'Kegagalan adalah sukses yang tertunda.'
'Kegagalan bisa jadi pelajaran dan cambuk untuk terus maju menuju sukses.'
Dan masih banyak kalimat motivasi ditujukan kepada seseorang yang gagal, agar bisa bertahan dan terus berjuang.
Apakah kalimat motivasi itu berlaku dalam dunia asmara?
Nathania gagal menuju pertunangan setelah setahun pacaran serius penuh cinta. Dan Raymond gagal mempertahankan mahligai rumah tangga setelah tiga tahun menikah.
Mereka membuktikan, gagal bukan berarti akhir dari kisah. Melainkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru, lebih bernilai. Lahir dari karakter kuat, mandiri dan berani, setelah alami kegagalan.
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Ketika Hati Menyatu"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. KHM
...~•Happy Reading•~...
Setelah kakaknya keluar dari rumah, Nathania menghabiskan minuman dan makan beberapa cemilan, lalu masuk ke kamar untuk membongkar koper. Dia menata pakaiannya dalam lemari yang hampir kosong. Hanya ada beberapa pakaian rumah yang dia tinggalkan dan masih disimpan kakaknya.
Dia memilih pakaian rumah yang nyaman, lalu masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh yang penat. Supaya bisa istirahat sambil menunggu kakaknya kembali ke rumah.
Setelah mandi, Nathania mengangkat penutup tempat tidur, lalu membaringkan tubuh, perlahan. Seprei lembut dan harum sangat nyaman untuk istirahat. Matanya meredup, namun pikirannya tiba-tiba tertuju pada apa yang sudah dia tinggalkan di Jakarta, terutama Amelia.
'Amel, maafkan aku belum bisa bicara denganmu. Aku sedang mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menceritakan keputusanku. Sukses selalu, teman dan saudaraku.' Mulai turun hujan di hatinya dikala teringat Amelia. Tanpa sadar, air matanya mengalir saat memejamkan mata.
~*
Beberapa waktu Nathania tertidur karena kelelahan lahir batin. Dia tidak terbangun, bahkan oleh suara canda tawa di luar kamar. Nike yang menyadari adiknya belum juga bangun, jadi cemas.
Nike membuka pintu kamar untuk melihat keadaan adiknya. "Dek, bangun..." Nike menepuk pelan pipi Nathania yang masih tertidur lelap.
Perlahan Nathania membuka mata dan menyesuaikan dengan keadaan. Ketika melihat Nike berdiri melihatnya, Nathania segera bangun. Dia duduk di tepi tempat tidur dan menunduk untuk mengumpulkan kesadarannya.
"Loadingmu belum berubah, walau sudah tumbuh dewasa." Nike tersenyum melihat adiknya yang terus menunduk, diam.
"Kalau sudah full loadingnya, mari keluar makan malam dengan teman-temanku. Sekalian berkenalan dengan mereka." Nike berkata sembari memegang dan menepuk pelan bahu Nathania.
"Sudah malam, Kak?" Nathania terkejut mendengar mau makan malam. Dia melihat kakaknya dengan mata membulat.
"Iya, Dek. Makanya, perutmu, harus diisi." Nike berkata demikian, sebab sudah beberapa kali masuk melihat adiknya, tapi dibiarkan karena masih tidur nyenyak.
"Maaf, Kak. Aku ...." Nathania tidak jadi meneruskan ucapan, karena Ribka menepuk bahunya. "Nanti setelah makan dan semua pulang baru kita bicara." Nike mengulurkan tangan untuk mengajaknya keluar. "Iya, Kak."
Nathania merapikan rambut lalu turun mengikuti kakaknya keluar kamar. "Teman-teman, ini adikku Thania sudah pulang." Nike mengajak teman-temannya berkenalan dengan Nathania. "Kenalan, sekalian ke ruang makan, ya." Nike melanjutkan.
"Kau sudah dewasa dan makin cantik, Thania." Bisik salah satu teman pria kakaknya saat menyalami. Nathania yang tadinya hanya menyalami, jadi intens melihat teman-teman kakaknya.
"Sudah lupa padaku?" Bisik teman kakaknya lagi sambil tersenyum.
"Eh, Mas Didit. Mas Didit, kan?" Nathania menebak, karena senyum yang familier, tapi dia ragu-ragu.
"Ternyata masih ingat. Apa kabarmu." Didit memegang pundak Nathania dan tersenyum lebar.
"Baik, Mas. Aku hampir ngga kenal. Mas Didit sangat berubah. Makin keren." Nathania tidak ragu memuji, karena sudah kenal Didit sebagai teman kakaknya sejak dia masih SMP.
"Ah, sudahlah. Simpan pujianmu. Nanti kita ngobrol lagi." Didit kembali menepuk bahunya.
"Ada apa ini? Kenapa macet di sini?" Nike datang dari ruang makan, karena belum ada lagi yang masuk ke ruang makan.
"Ada yang kangen-kangenan." Suara riuh canda dan tawa dari belakang.
