Mendapati sang kekasih berselingkuh dengan kakaknya sendiri, Seruni patah hati. Pemuda yang telah melamarnya ternyata bukanlah pangeran berkuda putih yang hadir di dalam mimpi.
Kenanga, kakak yang terpaut usia lima tahun darinya ternyata begitu tega. Entah apa yang melatarbelakangi hingga gadis yang biasa disapa Anga itu jadi kehilangan hati nurani.
Seruni kecewa, hatinya patah. Impian yang dirangkainya selama ini hancur tak bersisa. Caraka yang dicinta menghempasnya bak seonggok sampah.
Nestapa itu terasa tak berjeda. Seruni yang putus cinta kembali harus menerima perjodohan yang tadinya ditujukan untuk Kenanga. Pria dewasa dari kota yang konon katanya putra pengusaha semen ternama.
Wisely Erkana Hutomo Putra, nama yang menawan. Rupa pun tergolong tampan. Akan tetapi, apakah duda tanpa anak itu adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan ... untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Debaran di pesta Pernikahan
Tiba di tempat acara, Wisely yang baru saja turun dari mobil tampak tercengang. Masih sempat melihat Seruni yang kepayahan mengangkat kain kebayanya agar tak luntur terkena kubangan lumpur.
Lapangan bola di tengah kampung itu menjadi tempat acara dan resepsi. Hujan yang mengguyur Bandung sejak pagi membuat rerumputan jadi berlumpur. Sebuah panggung yang dijadikan pelaminan di tengah lapangan tampak didekor indah. Tenda-tenda berukuran raksasa dengan meja kursi tunggang langgang berantakan. Beberapa anggota panitia pesta tampak mondar mandir dengan celana digulung selutut. Tanpa alas kaki, betis berlumpur. Menata ulang tempat pesta karena kekacauan akibat cuaca yang tak bersahabat.
“Apa tidak salah, Ni?” Wisely ternganga mendapati medan yang harus dilalui.
“Ya, Aa.”
“Lalu, acaranya di sana?” Wisely menunjuk ke arah panggung.
“Ya, Aa.”
“Lalu, aku juga harus ke sana?” Wisely bergidik mendapati calon mertuanya tengah membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal jepit. Menggulung ujung celana, bersiap berkubang dalam lumpur.
“Ya, Aa.”
“Sepatuku, Ni.” Wisely tak terima. Terbayang brand dari Eropa yang sedang membungkus kaki harus ternoda karena ini.
“Tidak apa-apa kalau Aa menunggu di mobil. Nanti aku ambilkan makanan dan camilannya.” Seruni tak enak hati.
“Kamu?”Wisely tercengang.
Seruni tak menjawab. Telunjuknya terarah pada seorang wanita muda yang tengah digendong salah satu pemuda melewati genangan air yang cukup tinggi.
“Kamu?”
“Hmm. Itu Aa sepupuku. Kami di sini semuanya kebanyakan saudara Aa.” Seruni menerangkan.
“Tidak boleh!” tegas Wisely, tergulung cemburu.
“Hah!” Seruni terkejut.
“Aku saja yang gendong.” Wisely menawarkan diri. Dia tak terima saat calon istrinya dibopong orang lain walau katanya memiliki hubungan saudara. Laki-laki tetap laki-laki, tak peduli saudara dekat atau jauh.
Kegugupan melanda, Seruni terpana. Ucapan Wisely memancing debaran di dada. Salah tingkah, dia tak mampu menyembunyikan semburat jingga yang kini menyerang wajahnya.
“Ti ... tidak perlu, Aa.” Seruni menolak.
“Tidak apa-apa.” Wisely pasrah, tak mau membayangkan sepatu mahalnya tercelup dalam lumpur. Apa boleh buat, dia tidak bisa merelakan Seruni bersama pria lain.
Mendekati wanita yang tengah merapikan kain jariknya agar tak terkena basah, dia menghela napas perlahan.
“Aa gendong, Ni.”Wisely sudah menyelipkan kedua tangan di balik bokong dan punggung Seruni, tak peduli dengan penolakan halus sang calon istri.
“Tidak, Aa.” Seruni tertegun, buru-buru melingkarkan tangan di leher Wisely saat tubuhnya melayang. Rasa malu, membuatnya tak sanggup merangkai kata-kata. Terus menatap wajah tampan yang begitu dekat dengannya.
Lasmi memandang iri, menepuk pundak sang suami.
“Pak, apa Ibu tidak sekalian digendong seperti itu?” ucapnya, memasang wajah penuh harap.
“Kalau ada yang mau, aku ikhlas lahir batin.” Sandi tergelak. “Naik angkot saja harusnya bayar dobel, kalau ada yang mau menggendongmu ... sungguh luar biasa. Jalan saja, jangan manja. Beri contoh pada anak dan menantumu, hujan dan badai bukan halangan untuk seorang ibu memberi restu pada putrinya.
“Tapi, kebayaku nanti kotor, Pak.”
Sandi menggeleng. “Tidak masalah. Dengan kebaya bersih atau bernoda, kecantikanmu tetap sama.”
Lasmi salah tingkah.
“Ah, Bapak.” Memukul manja pundak Sandi.
“Karena tidak ada bedanya, Bu. Mau diapakan, ibu itu tetap alami dan apa adanya.”
“Cantik alami ya, Pak.”
Pak Sandi tersenyum kecut. “Ibu bisa bercermin sendiri, tidak perlu menunggu komentarku. Kalau sampai bisa menikah denganku yang duda tak berduit, tahu sendirilah.”
Lasmi mencelang. “Jadi aku tidak cantik?” Hiasan kembang goyangnya berayun.
“Alami dan apa adanya, Bu.” Sandi menciut.
Xixixi nyaman banget ya Ci di si hijau 😁..
Tapi semoga di manapun semoga sukses ya karyanya Ci...