledoran kamu.”
Gaza mengangguk, ia mengiyakan semua yang keluarganya minta. Ia mulai sedikit tenang, setidaknya kejadian malam itu tidak selalu di bahas. Ia tau dirinya salah dan melakukannya di depan banyak orang tanpa pertimbangan.
“Oh iya, katanya yang antar kami ke rumah sakit itu Dani ya? Sepupunya Surya, temannya Gaza juga, cuman itu gak terlalu dekat seperti Surya.” Puspa bertanya sangat antusias sekaligus mempertegas hubungan Dani dan Gaza.
Nala masih tak menyangka pengacara yang ia minta untuk membantunya justru kenal dekat dengan suaminya bahkan keluarga suaminya.
“Iya Nek.” Nala menjawab singkat.
“Kenal dimana? Dia itu baru beberapa bulan buka jasa sebagai pengacara sudah sering membantu kasus perceraian. Hebat loh dia!” Nenek Puspa bercerita sangat antusias.
Nala tersenyum, ia berusaha tenang. “Tiba-tiba kenal aja, Nek.”
Naka tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia sesekali melirik Zanna meminta tolong gadis itu untuk mengubah tema pembicaraan mereka kali ini.
Gaza terus menatap Nala, ia ingin melihat bagaimana istrinya itu menghindar dari pertanyaan keluarganya kali ini. Ia bahkan berharap, keluarganya tau Nala berniat berpisah. Ia butuh sekutu yang berdiri di pihaknya, melarang Nala dan dirinya berpisah misalnya.
Laras hanya diam, ia menelisik suami dari keponakannya itu. Bendera, ada yang tak beres, besar kemungkinan Nala sudah mulai mencari jalan untuk keluar dari hubungannya dan Gaza, tapi salahnya Nala terlalu mudah terbaca.
“Kalau misal dalam rumah tangga, tidak saling mencintai, apa pengacara bisa membantu?” tanya Laras tiba-tiba.
Ratih yang mendengar pertanyaan Laras, segera menyentil lengan adiknya itu.
Tawa Puspa terdengar nyaring. “Bagaimana gak cinta kalau tiap hari ketemu, tidur bareng, makan bareng, mustahil gak cinta.”
“Nah iya Nek, orang-orang yang selingkuh itukan awalnya dari terbiasa bersama.” Zanna mulai menimpal.
“Kok tiba-tiba selingkuh sih, Na?” tanya Maya tak suka pembahasan anak gadisnya itu.
“Loh iya Bun, udah gak cinta sama istrinya. Tiba-tiba duduk berdua dengan perempuan lain di taman. Awalnya curhat tipis-tipis, ehh nyaman, pisah deh…” ucap Zanna sembari melirik Gaza yang menatapnya tajam.
“Maksud kamu apa, Na?” tanya Iskandar.
Iskandar bukan orang bodoh yang tak mengerti maksud ucapan Zanna, ia tahu siapa yang disindir oleh anak gadisnya itu.
“Gak apa-apa, Pah. Semoga suamiku nanti bisa belajar dari Papah, cinta sama istri dan anak. Tapi gak apa sih Pah, kalau misal suamiku gak cinta, boleh ‘kan pisah?” tanya Zanna sembari menatap ayahnya.
“Tidak! Di keluarga kita, selain selingkuh dan KDRT tidak ada yang namanya perpisahan. Termasuk itu Bu.” Iskandar menatap Ibunya, “tidak mempunyai anak. Jadi jangan menuntut itu pada Nala dan juga Zanna nantinya.” Suara iskandar terdengar tegas dan penuh peringatan, perceraian memang sangat sensitif untuk dibahas
“Tapi, Pah. Aku gak cinta, bagaimana?” Zanna masih terus mencecar ayahnya.
“Gak bisa, Zanna. Keluarga kita gak ada yang berpisah karena tidak cinta. Alasan itu terlalu kekanak-kanakan, mustahil gak cinta tapi tiap malam istri di tidurin.” Puspa menjawab cepat.
Ratih dan Laras mulai peka, hubungan Nala dan Gaza memang tidak baik-baik saja. Melihat Nala yang terus menunduk, membuat Laras merasa sedih.
“Anakmu sangat menderita di keluarga ini,” bisik Laras.
Ratih mengikuti arah pandangan Laras yang masih fokus pada Nala.
“Gak, Ras. Nala akan bahagia nanti. Aku percaya suamiku,” ucap Ratih lagi.
Laras menarik nafasnya lelah, sulit memang membuat Ratih mengerti. Baginya, setelah menikah, mau cinta atau tidak, berbakti pada suami adalah nomor satu. Ia yakin pelan-pelan, rasa cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya.
“Sudah!” Gaza berdiri dari duduknya. “Jika kalian masih ingin berdebat, pulang saja. Lihat Nala semakin pusing dengan kehadiran kalian. Bukanya tambah sehat malah tambah sakit.”
Zanna mengangguk, ia akhirnya diam tapi melirik ke arah Neneknya.
“Gaza, setelah dari rumah sakit. Kamu dan Nala akan tinggal di rumah kita lagi ‘kan?” tanya Puspa sembari menatap Gaza dan Nala bergantian.
“Gak Nek. Kami pulang ke rumah kami saja.” Gaza menjawab sembari melihat ke arah Nala yang mengangguk setuju.
