Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 13
Gendhis tersentak. Ia sampai membekap mulutnya kuat. Meskipun dalam batinya masih merasa jengkel dengan Nanda, namun rasa penasaran itu mengalahkan semuanya.
Setelah shock, seketika wajah Gendhis kembali manyun. "Tetap saja, Mas Nanda mau mengantarkanya pulang!"
"Ndis ... Saya hanya membatu mengantarkan dia pulang saja. Nggak lebih! Begini saja ... Lain waktu kalau saya libur lagi, saya akan ajak kamu berkeliling ke Desa Waru Ireng.
Gendhis hanya mendesah dalam. Tak ingin berlarut kemana-mana, ia segera menyuruh Nandaka melajukan sepeda motornya.
***
1 bulan berlalu.
Ketiga pria itu seakan memang benar-benar mendapatkan balak atas tindak lancang mereka. Akan tetapi, mereka sejujurnya tidak berani menebang pohon jati itu secara brutal jika tidak di perintahkan Lurahnya.
Ketakutan, fobia, bahkan halusinasi secara berlebihan kini semakin memperdalam keadaan Pak Joko. 1 Bulan yang lalu di nyatakan pingsan, hal itu juga membuat sakit Arman sang adik semakin parah. Begitu juga dengan Mukti sang Ipar. Pria berusia 40 tahun itu malah semakin tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Kerap berkeliling desa dan membawa sang merah putih, Mukti benar-benar terkena gangguan mental.
Semua upaya kesembuhan sudah keluarganya kerahkan. Dari ke orang pintar, bahkan sampai di bawa periksa ke Rumah Sakit.
"Paman Arman sakitnya sudah kritis, Bu! Mbak Wina hanya bisa menangis sejak tadi. Pas Gendhis pulang dari toko, tadi sempat mampir terlebih dulu." Ucap Gendhis setelah menyandarkan sepedanya di tiang.
Bu Siti bahkan sudah diambang rasa frustasi. Ia hanya duduk diam. Sorot mata lelah itu tertunduk, menatap hamparan tanah yang kosong. Namun tak lama itu ia menjawab, "Keluarga Bapakmu kok jadi begini." Suara Bu Siti nyaris patah.
Gendhis ikut duduk di samping ibunya. Ia usap bahu renta itu dengan penuh kelembutan. "Kota doakan saja, Bu! Supaya Bapak dan kedua adiknya cepat membaik! Gendhis juga kasian melihatnya."
"Ya sudah, kamu cepetan masuk kedalam Ndis! Ini malam 1 Suro, alangkah baiknya kamu jangan mandi malam-malam." Peringat Bu Siti kepada Putrinya.
Gendhis mengangguk. Tapi setelah ia masuk kedalam kamarnya, gadis itu terdiam sejenak. Ia duduk ditepi ranjang, mencoba memikirkan hal yang menurutnya sangat janggal sekali.
1 minggu sebelumnya, pada saat itu Gendhis pulang dari Toko agak larut. Dan mendekati waktu petang, ia baru mengembalikan kunci toko emas itu. Namun baru sampai gapura desa, ia bertemu Bu Asih dan Lurahnya sedang berboncengan akan pergi.
"Bu, ini kuncinya?!" Gendhis sempat menghentikan laju sepedanya. Tanganya sudah terulur untuk mengembalikan kunci itu.
Bu Asih menolak, "Tolong taruh lagi ke rumah ya, Ndis! Saya sama Bapak sedang buru-buru! Di rumah ada Eyang, kok!" Setelah mengatakan itu, Bu Asih pergi begitu saja.
Gendhis agak takut jika berhadapan dengan wanita tua itu. Ingin di bawa pulang, takutnya sang Lurah berpikir yang tidak-tidak. Jadi, mau tidak mau Gendhis harus mengembalikan amanah itu ketempatnya.
Sepeda bewarna merah hati itu sudah ia sandarkan di pagar kayu. Gendhis dengan segala keberaniannya menarik kakinya dengan kuat, menapaki pelataran semen sang Lurah. Namun begitu ia menginjakan kaki diatas ubin, seakan kakinya tersengat hawa yang begitu susah ia ungkapkan.
Wajah Gendhis tampak waspada, hingga ia menatap kesekeliling bangunan tua itu. Bahkan, setiap langkahnya itu seolah tengah di pantau oleh beberapa pasang kasat mata.
Kriettt!!!
Gendhis tersentak, hingga membuat kedua netranya terbuka lebar. Tubuhnya kinu membeku, kala dua pintu di depanya itu terbuka dengan sendirinya. Jantung Gendhis juga tak kalah berdegup kencang. Keringat dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
Begitu ada yang melepas ikatan kakinya, Gendhis segera masuk kedalam. Meskipun ia tengah ketakutan, namun rasa itu mengalahkan rasa penasarannya.