"Hm, Mas Didit. Aku kira mau jadi kakak iparku." Bisik Nathania sebelum Didit berlalu.
"Ssssstttt... Jangan bikin rendang berubah warna." Ucap Didit sambil berlalu, membuat Nathania tersenyum.
"Kenapa kalian berdua senyam-senyum?" Bisik Nike sambil melihat Nathania dan Didi bergantian.
"Thania mau kasih jatah rendangnya buat aku." Ucap Didit sambil mengangkat tangan ke arah Nathania.
"Makan dulu, baru ngobrol." Nike mendorong Didit masuk ke ruang makan.
~*
Setelah makan, teman kakaknya membicarakan banyak hal. Canda tawa teman-teman kakaknya membuat Nathania melupakan sejenak persoalan hati dan pekerjaannya.
"Thania, lupa dengan temanku ini?" Nike memegang lengan Nathania sambil menunjuk seorang wanita cantik dan lembut kepadanya.
"Maaf, Kak. Lupa." Nathania mengingat-ingat, tapi tidak ada sebuah nama yang diingat.
"Kau lupa sama Magda?" Nike mengingatkan.
"Oh, Kak Magda. Teman Kak Nike yang pakai kaca mata...." Nathania tidak meneruskan, kaca mata tebal. "Kak Magda sudah ngga pakai kaca mata, jadi berubah. Kakak sekarang sangat cantik." Pujian Nathania membuat wajah Magda memerah.
"Pujian dari gadis cantik sepertimu sangat berbeda aromanya. Nanti selesai acara kakakmu, aku traktir." Magda sangat senang mendengar pujian Nathania.
"Simpan traktirmu. Fokus buat yang mau married." Didit mendekat, sambil mencolek bahu Magda.
"Dek, kalau perlu bantuan di hari H, cari kedua temanku ini. Mereka tahu apa saja yang harus dilakukan." Ucapan Nike membuat Didik menyingkir, tapi Magda tersenyum. Nathania simpan di hati pesan kakaknya, karena kedua teman kakaknya itu yang dia kenal baik.
Kemudian dia mereka fokus mendengar penjelasan Wedding Organizer (WO). Walau bukan pernikahan yang mewah, tapi kakaknya mengatur dan merencanakan dengan baik. Oleh sebab itu, Nathania menyimak semua yang sudah diatur kakaknya dengan pihak WO, teman-teman kuliah dan gereja.
Nathania lebih konsentrasi, karena baru pertama ikut dan pernikahan tinggal menghitung hari. Jadi dia memperhatikan setiap detail, termasuk tugasnya di hari H sebagai pendamping kakaknya, mengganti orang tua.
"Kak, bisa kita bicara?" Bisik Nathania kepada kakaknya yang sedang bicara dengan WO.
"Sebentar, Dek. Aku juga mau bicara denganmu, tapi tunggu mereka pulang dulu, ya." Nike balik berbisik.
"Ok, Kak. Kalau begitu, aku tinggal sebentar." Nike mengangguk. Nathania menuju dapur untuk bertemu Bibi yang sudah lama bekerja dengan mereka.
"Bi Sena, apa kabar..." Sapa Nathania pada Bibi yang sedang membersihkan peralatan kotor.
"Alhamdulillah, Non. Bibi sehat. Non juga, apa kabar? Sekarang Non makin tinggi dan cantik." Bibi Sena tersenyum senang melihat lagi Nathania yang sudah dikenalnya sejak remaja, sejak orang tuanya masih ada.
"Waaaah, makasih, Bi. Maaf ya, Bi. Tadi pulang buru-buru, jadi ngga sempat bawa ole-ole." Nathania merasa tidak enak, karena tidak membawa sesuatu. "Tidak apa, Non. Yang penting Non berdua sehat, dan Non Thania sudah pulang buat hari bahagia Non Nike.
"Makasih, Bi. Aku mau minta tolong. Kalau sudah beres, Bibi tolong buatkan wedang jahe buat kami berdua, ya. Kami mau ngobrol di paviliun." Bisik Nathania.
"Siap Non. Nanti Bibi siapkan." Bibi Sena sangat senang, karena Nathania masih ingat wedang jahe buatannya.
Jika pulang ke rumah, Nathania selalu minta dibuatkan wedang jahe. Apa lagi mau duduk berbincang santai dengan kakaknya di teras paviliun pada malam hari.
"Ada apa, Dek. Itu pada mau pamit pulang." Nike mencari Nathania ke kamar dan akhirnya ketemu di dapur.
"Oh, iya Kak, Maaf. Keasyikan sama Bibi." Nathania berjalan cepat ke teras.
"Nanti selesai acara, kita ngobrol, ya." Bisik Didit sebelum pamit.
"Sana pulang. Sudah malam." Nike mendorong bahu Didit sambil tersenyum.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
seneng bgt liat cara ngomong nya Rey, dia sopan sama org, kecuali sama belva