Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KABAR BURUK
Malam di Yogyakarta turun perlahan seperti tirai yang menutup panggung, meninggalkan lampu-lampu kota menyala sayup. Di lantai dua kos sederhana mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Lanang Damar Panuluh duduk menatap tumpukan buku dan laptop yang masih terbuka, namun pikirannya jauh dari semua itu.
Dari sejak petang, Sari—ibunya—tak kunjung membalas pesan. Itu bukan hal yang biasa. Ibunya mungkin sederhana, kadang pelupa, tapi jarang sekali menghilang tanpa kabar.
Ponsel Lanang bergetar tiba-tiba. Nomor tak dikenal.
Ia mengernyit, lalu mengangkatnya.
“Halo, dengan Lanang Damar Panuluh?” suara pria di seberang terdengar formal.
“Iya, betul. Ini siapa ya?”
“Saya dari Rumah Sakit Pemalang. Kami menghubungi karena Ibu Anda, Sari Retnowati, baru saja dibawa masuk ke IGD.”
Dunia Lanang runtuh seketika.
Suara bising jalan raya Yogyakarta menjadi hening. Jantungnya serasa jatuh.
“A-ada apa dengan Ibu saya?!” suara Lanang pecah.
“Tolong tenang, Mas. Kondisi beliau stabil, tapi kami perlu Anda datang secepatnya.”
Lanang langsung berdiri, tanpa sempat memakai sepatu dengan benar. Rengganis—temannya yang datang untuk belajar bersama—terpaku melihat kepanikan itu.
“Ada apa, Nang?!”
“Ibu… Ibu masuk rumah sakit!”
Rengganis tak bertanya lebih jauh. Ia langsung meraih tasnya.
“Ayo. Aku ikut.”
Perjalanan dari Yogyakarta ke Pemalang adalah perjalanan panjang. Namun malam itu terasa lima kali lebih panjang. Udara dingin menembus jaket, jalanan gelap, dan setiap menit terasa seperti ancaman.
Lanang tidak berhenti gelisah.
“Ganis… Ibu itu nggak pernah sakit separah ini. Selama ini paling cuma pusing karena mimpi-mimpi aneh itu… tapi nggak pernah sampai pingsan.”
Rengganis memegang bahunya, berusaha memberi kekuatan.
“Mimpi bisa membawa beban yang kita nggak sadari, Nang. Tapi kita hadapi dulu semua ini, ya?”
Lanang hanya mengangguk, matanya memerah.
Mereka tiba sekitar pukul satu dini hari. Rumah sakit sudah sepi, lampu-lampunya muram, dan udara dingin bercampur bau obat menyambut mereka.
Begitu Lanang menyebut nama ibunya, perawat langsung mengantarnya ke ruang dokter. Di sana, seorang dokter berusia sekitar lima puluhan menunggu. Rambutnya sedikit memutih, wajahnya letih tapi ramah.
“Mas Lanang?” tanyanya.
“Iya, Dok. Bagaimana keadaan Ibu saya?”
“Silakan duduk dulu.”
Lanang tidak ingin duduk. Tapi Rengganis menarik lengannya, memaksanya duduk agar tidak jatuh.
Dokter membuka berkas hasil pemeriksaan.
“Kondisi Ibu Anda stabil sekarang. Tapi yang membuat kami khawatir adalah penyebabnya.”
Lanang menegang.
“Mas… apakah Ibu Anda pernah mengalami kecelakaan, atau kejadian berat yang membuat beliau berusaha mengingat sesuatu dengan sangat keras?”
Lanang menggeleng cepat.
“Setahu saya… nggak pernah. Ibu saya nggak pernah cerita apa pun soal kecelakaan.”
Dokter menghela napas, lalu bertanya lebih lembut.
“Kalau begitu… apakah beliau sering mengalami mimpi aneh? Atau mengeluh tentang hal-hal yang sulit ia ingat?”
Lanang menunduk. Pertanyaan itu seperti menyentuh luka.
"Iya, Dok… sering. Ibu sering bilang mimpi-mimpinya seperti potongan-potongan kenangan. Bikin dia gelisah. Dan setiap kali dia coba mengingat… kepalanya selalu sakit. Seperti mau pecah.”
Dokter mengangguk pelan, seolah itu adalah potongan terakhir dari sebuah teka-teki besar.
“Itu yang membuat beliau mengalami penggumpalan darah mikro di area tertentu di otaknya.”
Lanang terdiam. Dunia tiba-tiba berputar.
Dokter menunjukkan hasil CT-scan.
“Ini… lokasi gumpalan darahnya. Cukup sensitif. Bukan kondisi yang bisa diatasi dengan obat biasa.”
“Jadi… jadi apa maksudnya, Dok?” suara Lanang pecah.
“Kami… tidak memiliki fasilitas mikro-bedah untuk operasi jenis ini di sini.”
Dokter menarik napas panjang.
“Mas Lanang, tindakan terbaik adalah membawa Ibu Anda ke luar negeri. Amerika adalah opsi yang paling siap untuk menangani prosedur ini.”
Kursi di bawah Lanang seakan hilang.
“Ke… Amerika…?” suaranya nyaris tidak terdengar.
“Kalau tidak segera ditangani, kondisi ini bisa memburuk. Dan itu bukan risiko yang bisa ditunda lama.”
Lanang menutup wajahnya. Rengganis menggenggam punggung tangannya.
"lanang… aku di sini. Tenang, kita cari jalan.”
“Tapi Ganis… aku masih kuliah. Aku kuliah… aku nggak bisa tinggalin Ibu. Tapi… Ibu butuh perawatan. Aku… aku harus milih apa?!”
