Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
melebur bersama..
Gita merangkul leher Derby erat, membiarkan tubuhnya melengkung menerima ciuman Derby yang semakin dalam dan menuntut. Aroma sabun mandi yang belum sempat terbilas di kulit Derby bercampur dengan aroma tubuh Gita, menciptakan suasana yang kian memabukkan di dalam kamar mandi.
"Aku merindukan ini, Gita," bisik Derby serak, nafasnya menerpa telinga Gita.
Sentuhan tangan Derby yang berotot bergerak liar, menjelajahi setiap lekuk tubuh Gita.
Jari-jarinya yang kuat mengusap pinggang Gita sebelum mendarat di bokongnya, meremasnya lembut.
"Kak... kita... kita di kamar mandi," ucap Gita terengah, suaranya hampir tidak terdengar.
Derby tidak menghiraukan, ia malah mengangkat Gita lebih tinggi, menekannya ke dinding. Rasa dingin dari ubin menyentuh punggung Gita, kontras dengan panas yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ciuman mereka turun ke leher Gita, meninggalkan jejak-jejak hasrat.
Gita memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran gairah.
Tiba-tiba, suara deru mobil yang mendekat terdengar jelas dari luar. Suara mesin itu memecah keheningan pagi.
Seketika, kedua tubuh yang bergelut dalam hasrat itu membeku.
"Itu... itu mobil siapa, Kak?" Gita bertanya, matanya melebar karena terkejut.
Derby mengeraskan rahangnya. Ia melepaskan ciumannya dari Gita. Ada kilatan marah dan kekecewaan di matanya karena momen mereka terganggu.
"Siapa lagi,," ujar Derby dingin. "Darren." Ia dengan cepat menggeser posisi Gita, memintanya turun dari pangkuan.
Gita segera merapikan pakaiannya, detak jantungnya berpacu kencang. Ia segera mengambil handuk besar, pura-pura menyeka tubuh Derby yang setengah telanjang.
Pintu kamar terbuka dengan keras, menunjukkan sosok Darren berdiri di sana.
Wajahnya menunjukkan ekspresi lega bercampur geli.
Mata Darren langsung tertuju pada pemandangan di depannya: Gita berdiri sangat dekat dengan Derby, tangan Gita memegang handuk, dan Derby hanya mengenakan celana pendek mandi.
Berbeda dengan kecurigaan, senyum lebar justru merekah di wajah Darren.
"Wah, wah. Pemandangan yang indah pagi-pagi begini," sapa Darren santai. "Teruskan saja, jangan pedulikan aku. Aku hanya mengambil beberapa berkas."
Gita mematung. Reaksi Darren jauh dari apa yang ia bayangkan. Wajahnya memerah karena malu bercampur bingung.
"Darren? Kenapa kamu tiba-tiba pulang?" tanya Derby.
Derby, dengan mimik wajah yang sangat tenang dan sedikit kesal karena adiknya mengganggu.
Darren melangkah masuk, sama sekali tidak terlihat cemburu atau marah. Ia justru terlihat senang.
"Bagus, bagus sekali. Kalian berdua terlihat akrab, itu yang terbaik. Aku senang melihat kalian rukun," Darren masih tersenyum.
Tidak ada cemburu sama sekali.
Ada apa dengan pria itu? kenapa bisa dia tidak cemburu melihat istrinya begitu dekat dengan pria lain? sekalipun itu kakak nya sendiri?
"Gita, jangan segan-segan untuk memberikan yang terbaik untuk Kak Derby. Kau tahu, kedekatan fisik juga penting untuk meningkatkan semangat Kakak agar cepat sembuh."
Pernyataan Darren itu membuat Gita dan Derby saling pandang. Ada lapisan baru dalam sandiwara ini yang baru saja Darren tambahkan.
"Aku sudah melakukan tugasku, Darren. Aku merawat kakakmu," jawab Gita dingin, menahan rasa jijik atas ucapan suaminya.
"Aku tahu. Dan aku menghargainya. Tapi seperti yang aku bilang dulu, Kak Derby adalah tanggung jawab kita. Apalagi dia sendirian. Dengan kamu merawatnya sedekat ini, aku bisa tenang bekerja di luar kota.
Oh ya aku mau keluar kota beberapa hari, ada urusan mendadak." ucap nya santai.
"Anggap saja ini sebagai 'terapi persahabatan' yang intens," sambungnya,, Darren menekankan kata 'intens' sambil menyeringai licik.
Ia tidak peduli seberapa jauh istrinya melayani kakaknya, selama itu menjauhkannya dari rumah dan memberi waktu luang untuk istri sirinya.
Derby mengeraskan rahangnya, tidak menyukai cara adiknya merendahkan Gita dan dirinya sendiri. Namun, ia menyadari keuntungan dari situasi ini.
"Kau benar, Darren. Gita memang sangat perhatian," ujar Derby datar, menatap adiknya penuh makna.
Darren mengangguk puas. "Kalau begitu aku pergi dulu. Lanjutkan 'terapi' kalian. Aku akan menghubungimu, Gita, jika ada keperluan dari luar kota," katanya, lalu melangkah keluar tanpa rasa curiga sedikit pun.
Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti kamar. Gita menjatuhkan handuk itu ke lantai.
"Dia... dia menyuruhku dekat denganmu, Kak. Dia senang melihat ini," bisik Gita, suaranya mengandung getir yang dalam.
Derby memutar kursi rodanya menghadap Gita. Wajahnya tidak lagi dingin, namun penuh api gairah. Ia meraih tangan Gita, lalu menciumnya lembut.
"Dia sudah memberimu izin tak tertulis, Gita," bisik Derby. "Sekarang, kita lanjutkan yang tertunda."
Derby menarik Gita ke pangkuannya sekali lagi, dan kali ini, tanpa ragu Gita membalasnya, memilih melebur dalam sentuhan terlarang yang didukung secara tidak langsung oleh suaminya sendiri.
Aashhhhh.....!
Gita mendesah kala Derby mengulum pucuk dadanya yang berwarna pink.
Gita menggelinjang menerima setiap sentuhan panas sang kakak ipar.
Gita tidak lagi menahan diri. Rasa malu telah lenyap digantikan oleh kebutuhan fisik yang membara.
Ironi perselingkuhan yang didukung secara tak langsung oleh suaminya sendiri justru membebaskan Gita dari rasa bersalah, memungkinkannya tenggelam dalam gairah terlarang ini.
Mengingat kondisi Derby, Gita mengambil inisiatif penuh.
Setelah Derby berhasil melepaskan celana pendek mandinya, Gita segera meloloskan dirinya dari pakaian yang tersisa.
Ia memindahkan Derby dari kursi roda ke tepi bath mat yang lembut di lantai kamar mandi, berbaring telentang, punggungnya disandarkan ke dinding.
"Kau di bawah kendaliku, Kak," bisik Gita penuh kuasa, meski suaranya bergetar karena hasrat.
Derby tersenyum, matanya memancarkan rasa takjub dan pasrah. Ia menyukai dominasi baru Gita. "Aku sepenuhnya milikmu, Gita."
Gita memposisikan dirinya di atas tubuh Derby, pinggangnya berlutut di kedua sisi paha Derby yang berotot. Ia menatap mata Derby sejenak, melihat pantulan gairah murni yang membakar, lalu perlahan ia turun.
Nghhh... Aahhh...
Gita menarik napas panjang, menikmati sensasi penyatuan yang dalam dan intim itu. Ia berada di atas, memegang kendali atas ritme dan kedalaman. Meskipun Derby lumpuh di bagian bawah, kekuatan tubuh bagian atasnya, terutama tangannya, tetap bekerja keras.
Derby merangkul pinggang Gita erat, membantu menstabilkan gerakan Gita. Bibirnya kembali menyerang bibir Gita, ciuman yang liar dan mendalam, sementara tangannya yang kokoh menjelajahi punggung Gita.
Gerakan Gita dimulai dengan lembut, seperti tarian lambat, memberi waktu bagi Derby untuk menyesuaikan diri. Namun, segera, didorong oleh gelombang gairah yang kuat, Gita mempercepat ritmenya. Rambutnya yang panjang tergerai mengikuti gerakan tubuhnya, wajahnya memerah karena kenikmatan.
"Gita... lebih cepat..." Derby mengerang serak, suaranya tercekat. Ia mendongak, berusaha mencapai leher Gita, menciumnya, meninggalkan jejak-jejak hasrat.
"Kau menyukainya, Kak?" tantang Gita, suaranya terengah. Ia menghentikan gerakan sejenak, hanya untuk melihat ekspresi Derby yang menyiksa karena terpotongnya kenikmatan.
"Jangan berhenti... Kumohon..." pinta Derby, matanya memohon.
Gita menyeringai kecil, lalu kembali melanjutkan gerakannya, memimpin mereka menuju puncak. Setiap dorongan adalah janji, setiap lenguhan adalah pengkhianatan yang manis. Ubin dingin dan dinding yang memantulkan suara menjadi saksi bisu penyatuan terlarang itu.
Klimaks datang dalam ledakan gairah yang keras. Gita menjerit kecil, tubuhnya menegang dan ambruk ke dada Derby, napasnya tersengal-sengal. Derby memeluknya erat, mengucapkan nama Gita berkali-kali seolah itu adalah mantra.
Mereka berdua terbaring berpelukan di lantai kamar mandi, tubuh mereka berkeringat. Keheningan yang menyelimuti mereka penuh dengan rasa puas dan janji diam-diam.
Derby mengangkat kepalanya, mengecup dahi Gita. "Kau luar biasa, Gita. Jangan pernah tinggalkan aku."
Gita hanya diam. Ia merasakan denyutan di kaki Derby yang semakin terasa sakit karena dipaksa bergerak terlalu lama.
"Kita harus segera ke rumah sakit, Kak. Kakimu," kata Gita khawatir, mengusap keringat di kening Derby.
Derby tersenyum, matanya memancarkan rasa terima kasih dan kepemilikan. "Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta, selama kamu tidak pernah meninggalkanku."
Gita membantu Derby kembali ke kursi roda. Ia mendorong kursi roda itu keluar dari kamar mandi menuju ranjang, mempersiapkan diri untuk drama yang akan datang.
Bersambung...