Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Aulia Diusir
Suasana ruang rawat VIP itu kian tegang. Rumi terbaring lemah, masih dipantau perawat. Aulia berlutut di lantai dengan wajah penuh air mata, sementara Julian berdiri tegak, dingin seperti patung marmer.
Di sisi lain, Mama Liora yang sejak tadi memperhatikan sudah tak sabar. Ia gemas. Tanpa pikir panjang, Mama Liora meraih ponsel dari tas tangan bermerek yang tersampir di kursi. Suaranya terdengar tegas, penuh wibawa.
“Pak Yadi, bawa mobil ke depan lobi. Naik ke lantai tiga sekarang juga. Kamu pulang bawa Aulia. Jangan tanya kenapa—pokoknya sekarang.”
Beberapa menit kemudian, langkah kaki sopir pribadi keluarga itu terdengar tergesa memasuki lorong lantai tiga. Begitu pintu VIP kamar terbuka, Aulia masih terisak, tubuhnya gemetar, sementara Julian berdiri dengan wajah keras.
“Aulia!” Suara Mama Liora melengking, penuh kekecewaan bercampur amarah. Ia melangkah cepat, menghampiri adiknya Tisya itu. “Kamu ikut Pak Yadi pulang sekarang juga! Jangan buat malu keluargamu lebih jauh lagi.”
Aulia mendongak, matanya sembab. “T-tante … aku cuma ingin—”
“Diam!” bentak Mama Liora, matanya berkilat tajam. “Rumi hampir celaka gara-gara ulahmu! Apa kamu sudah kehilangan akal sehat?”
Pak Yadi dengan sigap membantu berdirikan Aulia. Meski mencoba menolak, tubuh Aulia terlalu lemah, wajahnya pucat pasi. Ia hanya bisa terisak ketika ditarik keluar ruangan.
Julian, tanpa menoleh, menyerahkan gelas jus jeruk yang masih tersisa kepada salah seorang perawat. Suaranya datar, namun tegas.
“Bawa ini ke laboratorium. Saya ingin hasil analisis lengkap sore ini juga. Segera laporkan pada saya kalau sudah ada kepastian kandungannya.”
Perawat itu mengangguk cepat, lalu pergi membawa gelas tersebut.
Aulia sempat menoleh ke belakang sebelum pintu tertutup, menatap Julian dengan mata penuh benci dan frustrasi. Dalam hatinya, ia merutuki kebodohannya sendiri.
“Sialan … kenapa aku begitu gegabah? Aku kira Kak Julian bakal lama di bawah, tapi dia begitu cepat kembali. Kalau saja aku lebih sabar, Rumi pasti sudah pingsan lebih dulu sebelum ada yang menyadari ….”
Pintu pun tertutup. Lorong kembali sepi. Aulia dibawa menjauh, bersama rasa kesalnya yang membara.
***
Di dalam ruangan, keheningan hanya dipecahkan oleh suara mesin infus yang menetes perlahan. Hari menjelang sore, cahaya matahari masuk dari jendela besar, membuat ruangan berwarna keemasan.
Rumi perlahan membuka mata. Tubuhnya masih lemah, tapi ia sudah sedikit sadar. Seorang perawat masuk membawa segelas susu steril.
“Bu Rumi, coba diminum ya. Ini akan membantu memulihkan tenaga Ibu,” ucap perawat itu lembut.
Rumi tersenyum samar, lalu mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima gelas. Julian yang sejak tadi duduk dengan laptop di pangkuannya hanya melirik sekilas. Tatapannya tetap dingin, tapi sorot matanya seakan memastikan Rumi mampu memegang gelas itu tanpa menjatuhkannya.
“Pelan-pelan saja minumnya,” katanya datar, sebelum kembali menunduk ke layar laptop.
Setelah meneguk beberapa kali, Rumi menghela napas lega.
Tiba-tiba tangisan pelan terdengar dari boks bayi di sudut ruangan. Baby Kenzo menggeliat, wajah mungilnya memerah.
Nia segera bangkit. Ia mendekati ranjang, mengecek popok bayi itu. “Waduh, ternyata basah. Pantas rewel.”
Dengan sigap ia mengganti diapers baby Kenzo. Setelah bersih, Nia menggendong bayi itu lalu berjalan ke arah ranjang Rumi.
“Mbak Rumi, sepertinya Kenzo mau menyusu,” katanya sambil tersenyum.
