Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Kakek Qing
Beberapa bulan telah berlalu sejak hari di mana Qing Mei memberikan saran menanam kentang kepada kepala desa Song. Kini, Desa Pao tampak hidup dan makmur.
Tanah yang dulu gersang kini penuh dengan ladang kentang hijau subur. Para warga tersenyum gembira melihat hasil panen yang berlimpah ruah.
Tak hanya itu, mereka juga mulai berani menangkap ikan mujair dari parit yang dulunya dianggap beracun, itu semua karena mereka sering melihat tiga saudara Qing itu mencari ikan bahkan memakan ikan itu dengan lahap.
Pernah mereka mencicipi masakan Qing Mei, dan akhirnya mereka ketagihan. Kini aroma kentang rebus dan ikan goreng kerap tercium dari setiap rumah di desa itu.
Pagi itu, Qing Mei berjalan santai bersama kedua kakaknya menuju parit tempat mereka biasa menangkap ikan.
Qing Dao membawa bakul di pundaknya, sementara Qing Wei berjalan di samping Qing Mei dengan senyum tipis.
Tapi begitu mereka tiba di tepi parit, ketiganya langsung terpaku. Air parit masih jernih, tapi tidak ada satu pun ikan yang terlihat berenang di sana.
“Eh?” Qing Dao menatap bingung, lalu segera mengintip lebih dekat. “Tidak ada seekor pun! Bahkan jejak sirip pun tidak ada!” serunya.
Qing Wei memeriksa sisi parit yang lain. “Benar juga. Dulu ikan di sini seperti tidak ada habisnya. Sekarang malah kosong total.”
Qing Dao menghela napas panjang, meletakkan bakulnya di tanah. “Harusnya kita tidak memberi tahu mereka soal ikan mujair ini! Sekarang lihat semuanya sudah habis ditangkap orang!”
Qing Mei hanya terkekeh kecil, menatap kakaknya dengan ekspresi tenang. “Kakak Dao, tidak apa-apa. Justru bagus kalau mereka berani makan ikan itu. Setidaknya, sekarang desa ini punya sumber makanan baru selain sayuran dan buah-buahan.”
“Tapi ....” Qing Dao cemberut. “Aku ingin makan mujair goreng buatanmu lagi. Rasanya jauh lebih enak dari makanan manapun.”
Qing Wei menepuk bahu adiknya sambil tersenyum. “Kita bisa cari di sungai besar nanti. Jangan lupa, sebentar lagi kita harus berangkat ke ibukota untuk mendaftar akademi.”
Mendengar itu, mata Qing Dao langsung berbinar, tapi juga ada sedikit kekhawatiran. “Benarkah kita benar-benar akan berangkat, Mei’er?”
Qing Mei menatap keduanya dengan lembut. “Tentu saja. Kalian berdua sudah mencapai ranah prajurit tingkat 4. Itu sudah cukup kuat untuk masuk akademi. Dan kita tidak akan selamanya tinggal di desa ini.”
Qing Wei menatap adik perempuannya yang kini tampak lebih dewasa dan berwibawa dari sebelumnya. “Mei’er, kalau bukan karena pil dan bimbinganmu, aku dan Dao tidak akan sampai di tahap ini.”
Qing Mei tersenyum lembut. “Kalian berdua berlatih keras setiap hari. Itu semua hasil kerja keras kalian sendiri. Mei’er hanya membantu sedikit.”
Qing Dao menatap adik perempuannya dengan wajah serius untuk pertama kalinya. “Tapi Mei’er di ibukota nanti, kau harus berhati-hati. Aku dengar di akademi banyak bangsawan sombong dan murid kuat.”
Qing Mei menatapnya, lalu tersenyum percaya diri. “Tenang saja, Kakak. Mei’er bukan gadis lemah yang dulu lagi.”
*
*
Di kediaman keluarga Qing yang besar ituz, suasana sore tampak tegang. Kakek Qing mondar-mandir di ruang utama dengan tangan di belakang punggung. Sorot matanya tajam dan penuh pertimbangan.
Nyonya Lao, yang duduk di kursi ukiran bambu, menatap suaminya dengan heran. “Kau dari tadi terlihat gelisah, ada apa sebenarnya, Suamiku?” tanyanya curiga.
Kakek Qing berhenti melangkah, menghela napas panjang. “Aku baru saja mendengar kabar penting dari kepala desa Song,” ujarnya pelan. “Utusan dari Istana Kekaisaran Giok Surgawi akan datang ke Desa Pao beberapa hari lagi.”
Nyonya Lao mengerutkan kening. “Utusan istana? Untuk apa mereka ke tempat terpencil seperti ini?”
