Tiba-tiba saja nenek menyuruhku menikah dengan pria kurang mapan. Aku adalah seorang wanita yang memiliki karier mapan!! Apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek memilih laki-laki dibawah standarku? Apa sebenarnya tujuan nenek?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 31 - Pergi untuk Kembali
Tia sampai di kota Surabaya ketika matahari berada tepat di atas
kepalanya. Dia langsung menuju rumah nenek. Sesampainya dirumah, nenek
menyambutnya dengan mimik wajah keheranan dan kebingungan.
“Lho, kok sudah pulang Ndu? Suamimu mana?” namun Tia
tidak menjawab. Setelah mencium tangan nenek, dia berlalu menuju kamarnya.
Kemudian dia mengunci kamarnya dari dalam. Semakin terheran-heran nenek
dibuatnya. Dari raut wajah cucunya yang sedih dan matanya yang memerah bekas
menangis, nenek punya firasat bahwa ada masalah diantara cucunya dan suaminya.
Karena penasaran, nenek segera menghubungi mbak Siti.
“Ti, genduk kok mbalek dewean? Nangdi awakmu saiki?”
(Ti, genduk kok pulang sendirian? Dimana kamu sekarang?)
“Beneran Mbah, mbak Tia sudah dirumah?”
“Iyo Ti. Koyoke mari nangis. Mripate abang lagek abo.
Saiki areke ngunci kamar, gak gelem ngomong bek Mbah.” (Iya Ti, sepertinya
anaknya habis menangis. Matanya merah dan bengkak. Sekarang anaknya sedang
mengunci dirinya dikamar. Tidak mau berbicara dengan nenek.)
“Ada apa sih Ti?”
“Gak ada apa-apa Mbah. Ini sekarang Siti sama Mas
Rizal perjalanan pulang Mbah. Mungkin baru nyampe rumah sekitar satu jam lagi
Mbah…”
“Beneran gak ada apa-apa Ti? Kamu gak bikin rencana
aneh-aneh kan?”
“Mboten Mbah, mboten aneh-aneh.”
“Takutnya Kamu bikin rencana aneh-aneh biar bisa
nuruti maunya Mbah…”
“Mboten kok Mbah. Mbah gak usah khawatir. Tolong
mbak Tia dijaga jangan sampai keluar rumah ya Mbah. Satu jam lagi Siti sama Mas
Rizal sudah dirumah…”
“Lahdalah, enek opo iki yo… Yoweslah, awakmu ndang
balek. Ati-ati nang dalan.” Nenek menutup panggilan teleponnya. Menatap dengan
hampa pintu kamar cucunya yang terkunci rapat. Nenek hanya berdoa, semoga saja
tidak terjadi apa-apa pada pernikahan cucunya.
***
“Mas, kata Mbah mbak Tia sudah sampai dirumah…”
“Beneran Mbak??!” Rizal meminggirkan mobilnya, dia
perlu fokus untuk melakukan setiap pembicaraan yang bersangkutan dengan
istrinya.
“Iya Mas, barusan Mbah telepon. Katanya mbak Tia
sudah sampai rumah dengan selamat, tapi…”
“Tapi apa Mbak?”
“Eh… Kata Mbah mbak Tia kayak habis nangis Mas.
Terus ngunci diri dikamar…”
“Ahh!” Rizal mengepalkan tangannya di kemudi.
Istrinya menangis!! Sepertinya istrinya sangat menyesali malam itu. Argggghh!!
Andaikan waktu bisa diulang, dia tidak akan berbuat seperti itu. Seharusnya dia
tahu, seseorang dibawah pengaruh obat pikirannya tidak lagi jernih.
Ditanya beberapa kali pun jawabannya akan tetap sama, yang penting nafsunya
bisa segera tersalurkan. Betapa bodohnya dia. Dia pantas untuk
disalahkan!! Diantara mereka berdua, pikirannya lah yang paling jernih. Namun
karena dipengaruhi hasrat, akhirnya dia mengikuti permainan itu.
Seharusnya dia bisa menunggu dan bersabar. Selama
dua bulan ini dia bisa melakukannya. Namun kenapa hanya untuk satu malam dia
tidak bisa menahan diri? Rizal memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kesal.
Mbak Siti hanya terdiam membisu, perasaan bersalahnya menjadi semakin besar.
Sepuluh menit kemudian, mereka melanjutkan
perjalanan. Rizal mengendarai kendaraannya dengan kencang, namun masih tetap
patuh dengan rambu-rambu lalu lintas. Dia ingin segera sampai dirumah nenek,
ingin segera membawa istrinya pulang bersamanya.
***
Tok…Tok…Tok…
“Dek… Adek… Ini Mas Dek…Bisa buka pintunya?” Tia
terhenyak ketika mendengar suara ketukan pintu dikamarnya. Lebih terhenyak lagi
ketika mendengar suara laki-laki itu, suara yang rendah, dalam dan
menghanyutkan. Yang menghantarkan mimpi-mimpi dan hasratnya tadi malam!!
Tia memutuskan untuk tidak menjawab. Dia belum siap
berhadapan dengan laki-laki itu. Rasa malu masih membakar wajahnya.
“Sayang… buka pintunya…” Rizal masih belum menyerah,
begitu pula dengan Tia. Dengan keras kepala dia tidak menjawab suara panggilan
itu.