Rumi mengangguk lemah. Ia membuka sedikit selimut, lalu menerima Kenzo ke dalam pelukannya. Begitu menyentuh dekapan ibu susunya, bayi itu berhenti menangis, langsung mencari sumber susu.
Suasana kamar seketika berubah hangat. Rumi menatap wajah kecil Kenzo yang tenang dalam pelukannya, hatinya luluh meski tubuhnya masih sakit.
Julian, dari kursinya, sempat menghentikan jemari yang mengetik di keyboard. Matanya menatap pemandangan itu sekilas. Ada sesuatu yang bergetar di balik dinginnya sorot mata, tapi hanya sesaat sebelum kembali ia alihkan perhatiannya ke layar laptop.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Dialah Bu Ita, ibu Rumi.
“Rumi! Astagfirullah … Nak, kamu kenapa?” serunya dengan suara bergetar. Ia segera menghampiri ranjang, menyingkirkan Nia yang berdiri di sisi tempat tidur.
Rumi tersenyum tipis. “Ibu … aku nggak apa-apa. Cuma kecapean.”
Bu Ita menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu jika putrinya sedang berbohong. “Kamu ini … bikin Ibu cemas saja. Tadi Ibu dapat telepon … katanya kamu pingsan?”
Mama Liora yang sejak tadi duduk di sofa bangkit, menghampiri mereka. “Tenang, Bu Ita. Semua sudah terkendali. Untung ada sopirnya Julian yang sigap. Kalau tidak … entah apa jadinya.”
Bu Ita menoleh, menatap Julian yang masih duduk dengan laptop. “Terima kasih banyak, Pak Julian. Kalau bukan karena Bapak ….” Suaranya tercekat, hampir menangis.
Julian menutup laptopnya perlahan, lalu bangkit. Gerakannya tenang, sikapnya tetap dingin. “Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Keselamatan Rumi … tidak bisa ditawar.”
Rumi menunduk, wajahnya memerah entah karena malu atau terharu.
Bu Ita menggenggam tangan putrinya erat. “Nak, maafin Ibu ya ... Kamu begini karena mereka, kan? Ibu juga diusir, tidak bisa menunggu kepulangan kamu di sana ... Ibu benar-benar tidak menyangka kalau ibu mertuamu itu—” Suaranya tercekat, air matanya jatuh.
“Ibu … jangan menangis. Sekarang aku baik-baik saja. Lihat, Kenzo pun bisa menyusu dengan tenang,” jawab Rumi pelan, mencoba menenangkan, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Meski ia tahu arah bicara ibunya.
Mama Liora menepuk bahu Bu Ita lembut. “Rumi memang anak yang kuat, Bu. Dia hanya kelelahan, dan sekarang sudah di tangani oleh dokter. Maka dari itu dia kami rawat di sini,” jelasnya.
Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara hisapan kecil dari bayi Kenzo.
Julian akhirnya bersuara lagi, nadanya dingin tapi jelas. “Rumi tadi juga hampir keracunan melalui minuman, tapi saya sudah mengirim sisa jus ke laboratorium. Begitu ada hasil, kita akan tahu apa sebenarnya yang dimasukkan ke dalamnya.”
Semua terdiam, menoleh pada Julian.
Rumi menatapnya, suaranya lirih. “Pak Julian … jangan salahkan Mbak Aulia terlalu keras. Saya yakin dia hanya … khilaf. Apa yang dikatakan Mbak Aulia itu benar, seharusnya Bapak lebih memerhatikan istri ketimbang saya. Akhirnya timbul kesalahpahaman.”
Julian menatap Rumi lama, dingin tapi menusuk. “Khilaf tidak akan pernah jadi alasan untuk mengancam nyawa seseorang.”
Bu Ita mengangguk setuju. “Benar kata Pak Julian, Nak. Kamu terlalu baik, selalu memaafkan.”
Wanita itu tersenyum getir saat beradu pandang dengan ibunya. Banyak hal yang ingin ia ceritakan, namun keadaan yang tidak bisa membuat ia leluasa untuk bercerita.
Bersambung .... ✍️
Mampir yuk ke karya Author Aisyah Alfatih
latihan jadi suami siaga kah...?
😂😂
jul-jul.. awas aja klo laper tengah malem, terus gak bisa bantu...
makiin menjurus ni.... 😉
tolong sus klo tau sesuatu kasih tau Rumi,,tp klo suster jg terlibat d dalam nya..siap2 pintu hotel prodeo terbuka lebar lebar suuus!!!