Kakek Qing menatap istrinya dengan sorot mata serius. “Untuk memberikan Dekret Kaisar kepada Qing Mei.”
Nyonya Lao langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa katamu?! Kepada Qing Mei?”
Kakek Qing mengangguk. “Benar. Semua orang di desa sudah tahu kalau Qing Mei yang menemukan cara untuk menyelamatkan panen. Karena kentang yang ia perkenalkan, seluruh desa selamat dari kelaparan musim kemarau. Dan berita itu telah sampai ke telinga kaisar sendiri.”
Nyonya Lao ternganga tak percaya. “Mustahi hanya karena kentang?”
“Bukan hanya itu,” lanjut Kakek Qing, suaranya dalam. “Saran dari Qing Mei diikuti oleh seluruh rakyat kekaisaran Giok Surgawi dan itu benar-benar berhasil. Tentu Kaisar sangat berterima kasih, sebab tahun sebelumnya belum pernah ada yang berhasil.”
Mata nyonya Lao semakin melotot, dia tidak tahu ternyata itu semua ide dari Qing Mei. Bahkan kentang yang sering ia puji-puji karena kelezatannya, ternyata dari cucu yang tak ia anggap.
Kakek Qing kembali berkata, “Aku juga dengar kalau Qing Wei dan Qing Dao sudah mencapai tahap Prajurit tingkat empat hanya dalam beberapa bulan saja. Itu luar biasa. Dua bocah itu jenius alami.”
Nyonya Lao semakin terdiam, wajahnya sulit dibaca. Dulu ia menertawakan cucu-cucu itu sebagai pembawa sial. Kini kenyataan menampar keras wajah sombongnya.
Kakek Qing menatapnya lekat-lekat. “Kau tahu artinya ini, Lao? Jika dekret itu diserahkan, dan nama Qing Mei disebut dalam titah istana, keluarga kita akan naik menjadi bangsawan kelas dua.”
Kata-kata itu membuat mata Nyonya Lao berkilat. “Bangsawan kelas dua?” gumamnya pelan, seolah sedang mencicipi kelezatan kata itu.
Kakek Qing mengangguk mantap. “Benar. Karena itu, kita harus memanggil Qing Rong dan anak-anaknya untuk tinggal di sini. Mereka tidak boleh tinggal di rumah reyot itu lagi. Kita harus menunjukkan pada utusan istana bahwa keluarga Qing bersatu.”
Nyonya Lao menatap suaminya tajam. “Tapi bukankah dulu kita mengusir mereka?”
Kakek Qing mendengus. “Keadaan sudah berubah. Aku tidak akan membiarkan kesempatan emas ini hilang. Kalau keluarga lain tahu Qing Mei masih dianggap orang luar, mereka bisa merebut nama Qing dari kita.”
Nyonya Lao terdiam sejenak, tapi kemudian wajahnya berubah cerah. “Kau benar juga. Kalau mereka kembali, keluarga kita bisa mendapatkan kehormatan itu. Bayangkan duduk di perjamuan bersama para menteri, Jenderal dan bangsawan lainnya!”
Wanita tua itu tertawa kecil, matanya berkilau penuh ambisi.
Di luar ruangan, dua sosok berdiri di balik dinding kayu tipis. Qing Fu dan Qing Rao dua saudara perempuan Qing Rong saling pandang dengan wajah gelap.
“Jadi mereka ingin membawa itu kembali?” bisik Qing Rao, matanya menyipit.
“Ya,” jawab Qing Fu dengan nada dingin. “Padahal dulu mereka semua diusir. Sekarang karena anak-anaknya berguna, tiba-tiba dianggap keluarga lagi?”
Qing Rao mengepalkan tangannya. “Kalau mereka benar-benar kembali ke rumah ini, maka anak-anak kita akan tersingkir. Ibu akan lebih memihak pada Qing Rong.”
Qing Fu mendengus sinis. “Itu tidak boleh terjadi. Selama aku masih hidup, Qing Rong dan anak-anaknya tidak akan pernah mendapatkan tempat di keluarga ini.”
Keduanya saling pandang, lalu tersenyum licik.
“Kalau begitu,” kata Qing Fu perlahan, “kita harus bertindak sebelum utusan istana datang. Kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka sempat menginjakkan kaki di rumah ini.”
Qing Rao mengangguk mantap, wajahnya penuh kebencian. “Baik. Kita akan membuat mereka menyesal pernah kembali.”
Kedua wanita paruh baya itu berbalik, langkah kaki mereka menghilang di balik lorong rumah besar itu.
Di dalam ruangan, Kakek Qing masih tersenyum membayangkan kehormatan bangsawan.