Air mata jatuh, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun.
Dokter memberi waktu mereka untuk bernapas, lalu melanjutkan dengan sangat hati-hati.
“Satu hal lagi yang harus Mas tahu. Setelah operasi, pemulihan akan lama. Sangat lama. Bisa berbulan-bulan bahkan lebih.”
Lanang merasa jantungnya diputar keluar.
“Jadi… berarti aku harus pindah kuliah… di Amerika…?”
“Jika Mas ingin tetap mendampingi Ibu, iya.”
Pukul tiga dini hari, Lanang sudah duduk di kursi panjang rumah sakit, lelah dan kosong. Rengganis duduk di sampingnya, mengusap bahunya.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Pak Aldo.
Dosen sekaligus mentor yang selama ini membimbingnya.
Lanang mengangkat, suaranya bergetar.
“Halo, Pak…”
“Lanang, Rengganis kabari saya. Kamu di rumah sakit?”
Lanang tak bisa menahan suaranya. “Iya, Pak… Ibu saya… harus dioperasi. Tapi cuma bisa di luar negeri…”
Di seberang, terdengar helaan napas berat.
“Dengar saya baik-baik, Lanang. Kamu tidak sendirian.”
“Pak…”
“Saya punya koneksi di Amerika. Rumah sakit, universitas, semuanya. Kalau kamu harus pindah, saya bisa siapkan jalurnya. Saya bisa urus equivalence mata kuliahmu.”
Lanang terdiam. Air matanya jatuh tanpa suara.
Rengganis tersenyum lirih di sebelahnya.
“Lanang… lihat? Tuhan bukain jalan.”
Pak Aldo melanjutkan, tegas dan penuh kepastian.
“Kamu jaga Ibu kamu. Sementara saya siapkan jalurnya. Begitu dokumen rumah sakit siap, saya ikut mengantar kalian berangkat.”
Untuk pertama kalinya malam itu, dada Lanang tidak sesakit sebelumnya.
“Terima kasih, Pak… terima kasih banyak…”
“Nang,” suara Aldo melembut, “anak sebaik kamu tidak boleh menghadapi ini sendirian.”
Pagi sedikit merayap masuk ketika Lanang akhirnya masuk ke ruang rawat di mana Sari berbaring. Tubuh ibunya tampak rapuh, namun wajahnya damai.
Lanang duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya.
“Ibu… maafin aku. Aku nggak ada di dekat Ibu waktu Ibu jatuh…” suaranya parau.
Sari membuka mata perlahan, senyum tipis muncul.
“Lanang… kamu datang…”
“Iya, Bu… Nang di sini.”
Sari menatap putranya lama sekali, seolah berusaha memastikan wajah itu masih sama.
“Maafkan Ibu, Nak… Ibu… Ibu cuma mau mengingat… tapi selalu sakit…”
Lanang mencium tangan ibunya. “Nggak apa-apa, Bu. Kita akan berobat. Kita akan sembuhin Ibu. Kita berangkat… ke luar negeri.”
Sari mengerutkan kening, bingung. “Luar negeri…? Nang kuliah…?”
Lanang menahan napas, lalu tersenyum.
“Lanang ikut Ibu. Di mana pun Ibu sembuh… di situ rumah Nang.”
Air mata Sari jatuh pelan.
Bagi seorang ibu, kalimat itu lebih menyembuhkan daripada obat apa pun.
Dua minggu setelahnya dunia bergerak cepat:
Dokumen medis diproses.
Pak Aldo bolak-balik mengurus administrasi ke UGM.
Kontak rumah sakit di Boston disiapkan.
Kedutaan dipanggil.
Visa darurat diurus.
Setiap hari Lanang pulang pergi Yogyakarta–Pemalang, mengurus kuliah, memindahkan berkas, menandatangani surat-surat penting.
Sari menjalani perawatan sementara, namun kondisinya tetap rapuh.
Rengganis membantu mengemas barang-barang Sari, memastikan semuanya siap.
Pada hari keberangkatan, saat ambulans bandara menjemput Sari, seluruh warga Desa Gumalar berkumpul.
“Nang, jaga Ibu baik-baik, ya,” kata Kepala Desa sambil menepuk pundaknya.
“Insya Allah, Pak.”
Rengganis berdiri paling dekat, matanya memerah.
“Kamu harus pulang suatu hari, lanang,” katanya lirih.
Lanang mengangguk. “Aku pasti pulang.”
Pak Aldo masuk ke mobil bandara lebih dulu.
“Yuk, Nang. Waktunya.”
Lanang menatap desanya, menatap rumah yang telah membesarkannya, menatap semua masa kecil dan kenangan sederhana yang harus ia tinggalkan sementara.
Lalu ia masuk ke mobil, menggenggam tangan ibunya yang terbaring lemah.
Pesawat yang membawa mereka ke Amerika lepas landas perlahan, meninggalkan garis-garis sawah Pemalang yang tampak kecil dari jendela.
Perjalanan baru dimulai.
Perjalanan yang kelak akan mengantarnya pada kebenaran yang selama ini tersembunyi —
dan pada dunia yang tak pernah ia bayangkan.
Ketika mobil mulai berjalan, Sari sempat membuka mata.
Ia melihat Rengganis berdiri di belakang Lanang, menahan air mata, sambil mengangkat tangan memberi salam perpisahan.
Dan Sari merasakan sesuatu yang hangat menyentuh hatinya.
Seperti naluri seorang ibu yang tiba-tiba mengerti…
Gadis itu tulus.
menarik