Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Septian buru-buru ikut mendorong brankar bersama para perawat. Langkahnya tergesa, napasnya memburu, seolah setiap detik keterlambatan bisa merenggut sesuatu yang lebih buruk. Ia sama sekali tak menduga Liliana akan melakukan hal seaneh dan senekad itu dengan membenturkan kepalanya sendiri ke tiang dinding hanya karena emosi tak sesaat.
“Lili, kenapa kamu nekat sekali?” suaranya parau, sarat rasa bersalah.
Darah di pelipis Liliana masih tampak segar, mengalir tipis di sepanjang wajah pucatnya. Ia menatap kosong ke langit-langit sambil tersenyum samar, seolah kesakitan itu bukan apa-apa.
“Kalau dengan begini kamu mau lihat aku… berarti aku nggak salah, kan?” bisiknya lemah, nyaris tak terdengar di antara roda brankar yang terus berderit.
“Lili, jangan bicara seperti itu.” Septian menggenggam ujung brankarnya, suaranya bergetar. “Aku nggak mau ada hal buruk terjadi padamu.”
Liliana tertawa pelan, namun di balik tawa itu tersimpan rasa getir. “Tapi kamu juga nggak mau aku ada di hidupmu, kan?”
Langkah Septian terhenti sejenak. Perawat yang mendorong brankar menoleh singkat, memberi isyarat agar ia tidak menghalangi jalan. Ia tetap diam, tak mampu menjawab.
“Tian… berjanjilah kalau kamu mau bersamaku. Aku pastikan aku akan baik-baik saja,” ucap Liliana terburu-buru, memanfaatkan setiap detik sebelum pintu ruang UGD menelan tubuhnya. Nada suaranya penuh tekanan, bukan hanya karena sakit, tapi karena ketakutan kehilangan kendali atas Septian.
“Lili, aku…”
“Tian, aku mohon…” suaranya serak, namun matanya tetap menatap tajam, memaksa jawaban.
Melihat Liliana dalam keadaan seperti itu membuat dada Septian sesak. Ia tahu kata “ya” itu mungkin akan ia sesali nanti, tapi bagaimana bisa ia menolak seseorang yang sedang berjuang menahan sakit di depan matanya?
Ia mengangguk pelan. “Iya, Lili. Sekarang kamu tenang dulu, ya.”
Senyum lemah muncul di wajah Liliana sebelum pintu ruang UGD tertutup rapat.
Setelah Liliana dibawa masuk ke ruang UGD, Septian berdiri di depan pintu kaca yang tertutup rapat. Dari balik sana, ia bisa melihat para dokter bergegas, suara instruksi bersahut-sahutan. Ia menatap tangannya sendiri yang masih bergetar, jantungnya berdetak tak beraturan.
Bayangan wajah Riana terlintas di kepalanya, tatapan kecewa, langkah pergi tanpa menoleh. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Kenapa semua harus jadi begini…” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, seorang dokter keluar dari ruangan.
“Bapak keluarga pasien Liliana?”
Septian segera mengangguk. “Iya, saya. Gimana keadaannya, Dok?”
“Lukanya cukup dalam, tapi tidak sampai menyebabkan pendarahan otak. Kami akan observasi dulu beberapa jam.”
Ia menghembuskan napas panjang, separuh lega namun masih tercekik oleh rasa bersalah. Terlintas di benak Septian untuk menghubungi Riana. Bagaimanapun juga, Liliana adalah kakaknya dan jika sesuatu terjadi pada sang kakak, Riana pasti akan kembali padanya. Tanpa pikir panjang, ia meraih ponsel di saku jasnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar, sebelum akhirnya menekan nama yang sudah lama tak ia hubungi.
***
Di sisi lain, Riana meminta sopir taksi berhenti di sebuah halte bus. Ia menatap ke luar jendela, kebingungan. Ia tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Lima tahun hidupnya hanya berputar di sisi Septian, dan kini, dalam satu keputusan mendadak, ia benar-benar pergi.
Ia membuka aplikasi bank di ponselnya. Saldo yang tersisa hanya cukup untuk membayar pengacara. Jika ia menggunakannya untuk menginap di hotel sebelum keberangkatannya ke Sorong, maka perceraian itu tak akan pernah bisa diselesaikan.
“Bodoh sekali kamu, Riana,” gumamnya lirih. “Kenapa dulu kamu nggak menyimpan uangmu? Kenapa kamu selalu menyerahkan tabunganmu waktu dia bilang butuh dana? Sekarang kamu pergi tanpa apa-apa… cuma harga diri.”
Ia tertawa hambar. “Seandainya aku bisa memutar waktu,” bisiknya, “tapi nasi yang sudah jadi bubur mana mungkin kembali jadi nasi.”
Suara notifikasi tiba-tiba memecah keheningan. Layar ponselnya menyala menampilkan satu nama yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak.