Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Tulus atau Iba?
Seorang berjas putih kini sudah menatap Alma dengan begitu dalam. Perempuan itu sudah menceritakan semuanya. Di mana rasa sakit di tubuhnya yang biasa datang dan pergi tanpa permisi. Kini, sudah tak sering datang.
"Obat pun sudah jarang saya minum, Dok."
Senyuman melengkung di wajah dokter lelaki tersebut. Perkembangan baik yang dia lihat.
"Semoga bulan depan rasa sakit itu enggak akan pernah datang lagi, ya."
Alma hanya terdiam. Tatapannya begitu dalam ke arah dokter Jefran.
"Dok, apa ada orang lain yang tahu tentang sakit saya ini selain dokter dan saya?"
Pada saat Alma sudah menekan gagang pintu untuk masuk ruangan dokter Jefran, samar Alma mendengar nama Anggasta disebut ketika dokter yang menanganinya itu berbicara dengan seseorang via sambungan telepon.
"Dokter bilang kan kalau saya ingin sembuh hindari sesuatu yang buat saya stress. Tapi, kenapa dokter malah buat saya overthinking?"
Tamparan kerasa mengenai hati dokter Jefran. Dia tak ingin berterus terang, tapi melihat wajah Alma yang tengah menahan kesakitan, akhirnya dia menjawab apa yang Alma tanyakan. Ketika mendapat jawaban, gantian tubuh Alma yang menegang.
"Jadi, dia menerima permintaan opa karena dia tahu tentang sakit aku?"
Terduduk di pinggir danau yang begitu gelap. Menatap pantulan cahaya bulan di atas air danau yang tenang. Hal manis yang pernah Anggasta berikan kepadanya mulai berputar. Bulir bening dibarengi senyum penuh kesedihan pun muncul.
"Apa dia tulus? Atau hanya sekedar iba?"
Rasa sakit semakin hadir. Alma hanya bisa menunduk dengan air mata yang berjatuhan karena rasa sakit di tubuhnya yang sangat tak tertahan. Bahkan, kini dia meringkuk di pinggir danau.
Di lain tempat, Anggasta nampak sangat cemas karena ponsel Alma tak bisa dihubungi. Apalagi, dia mendapat kabar jika Alma sudah tahu perihal dirinya yang sudah tahu tentang penyakit sang calon tunangan. Dia tak ingin Alma berpikiran aneh-aneh serta melakukan hal yang buruk.
Suara petir yang terdengar dicerahnya malam membuat perasaan Anggasta semakin tak enak. Diraihnya kunci mobil dan bergegas menuju kediaman Alma. Baru saja keluar dari perkomplekan, hujan deras turun tanpa aba. Semakin tak tenang hati Anggasta.
Kepala Anggasta semakin berdenyut karena ternyata di rumah pun Alma tak ada. Asisten rumah tangga mengatakan jika Alma belum pulang.
"Di mana kamu, Al?"
Baru saja menghidupkan mesin mobil, seorang perempuan memasuki halaman rumah opa Setta dengan langkah gontai. Anggasta segera turun dari mobil dengan membawa payung. Tubuh yang sudah basah kuyup kini tak diguyur hujan lagi.
Tak ada pertanyaan ataupun perkataan. Pundak sempit itu mulai Anggasta rangkul dan mengajak perempuan itu masuk ke dalam.
"Aku panggilin Mbak dulu buat ambilin han--"
"Jangan berikan aku iba. Kamu harus bahagia."
Tubuh Anggasta menegang mendengarnya. Lelaki itu mulai menatap Alma yang sudah pucat dengan tubuh yang sedikit menggigil.
"Masih ada waktu untuk kamu membatalkan pertunangan ini. Biar semua resiko aku yang tanggung."
Tak ada jawaban. Lelaki itu malah meninggalkan Alma dan pergi ke ruangan lain. Senyum tipis Alma ukirkan dan tetesan air hujan yang membasahinya seperti mewakili air mata yang enggan untuk keluar.
Anggasta kembali dengan membawa bathrobe dan memakaikannya di tubuh Alma. Serta rambutnya yang basah mulai lelaki itu keringkan dengan handuk yang juga dia bawa.
"Mbak lagi buatin teh hangat. Langsung minum biar kamu enggak masuk angin."
Gerakan tangan Anggasta yang tengah mengeringkan rambut dihentikan. Perempuan itu mulai menatap dalam wajah Anggasta.
"Jangan siakan hidup kamu, Gas. Jangan pernah mengorbankan kebahagiaan kamu untuk orang lain. Carilah perempuan yang lebih baik dari aku."
Anggasta hanya tersenyum tipis. Kini, tatapannya beralih pada seseorang yang baru saja datang membawa nampan.
