Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
[Slow Burn]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Don’t call me brother
Leonhard menghembuskan asap rokok ke udara. Dia sedang mendinginkan kepalanya yang sempat panas dengan perbincangan di dalam. Dia juga sangat ingin melemparkan pukulan di wajah Nikko.
Udara malam menampar kulitnya, tapi itu lebih baik daripada harus berlama-lama di ruang makan bersama dua orang yang membuat darahnya mendidih. Leonhard menunduk sedikit, matanya fokus pada bara rokok di ujung jarinya.
Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskan asap lagi. Asap putih itu membentuk pusaran tipis di udara sebelum hilang terbawa angin.
Sialan.
Dia tahu Nikko sengaja membawa topik kedekatannya dengan salah satu mahasiwi di depan pamannya. Itu bukan sekadar provokasi biasa. Nikko sedang menguji batasnya. Mencari tahu seberapa jauh Leonhard akan melangkah demi melindungi gadis itu.
Jari-jarinya mengetuk pelan batang rokok, abu jatuh ke tanah. Leonhard menatap kosong ke halaman, pikirannya berlari cepat.
Nikko sudah tahu. Atau setidaknya, cukup tahu untuk jadi ancaman.
Satu kesalahan kecil, dan Selina bisa terseret ke dalam dunia yang selama ini dia sembunyikan darinya—dunia yang penuh jebakan, utang darah, dan pengkhianatan.
Leonhard menatap langit yang gelap, rahangnya mengeras.
“Lo sentuh dia, Nikko,” gumamnya pelan, dingin. “Gue pastiin, lo gak akan sempat nyesel.”
“What did you say?”
Leonhard membalikkan badannya saat mendengar seseorang menyauti ucapannya.
Nikko. Dia sudah berdiri tepat di belakangnya. Puntung rokok juga tersemat di jarinya. Dia menyesap rokoknya kemudian membuang asepnya ke depan wajah Leonhard. Leonhard hanya diam dan membiarkan asap rokok itu menyapu wajahnya.
“Kamu mau apa lagi?” tanya Leonhard datar.
Nikko tertawa. “Kamu yang nyebut namaku duluan.”
Leonhard mendengus pelan, matanya tetap menatap Nikko. Selara untuk merokok pun hilang, dia menjatuhkan puntung rokok yang masih setengah panjang lalu menginjaknya.
Leonhard menatap Nikko untuk terakhir kali, lalu segera berjalan meninggalkannya.
“You should keep your eyes on her…” gumam Nikko, menatap kosong ke depan. Leonhard berhenti tepat di sampingnya. Rahangnya menegang.
“Don’t you dare touch her,” ucap Leonhard dibawah nafasnya.
Nikko mendengus kecil. “Tergantung…”
Mendengar itu, Leonhard tidak bisa diam saja. Dia mendekat sehingga wajah mereka sedikit lebih dekat.
“Kenapa? Takut aku bikin sadar kalau kamu bukan pahlawan baik?”
Leonhard tidak menjawab.
“Aku cuma bilang… kalah kamu gak bis jagain dia, orang lain bisa ambil alih. Kamu tau dunia kita gak sebersih itu.”
Leonhard mencengkeram kerah Nikko, menariknya mendekat sampai wajah mereka nyaris bersentuhan.
“I know what you did, Nikko. Stop before you have to pay with your life.”
Nikko tidak terkejut. Senyum sinisnya malah melebar, mata hitamnya berkilat seperti yang sedang menunggu hiburan.
“You’re so funny, brother—”
“Don’t call me that.” Leonhard mengencangkan cengkraman pada kerah Nikko.
Nikko mengangkat tangannya sebagai pembelaan lalu dia menarik nafas pelan, pura-pura tenang sambil memasang senyum lebar.
“Kamu ngomong apa? I don’t understand whatever you’re trying to say.” Suaranya manis—terlalu manis sampai bikin merinding Leonhard.
Leonhard tidak melepaskan pegangan di kerahnya, cuma menekan sedikit, cukup untuk bikin Nikko merasakan ketegangan. Matanya dingin, hampir tanpa emosi. “Jangan pura-pura tuli. Aku nggak mau denger alasan murahan. Kamu tau persis apa yang aku mau dengar: berhenti. Sekarang.”
Nikko menatapnya, pura-pura menimbang seolah benar-benar bingung. “Seriusan? Aku cuma main. Apa salahnya main dikit? Lagian, kamu juga suka main. Jangan hipokrit dong.”
“Apa yang kamu sebut ‘main’ itu nyawa orang, Nikko,” Leonhard mendesah, suaranya lebih pelan tapi tajam. “Aku nggak akan jelasin lagi. Kalau kamu paham—berenti. Kalau nggak… siapkan alasan terakhirmu.”
