Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Buruk
Tiga hari kemudian..
Setiap kali, setelah Selene datang. Sikap Orion selalu berubah, meskipun tidak separah sebelumnya. Tapi cukup untuk terlihat perbedaaanya. Dia lebih banyak diam. Meskipun fisioterapi tetap berjalan, tapi tatapannya sering kosong.
“Rion, ayo mulai latihan duduk-ke-berdiri lagi, ya?” Luna mencoba tersenyum, menatapnya lembut.
Orion tidak menjawab. Ia hanya menatap alat bantu di depannya, lalu menunduk.
“Kalau kamu terus diam kayak gitu, aku nggak tahu harus gimana bantu kamu,” ujar Luna pelan.
Nada suaranya lembut, tapi ada rasa kecewa kecil yang tidak bisa disembunyikan.
Orion menghela napas pelan. “Aku cuma butuh waktu.”
“Kamu selalu bilang begitu.”
“Kamu nggak ngerti, Luna.”
“Coba jelasin, biar aku ngerti,” suaranya bergetar.
“Kalau kamu terus dorong aku keluar, aku harus bantu kamu gimana?”
Orion menatapnya, tatapan matanya tajam, tapi bukan marah lebih seperti seseorang yang takut kehilangan kendali.
“Aku nggak mau kamu jadi target, Luna.”
Luna menatapnya bingung. “Target?”
Tepat saat itu, suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponselnya dengan wajah penasaran.
Saat layar menyala, sesuatu di sana membuat darahnya seakan berhenti mengalir. Sebuah artikel di portal gosip besar terpampang di layar:
“Orion Delvano Reunited with His Ex, Selene Blade — Sang Mantan Tunangan Datangi Rumah Sakit Rahasia!”
Disertai foto Selene keluar dari lobi St. Claire Hospital bersama Damian dan satu gambar blur seseorang di taman,Luna.
Tangan Luna gemetar. Nafasnya pendek.
“Ini,ini nggak mungkin.”
Orion yang mendengarnya langsung mengambil ponsel itu dari tangan Luna. Matanya membaca cepat, rahangnya mengeras.
“Ini kerjaan Selene,” desisnya.
“Dia tahu media bakal mencium langkahnya. Dia sengaja datang buat ini.”
Luna menarik napas tajam. “Tapi… kenapa ada aku di foto itu? Mereka tulis aku bagian dari ‘pertemuan rahasia’. Rion, ini bisa merusak reputasi kamu lagi—”
“Sudah rusak!” suara Orion meninggi, memotong ucapan Luna.
“Aku udah rusak bahkan sebelum kamu datang!”
Luna tertegun.
Suaranya tercekat, tapi ia mencoba tetap tenang. “Aku cuma nggak mau kamu terseret hal ini lagi. Aku—”
“Kalau kamu nggak datang ke hidupku, semua ini nggak akan terjadi lagi!”
Kalimat itu keluar begitu cepat, lebih tajam dari yang seharusnya.
Keheningan langsung memenuhi ruangan.
Luna menatap Orion lama matanya berkaca-kaca, tapi dia tidak bicara.
Beberapa detik terasa seperti satu abad.
Akhirnya, Luna menunduk pelan.
“Kalau itu yang kamu pikir, aku minta maaf,” suaranya serak.
Ia berbalik, melangkah pergi sebelum air matanya jatuh.
“Luna, tunggu—”
Orion hendak memanggil, tapi kata-kata itu berhenti di tenggorokan. Suara pintu yang tertutup pelan jadi satu-satunya jawaban yang dia dapat.
Luna berlari keluar dari ruangan dengan rasa sakit di hatinya. Dia kembali pulang ke rumah, meringkuk di atas kasur. Isak tangisnya semakin pecah.
Damian masuk ke ruangannya dan mendapati Orion masih di tempat yang sama, menatap kosong ke jendela.
“Luna mana?” tanya Damian pelan.
Orion tidak menjawab.
Damian duduk di kursi seberang. “Kamu ngomong sesuatu yang nyakitin dia, ya?”
Orion menelan ludah, tidak menoleh.
“Aku nggak sengaja.”
“Dan kamu pikir diam bakal menyelesaikan semuanya?” ucap Damian sambil menepuk pundak Orion.
Orion menunduk.
“Aku cuma takut dia jadi sasaran gosip. Aku nggak mau dia semakin hancur. Kamu sendiri tau apa alasan dia berhenti dari dunianya. Aku takut dia ikut tersakiti."
Damian menghela napas panjang. “Kamu pikir dia nggak tahu resikonya waktu memutuskan bantu kamu?”
“Waktu bantu kamu, dia udah memutuskan memulai semuanya dari 0. Dia sebenernya gak akan lari dari masalah, dia cuma gak mau nambah masalah buat orang lain kalau muncul."
Orion menatap Damian, matanya mulai basah tapi ia menahan.
“Apa dia benci aku sekarang?”
“Kalau kamu terus diam,dia bakal yakin kamu beneran nggak butuh dia,” jawab Damian tegas.
“Padahal kamu butuh, kan?”
Orion tidak menjawab. Tapi dalam diamnya, rahangnya mengeras.
⸻
Luna masih meringkuk di atas kasur, dia masih tak berminat untuk beranjak pergi. Matanya sembab setelah berjam-jam menangis. Ponselnya terus bergetar notifikasi, komentar, artikel, semua berisi hal yang sama. Foto dirinya bersama Orion, spekulasi, sindiran, ejekan.
Ia mematikan ponselnya.
Hening.
Tapi di dalam hatinya, justru lebih berisik dari apa pun. Dia tidak marah. Hanya sedih. Karena untuk pertama kalinya, Orion berkata sesuatu yang benar-benar membuatnya merasa kecil.
“Kalau kamu nggak datang ke hidupku…”
Kata-kata itu terus bergema di kepalanya.
Luna menatap meja tempat kotak bekal yang belum sempat ia bawa tadi pagi. Sup hangat yang kini sudah dingin.
Dia menarik napas dalam, lalu tersenyum getir.
“Mungkin memang aku salah datang.”
Tapi di antara keheningan itu, ponselnya kembali bergetar. Satu panggilan masuk. Rupanya itu Kai.
"Halo.."
"Hai, Kai."
"Kamy baik-baik saja? Selene itu menang gila. Apa tidak lebih baik kamu pergi saja dari tempat itu? Disana sepertinya sudah tidak aman."
"Kamu kenal Selene?"
"Iya, beberapa kali bertemu di acara."
"Kenapa tidak memberi tau aku?"
"Aku belum sempat. Lagi pula kamu sudah jarang menghubungi aku, aku pikir kamu sibuk. maaf ya Luna."
"Aku juga minta maaf. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."
"Jadi sekarang bagaimana? Apa aku perlu jemput kamu? Mungkin sementara mau tinggal di tempatku?"
"Akan aku pikirkan dulu. Aku tidak enak dengan kak Dami."
"Ooh,baiklah. Kamu bisa hubungi aku kapan saja. Aku lega selama kamu baik-baik saja."
"Tenang saja Kak. Terimakasih sudah mengkhawatirkan aku."
"Sama-sama."