"Eyang ...." Suara Gendhis menggema, mengguncang interior rumah joglo itu. "Ini Gendhis mau kembaliin kunci toko." Untuk kali ini suara Gendhis terasa lebih halus.
Entah dorongan dari mana, seakan ada yang menuntun langkah kaki Gendhis. Gadis itu masuk semakin dalam. Terdapat tiga kamar yang terkunci dengan pintu jati berukir. Namun yang membuat Gendhis tampak penasaran, ada suara tawa melengking yang saling bersahutan di pojok ruang.
Tirai bewarna hitam itu terbawa angin, hingga menimbulkan bau yang sangat menyengat. Wangi semerbak mawar bercampur bau menyan, berhembus lirih menyambut kedatangan Gendhis.
Detak jantung Gendhis menyamai langkahnya, begitu ia sampai di depan tirai hitam itu. Tirai itu tersingkap sedikit.
Deg!
Tubuh Gendhis membeku. Melihat Eyang Wuluh berdiri menghadap cermin besar didalam kamarnya. Sementara di sisi atas meja, sudah lengkap terdapat beberapa sajen diatas nampan anyam besar. Terdapat dua kuali kecil, entah apa isi didalamnya. Dan yang paling membuat Gendhis tercengang. Ada tiga foto pria diatas sesaji, yang tak lain adalah Ayahnya, Mukti, dan Arman.
'Ya Allah ... Apa itu? Mengapa ada foto Bapak dan Paman?' Gendhis membekap kuat mulutnya.
Dalam pantulan kaca yang seharusnya menampakan wajah tua Eyang Wuluh. Tapi dalam bayangan kaca malah menampakan sosok pengantin wanita yang begitu cantik, sudah lengkap dengan adat jawanya, beserta tusuk konde di atasnya. Namun semakain Gendhis melihat, wajah yang semula indah, kini hancur dalam hitungan detik.
Darah saling menetes, bahkan kedua matanya memutih secara bersamaan. Keduanya saling tertawa nyaring, bahkan menjadi tawa melengking, hingga menggema ke seluruh rumah.
Ingin menangis, menjerit, ataupun berteriak, itu semua seolah tercekat dalam kerongkongannya saja. Mulut Gendhis terkunci. Namun begitu kakinya dapat ia bawa melangkah, dengan sekuat tenaga Gendhis meninggalkan kediaman Lurah Woyo.
"Kok masih ngalamun, nggak cepetan mandi!"
Gendhis tersadar saat tirai kamarnya di singkap oleh sang Ibu. Gadis itu hanya tersenyum kuda, "Iya, Bu! Ini juga mau mandi kok!" katanya sambil bangkit.
'Apa mungkin Eyang Wuluh bukan orang sembarangan? Atau ... Dia memiliki pesugihan?' Gendhis yang sudah berada di sumur belakang, kini segera melanjutkan Aktivitas.
Dan dia sudah berniat, malam nanti ia akan keluar demi mencari tau apa yang sejujurnya terjadi di desanya.
Pukul 7 malam.
Bu Siti baru saja selesai menyuapi Pak Joko makan di dalam kamarnya. Keadaan pria itu cukup normal untuk orang sehat. Namun tidak berlaku dengan kesehatan psikisnya.
"Bu, aku mau ke rumahnya Nita ya! Mau lihat keadaan Paman Mukti, dan Mas Arman!" Ijin Gendhis yang baru keluar dari dalam kamarnya.
"Boleh. Tapi inget jangan pulang larut, Ndis! Ini malam 1 suro." Peringat kembali Bu Siti.
Gendhis mengangguk. Setelah itu ia segera berjalan keluar.
Sengaja tidak membawa sepeda, agar ia dapat mengontrol jalanya. Dan lagi, malam ini Gendhis akan mengintai kediaman Lurah Woyo, demi menguak apa yang sebenarnya terjadi.
"Habis isyak, desa sepi banget ya?" Gendhis mengeratkan sisi jaketnya, sambil terus berjalan menyelusuri jalanan tanah di depannya. Dan syukurnya malam ini bulan bersinar dengan terang. Cukup menambah ke beraniah Gendhis.
"Ehem!"
Gendhis reflek menoleh belakang. Pria itu berdiri agak berjarak, sambil membawa senter di tanganya. Mendapati sepatu boot dikakinya, Gendhis rasa pria tadi habis dari kebun.
"Silahkan kalau mau lewat!" Kata Gendhis cukup sopan. Ia mengarahkan tanganya kedepan, mengingat pria itu usianya cukup jauh.
Namanya Wira. Putra sulung Juragan Wisnu.