"Makasih, Mbak."
Anggasta memberikan teh hangat kepada Alma. Namun, perempuan itu masih bergeming.
"Minum atau akan aku buatkan kehangatan lain di tubuh kamu?"
Mata Alma seketika membola dan segera dia meraih teh hangat dari tangan Anggasta. Senyum kecil pun terukir di wajah teduh cucu Daddy Aksa. Baru saja Alma meletakkan cangkir teh, tubuhnya tetiba diangkat oleh Anggasta.
"Mbak udah nyiapin air hangat untuk kamu mandi."
Alma pun memberontak meminta untuk diturunkan. Sayangnya, Anggasta tetap bersikukuh.
"Turunin aku, Gas! TURUNIN!!"
Di tengah tangga menuju lantai dua tubuh Alma diturunkan. Tatapan tajam Alma berikan dengan dada yang turun naik.
"Sok, naik sendiri."
Anggasta bersandar di dinding tangga dengan melipat kedua tangan di depan dada. Rasa sakit di tubuh Alma semakin tak terkira. Seinchi saja tubuhnya bergerak, tulangnya sangat sakit. Namun, dia terus memaksa. Satu tangga, masih mampu. Menuju anak tangga ketiga tubuhnya mulai tak seimbang dan segera Anggasta meraih tubuh Alma.
"Tidak semua sakit bisa kamu pendam. Sesekali kamu boleh berteriak kencang. Walaupun orang lain tak mendengar, ada aku yang akan selalu mendengarkan."
Tubuh langsing itu kembali Anggasta Gendong bagai pengantin baru. Dan Alma sudah tak bisa berkutik karena rasa sakit yang jauh lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Mimik wajah Alma mulai berubah ketika lelaki itu membawanya ke kamar mandi. Menurunkannya di bathup.
"Rendam tubuhnya jangan lama-lama. Aku tunggu kamu di luar."
Punggung kekar itu sudah menghilang. Tubuhnya pun mulai didudukkan di bathup yang sudah berisi air hangat dengan aroma terapi yang sangat menenangkan. Wajah tenang Anggasta kini berputar di kepala. Di mana lelaki itu sangat sabar dalam menghadapi emosinya yang meletup-letup. Bahkan, perhatiannya tak sedikit pun menghilang.
"Apa dia benar tulus?"
Setengah jam sudah, tapi pintu kamar mandi belum juga terbuka. Raut cemas nampak begitu jelas. Atensinya segera beralih ketika pintu kamar mandi terbuka dan Alma dengan langkah sulitnya keluar dari sana. Anggasta yang hendak menggendong tubuh perempuan itu ditolak.
Alma kini sudah duduk di pinggiran tempat tidur. Membuka laci yang ada di samping tempat tidur. Botol kaca berisi obat pereda nyeri sudah ditangan. Baru saja membuka penutupnya, botol kaca itu sudah berpindah tangan
"Tolong kembalikan, Gas. Aku butuh itu." Suara Alma begitu pelan.
Bukannya diberikan, Anggasta malah memasukkannya ke dalam saku celana. Alma yang sudah semakin tak berdaya hanya bisa menghela napas berat. Mencoba untuk berdiri dan berniat untuk meraih botol obat, tapi apa yang dia dapat? Pelukan yang begitu hangat juga erat.
"Kamu sudah tidak butuh obat lagi. Yang kamu butuhkan hanya pelukan erat dari aku."
Rasa ingin memberontak menghilang karena tubuh yang terasa sakit bagai dipukuli warga satu kampung perlahan mulai menghilang. Dan Alma hanya bisa pasrah karena dia juga merasakan sebuah ketenangan dari setiap usapan lembut yang Anggasta berikan di kepala bagian belakang.
Sepuluh menit berselang, tangan yang tadinya tak bergerak mulai melingkar di belakang punggung Anggasta. Senyum pun melengkung dengan sempurna.
"Aku enggak peduli dengan kata-kata yang keluar dari bibir kamu. Selagi tubuh kamu menerima dengan apa yang tindakan aku berikan."
Alma memundurkan tubuh tanpa melepaskan pelukan. Ditatapnya Anggasta dengan begitu dalam. Dahinya mulai merasakan bibir Anggasta yang sudah mendarat dengan hangat dan lembut.
"Walaupun kamu terus memaksa aku untuk pergi. Aku akan tetap berada di sini, melindungi serta menjaga kamu karena aku--"
"Sayang kamu, Alma."
...*** BERSAMBUNG ***...
Komen gratis kok gak bayar. Hayu atuh dikomen ..🤧
mewek
lnjut trus Thor
semangat
apalagi cinta....alma