“Oh begitu…” Puspa sejenak diam untuk berfikir. “Apa gak sebaiknya di rumah kita saja?” tanya Puspa lagi.
“Gak Nek,” tegas Gaza.
“Baiklah, tapi ambil salah satu ART untuk membantu kalian, kasihan Nala kelelahan mengurus rumah. Mungkin itu salah satu penyebab kalian belum hamil, Nala terlalu capek.”
Gaza memejamkan matanya, ia menghela nafas panjang. Beberapa hari ini pembahasan yang selalu ia dengar hamil dan perceraian. Semuanya seolah menekannya, Nala meminta cerai sementara keluarga menuntut untuk mempunyai keturunan.
Semuanya, bermuara pada Nala. Istrinya itu tetap yang paling tersakiti di sini
***
Brak!
Iskandar menggebrak meja di hadapannya. Beberapa pengunjung kantin rumah sakit terkejut dan menatap ke arah meja ayah dan anak tersebut.
“Nala meminta ceria?” tebak Iskandar.
Gaza mengusap wajahnya. Ia sudah menduga Papanya akan menanyakan hal ini saat meminta Gaza menemaninya ke kantin.
“Jawab, Gaza!” tanya Iskandar sembari menahan gejolak emosinya.
Gaza mengangguk, ia hanya bisa menunduk tak berani menatap Papahnya.
“Kenapa? Kasih masih mencintai Kakaknya?” tanya Iskandar.
“Jujur masih, tapi kami sudah selesai, Pah. Aku sedang berusaha memperbaiki pernikahanku dengan Nala. Jadi aku mohon Pah, biarkan aku tenang dulu.” Gaza akhirnya angkat bicara, ia harus memberi pandangan dari sisinya
“Memperbaiki? Tapi yang ada Nala justru menemani Dani. Bagus yang ia temui Dani, anak itu baru mulai menekuni kasus perceraian jadi masih banyak pertimbangkan. jika pengacara lain, sudah di pastikan berkas perceraian sudah ada di meja hijau.”
“Pah, aku tau aku salah di sini. Aku dan Anggia tak ada hubungan apapun. Kami sudah menyelesaikan masa lalu kami. Gaza akan fokus pada Nala dan rumah tangga kami, Pah. Tapi, agak sedikit sulit, sebab Nala mungkin menarik diri.” Gaza tak bisa lagi menutupi hubungannya dengan Nala yang mulai berjarak.
Iskandar menyandarkan tubuhnya perlahan, ia menatap Gaza, ia melihat ada tekad dan keseriusan di wajah putranya.
“Mungkin kamu harus memikirkan permintaan Nenekmu. Hamili Nala, mungkin ia akan berubah pikiran.”
Gaza menggeleng, ia tak mau memaksa Nala. Ia juga belum siap untuk itu. Selain perasaannya belum sepenuhnya untuk Nala, ia tahu Nala juga belum siap.
“Belum waktunya, Pah.” Gaza menolak dengan tegas.
“Kapan waktunya? Apa ada solusi selain ini? Ingat reputasi keluarga kita, Za. Kita gak bisa membuat skandal yang akan mencoreng nama baik keluarga kita. Cerai itu aib, begitupun dengan perselingkuhan dan Kekerasan. Jika itu terjadi, kamu bukan putraku lagi.”
“Pah, tolong kasih waktu. Aku dan Nala butuh mental yang sehat. Pernikahan kami lagi tidak baik-baik saja. Nala sibuk dengan KKN dan tugas akhirnya, bagaimana bisa Nala fokus dengan kehamilan dan mengasuh anak?”
Iskandar menarik nafasnya, ia seolah berpikir keras. Apa yang Gaza ucapkan memang tak salah. Tapi apa ada solusi? Sepertinya semuanya hanya masalah tanpa jalan keluar.
“Lalu kapan waktu yang pas?” tanya Iskandar.
“Untuk saat ini, biarkan aku dan Nala memperbaiki hubungan kami. Aku ingin kehadiran anak itu atas kesepakatan kami berdua, karena kami siap dan kami mampu dengan amanah itu. Bukan semata karena desakan atau apapun.” Gaza masih berusaha meyakini pria paruh baya itu.
“Baik, jadi kalian memutuskan menunda kehamilan? Jadi selama ini kalian benar-benar menunda?” tanya iskandar.
Gaza diam, tidak ada yang menunda. Merencanakan saja belum.
“Tidak menunda, belum diberikan saja. Mungkin setelah siap kami akan memeriksakan diri dan fokus pada pengobatan juga. Untuk sekarang, kami hanya ingin mempererat hubungan kami.”
Kerutan di dahi Iskandar terlihat jelas, ia menelisik setiap gerakan putranya. Ada yang berusaha putra ya tutupi, Iskandar belum bisa menebak dengan jelas. Tapi apapun itu, ia tak mau rumah tangga anaknya retak hanya karena masalah sepele.
“Baik, perbaiki hubunganmu, kembalikan keharmonisan kalian seperti sebelumnya. Beri jeda, ajak Nala liburan. Mungkin kalian butuh bulan madu,” ucap Iskandar memberi saran, kali ini suaranya mulai darat, emosinya bulan mereda.
“Bulan madu? Sepertinya ide yang bagus. Mungkin setelah Nala KKN kami akan merencanakannya,” balas Gaza antusias, senyumnya merekah seolah menemukan satu cela untuk memperbaiki semuanya.