“Dek… Mas tahu kalo Mas salah. Seharusnya tadi malam
Mas tidak bersikap seperti itu…Buka dong pintunya sayang…” Suara Rizal tampak
sangat sedih. Sebenarnya Tia tidak marah pada Rizal, karena dia memang tidak
punya alasan untuk marah. Kejadian tadi malam murni seratus persen kesalahannya
sendiri. Dia tidak ingin bertemu dengan Rizal bukan karena marah, tapi lebih
karena malu. Ya!! Dia sangat malu sekali. Kalau bisa dia ingin mengubur wajahnya
disudut bumi yang paling dalam agar tidak
perlu berhadapan dengan pria itu lagi.
“Dek?” Rizal masih menggedor-gedor pintu dengan
lembut.
“Sudahlah Nak Rizal, si genduk kalau ngambek sukanya
memang seperti itu. Mengurung diri di dalam kamar. Nanti kalau perasaannya
sudah enakan, pasti keluar-keluar sendiri. Sekarang Nak Rizal bersihkan badan
dulu, sholat, makan terus istirahat. Pasti capek nyetir dari Malang kesini.”
Tia mendengar suara neneknya. Ada sedikit kelegaan dihatinya. Setidaknya untuk
sementara waktu dia tidak akan terganggu dengan ketukan pintu dikamarnya.
“Nduk, makan siangnya Nenek taruh didepan kamar. Ngambek
sih boleh ya, tapi jangan lupa makan. Jangan lama-lama ngambeknya, kasian Nak
Rizal lho. Sudah menikah kok masih ngambekan, nanti ditinggal suaminya gimana?”
Nenek berkata dengan nada bercanda. Tia tidak suka dengan candaan neneknya yang
terakhir. Hah?! Mau meninggalkannya?! Setelah menodainya Rizal akan
meninggalkannya? Huhh!! Enak saja!! Lihat saja nanti, dia pasti akan menjadi
parasite dalam hidup laki-laki itu!
Selama satu jam dalam kesendirian, Tia banyak
berpikir. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah tidak gadis lagi. Dia
sudah tidak perawan. Dia sudah ternoda. Tidak ada laki-laki yang pantas
untuknya, kecuali ‘Si Pengambil Keperawanannya’!!. Selama ini dia berpikir,
meskipun menikah dengan Rizal, dia tetap akan menjaga kesuciannya. Bila dia sudah
bertemu dengan laki-laki yang tepat, dia akan menceraikan Rizal. Namun apalah
daya, laki-laki tepat dan laki-laki impiannya sudah tidak ada lagi. Dia sudah
tidak bisa mundur lagi. Mau tidak mau, sudi tidak sudi, dia harus menghabiskan
sepanjang hidupnya bersama laki-laki ini. Titik!!
Tia kembali menelungkupkan wajahnya
dibantal,menangis lagi dan lagi. Hingga akhirnya dia kelelahan dan tertidur
dengan berurai air mata.
***
Waktu sudah menjelang Magrib, namun Tia belum juga membuka
pintu kamarnya. Rizal sangat gelisah. Dia sangat khawatir dengan kondisi
kejiwaan istrinya. Yah, wanita mana yang mau melakukan hubungan suami istri
tanpa mencintai pasangannya? Istrinya belum mencintainya, pasti berat untuknya
menerima kenyataan bahwa mereka sudah tidur bersama. Rizal menghela napas
berat.
“Sudahlah Nak, jangan terlalu dipikirkan. Nanti si
genduk pasti keluar sendiri dari kamarnya.”
“Eh iya Nek…” belum selesai Rizal berbicara, handphonenya
tiba-tiba berbunyi. Rizal minta ijin untuk mengangkat telepon dan berjalan menjauh
dari nenek. Hampir setengah jam dia bertelepon ria, entah dengan siapa.
Setengah jam kemudian, Rizal kembali ke ruang tamu.
Wajahnya tampak sangat serius. Dengan hati-hati dia mendekati nenek dan
berkata.
“Nek, bisa minta tolong titip Adek disini dulu untuk
sementara waktu?”
“Lho, kok tumben? Ada apa ini Nak?”
“Iya, barusan dapat telpon Nek. Ada proyek di luar
kota yang butuh kehadiran saya. Mungkin butuh waktu sekitar lima sampai enam
hari untuk menyelesaikannya…”
“Semoga masalahnya cepat terselesaikan Nak. Lakukan
pekerjaanmu dengan baik. Untuk masalah istrimu, jangan khawatir, istrimu aman
bersama Nenek.” Nenek menepuk-nepuk pundak cucu menantunya dengan prihatin.
Sepertinya cucu menantunya ini dilema, antara ingin menyelesaikan pekerjaannya
diluar kota atau menghibur istrinya yang sedang marah padanya.
“Maaf ya Nek, saya merepotkan Nenek. Tapi kalau
membiarkan adek tinggal dirumah sendirian saya tidak tega Nek. Lebih aman kalau
adek disini bersama Nenek…”
“Iya Nak, nenek paham itu. Sudah jangan terlalu
banyak berpikir. Kapan berangkat ke luar kotanya?”
“Malam ini Nek.”
“Ya sudah Kamu siap-siap dulu Nak…”
“Baik Nek, saya pamit ke adek dulu Nek…” Nenek
mengangguk setuju. Rizal kembali berada di depan kamar istrinya. Setelah
mengetuk beberapa kali dengan suara membujuk merayu namun tiada hasil akhirnya
dia memutuskan untuk menyerah. Mungkin istrinya sudah tertidur. Besok dia akan
mengabarinya via telepon. Rizal memutuskan untuk berangkat ke luar kota malam
itu tanpa sepengetahuan istrinya.
***