Nikko mengangkat bahu, ekspresi pura-pura tidak peduli. “Oke, oke. Aku paham. Kamu udah bilang, aku berhenti.” Dia tertawa kecil, menaruh telapak tangannya di dada seakan sedang bersumpah. Tapi matanya tidak pernah lepas dari Leonhard—mata yang sama-sama tahu kalau omongan itu cuma sandiwara.
Leonhard mengencangkan sedikit lagi cengkramannya, memeriksa reaksi Nikko lalu, akhirnya, melepaskan. Dia mendorong Nikko dengan satu dorongan dingin—cukup untuk mengingatkan batas, tapi bukan untuk memulai keributan fisik. “Ini terakhir kali aku ngasih peringatan,” katanya, dingin. “Jangan bikin aku buktiin.”
Nikko tertawa kecil, menepuk bahu Leonhard seperti tak ada apa-apa. “Santai. Kita keluarga, kan? Drama begini malah bikin seru.”
Leonhard memandangnya beberapa detik lagi. Ada sesuatu yang haus di matanya—bukan kemarahan yang meledak, melainkan keputusan yang sudah diasah. Dia menoleh, berjalan ke pintu, dan berhenti sebentar.
“Jangan ganggu hidupnya,” ucapnya setengah berbisik, bukan pada Nikko tapi pada dirinya sendiri. “Atau kamu bakal ngerasain bukan sekadar kehilangan—tapi pembelahan.”
Lalu dia pergi meninggalkan Nikko di halaman itu—menaiki mobilnya ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini.
Dia menyalakan mesin tanpa menunggu penuh panas. Suara raungan mobil membelah keheningan malam yang terlalu tenang. Leonhard menatap sekilas kaca spion—bayangan Nikko masih berdiri di depan rumah, satu tangan di saku, senyum sarkastik itu belum juga hilang.
Jari Leonhard mengetuk setir. Sekali. Dua kali. Rahangnya mengeras lagi. Otaknya berputar, menyusun kemungkinan—berapa banyak langkah Nikko sudah ambil di belakangnya? Siapa yang dia suruh? Dan yang paling penting, sampai sejauh mana dia tahu tentang Selina?
Lampu depan menerangi jalan panjang menuju gerbang rumah keluarga itu. Leonhard menurunkan kaca jendela, menyalakan sebatang rokok, menarik napas dalam seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaganya tetap waras.
“Dia nyentuh Selina, satu inci aja…” gumamnya pelan, menatap kosong ke depan. “Gue gak bakal pikir dua kali.”
Mobil melaju keluar dari area rumah. Begitu roda melewati gerbang, Leonhard baru sadar kalau tangan kirinya masih menggenggam erat setir sampai buku jarinya memutih.
Dia mencoba menenangkan napas. Tapi percuma—kepala dan dadanya masih sesak. Bayangan wajah Selina terus muncul di sela-sela pikirannya, bersamaan dengan tawa Nikko yang masih terngiang di telinga.
“Lo bahkan gak tau siapa yang lo mainin, Nikko,” katanya lagi, kali ini lebih rendah, nyaris seperti janji. “Dan lo bakal nyesel.”
Mobil terus melaju, meninggalkan rumah besar yang perlahan tenggelam di cermin belakang—bersama sisa masa lalu yang selalu menjeratnya kembali.
Ponsel Leonhard bergetar di dashboard. Dia langsung meraihnya, menekan nomor Raghav tanpa pikir panjang. Dua dering—disambut suara berat yang sudah siap siaga.
“What’s up?”
Leonhard menyalakan mode hands-free, matanya tetap fokus ke jalan. “Raghav, dengerin baik-baik. Gue mau lo perketat semua orang di perimeter bar. Khususnya shift malam.”
Raghav terdengar bingung. “Ada apa? Lo nemu sesuatu?”
“Bukan nemu,” jawab Leonhard pendek. “Tapi gua udah yakin siapa dalangnya. Nikko.”
Suara di seberang langsung berubah tegang. “Lo yakin? Semuanya kerjaan dia termasuk orang yang stalk Selina—”
“Bisa jadi cuma pembuka.” Leonhard menepuk jari di setir, nadanya datar tapi tajam. “Kalau Nikko mulai main di wilayah gua, itu artinya dia lagi nguji batas.”
“Gua suruh anak-anak siapin perimeter baru?”
“Gua mau semua transaksi, semua gerakan, semua wajah baru yang nongol—catat. Gua gak mau ada yang luput.”
Raghav sempat terdiam sebentar. “Terus soal Nikko sendiri?”
Leonhard menghela napas berat, menatap jalan kosong di depan. “Biarin dulu. Gua mau liat seberapa jauh dia berani jalan tanpa sadar kakinya udah nginjak ranjau.”
Raghav tidak menjawab. Diamnya cukup lama sampai Leonhard menambahkan dengan nada rendah.
“Dan satu lagi—jangan kasih Selina tahu soal ini. Gua gak mau dia ketakutan.”
“Copy that.”
Leonhard mematikan panggilan dan melempar ponsel ke kursi penumpang. Matanya tetap tajam menembus kaca depan.