Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Legiun Sang Alkemis
Keheningan yang mengikuti tawaran Pak Tirtayasa di gudang yang dingin itu terasa lebih berat daripada suara baku tembak manapun. Tawarannya, "Izinkan aku membantu", bukanlah sekadar tawaran bantuan, itu adalah sebuah pergeseran lempeng tektonik di bawah fondasi kekuasaan Isabella Rosales. Di ruang perang Empress Tower beberapa saat kemudian, udara masih terasa kental dengan dampak dari tawaran itu. Di satu sisi ada Isabella, seorang Ratu yang terbiasa menjadi satu-satunya matahari di tata suryanya. Di sisi lain, ada dua pria yang telah membuktikan bahwa mereka adalah kekuatan alam yang setara. Leo, sang Alkemis strategis, dan Pak Tirtayasa, sang hantu dari masa lalu militer yang kelam.
Isabella duduk di singgasananya, kursi kulit mewah di depan konsol utama, dan menatap pria tua di hadapannya. Ia adalah seorang pebisnis yang kejam, dan setiap aset harus dinilai.
"Bantu kami... sebagai apa, Pak Tirta?" tanya Isabella, suaranya dingin, sebuah ujian pertama. "Sebagai penasihat? Sebagai penjaga cucu angkat Anda?"
Pak Tirtayasa menatapnya dengan tenang, matanya yang tua tidak menunjukkan rasa takut atau hormat yang berlebihan. "Aku melihat caramu memimpin, Nona Rosales. Kau punya karisma, keberanian, dan kesetiaan dari orang-orangmu. Itu adalah aset yang tak ternilai. Tapi," ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menusuk "kau memimpin sekumpulan petarung jalanan yang setia. Mereka kuat, mereka berani, tapi mereka tidak disiplin. Mereka bertarung dengan amarah, bukan dengan taktik. Melawan preman biasa, mereka menang. Melawan serigala lapar dan terlatih seperti Viktor dan pasukannya, mereka akan mati sia-sia. Aku di sini untuk memastikan itu tidak terjadi. Aku di sini sebagai pelatih."
Leo, yang berdiri di antara mereka, merasakan pergeseran itu. Ia adalah jembatan antara dua dunia ini. "Isabella," katanya pelan. "Dia benar. Kita memenangkan pertempuran di pasar bukan karena kekuatan kita, tapi karena Viktor meremehkan kita. Dia tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali. Pertarungan berikutnya akan menjadi pertarungan prajurit, bukan preman."
Isabella menatap dari Leo ke Pak Tirta, lalu kembali lagi. Di dalam dirinya, ada pergulatan antara kebanggaan seorang penguasa dan pragmatisme seorang pebisnis. Ia melihat kebenaran dalam kata-kata mereka. Ia melihat bagaimana Leo, dengan sedikit dari ajaran pria tua ini, telah mengubah jalannya perang. Apa yang bisa mereka capai jika seluruh pasukannya memiliki disiplin dan keahlian yang sama?
Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baiklah," katanya. "Kau mendapatkan posisimu, Pak Tirta. Kau akan melatih orang-orangku." Keputusan itu telah dibuat. Sebuah Trio yang sangat kuat, tiga pilar komando, telah lahir secara tidak resmi. Isabella, Sang Ratu, sebagai sumber kekuasaan dan otoritas tertinggi. Leo, Sang Alkemis, sebagai arsitek strategi perang. Dan Pak Tirtayasa, Sang Pelatih, sebagai pandai besi yang akan menempa senjata mereka.
"Bagus," kata Pak Tirta, tanpa basa-basi. "Kalau begitu, perintah pertamaku adalah ini, kita menghilang."
"Apa maksudmu?" tanya Marco, yang sedari tadi diam mendengarkan.
"Viktor mengharapkan kita membalas dengan cepat. Ia mengharapkan serangan balasan yang emosional. Kita tidak akan memberikannya," jelas Pak Tirta. "Selama dua minggu ke depan, organisasi Rosales akan berhenti beroperasi. Tarik semua orang dari jalanan. Bekukan semua aktivitas ilegal. Biarkan keheningan kita akan membuatnya gila. Biarkan dia bertanya-tanya, biarkan dia menjadi paranoid. Sementara dia mencari bayangan, kita akan berkumpul di satu tempat dan aku akan mengubah anjing penjagamu menjadi sekawanan serigala."
Rencana itu radikal. Menyerahkan inisiatif, menunjukkan kelemahan dengan menarik diri. Tapi Leo langsung melihat kejeniusannya. Itu adalah perang psikologis dalam skala besar.
"Di mana kita akan melakukan ini?" tanya Isabella, sudah sepenuhnya mendukung.
"Aku butuh tempat yang terisolasi. Jauh dari mata-mata. Sebuah tempat di mana aku bisa menghancurkan semangat mereka dan membangunnya kembali dari nol," kata Pak Tirta.
Isabella berpikir sejenak, lalu sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. "Aku punya tempat yang sempurna. Sebuah pulau pribadi kecil di Kepulauan Seribu. 'Nusa Damai'. Ironis, bukan? Aku membelinya untuk liburan, tapi sepertinya tempat itu akan menjadi akademi perang."
Dan begitulah, takdir dari dua puluh prajurit terpilih pun disegel. Perjalanan mereka menuju ‘Nusa Damai’ adalah perjalanan menuju api penyucian, sebuah proses yang akan mengubah mereka selamanya atau menghancurkan mereka sepenuhnya.
Nusa Damai adalah surga tropis yang dalam sekejap menjadi neraka pribadi bagi dua puluh orang terpilih Isabella. Pasir putih yang lembut dan biasanya diinjak oleh kaki-kaki turis kaya, kini menjadi lintasan lari paksa saat fajar menyingsing, dengan deburan ombak sebagai saksi bisu dari setiap napas yang terengah. Air laut yang jernih dan hangat menjadi medium latihan ketahanan di bawah terik matahari yang membakar, menguji batas fisik dan mental mereka. Vila-vila mewah yang kosong, yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan, kini diubah menjadi labirin untuk simulasi pertempuran jarak dekat yang brutal. Di bawah komando Pak Tirtayasa, tidak ada kemewahan, tidak ada status hierarki geng, tidak ada ampun. Hanya ada rasa sakit, keringat, disiplin, dan tujuan bersama yang baru.
Hari pertama adalah kejutan yang menghantam mereka seperti badai. Pak Tirtayasa membangunkan mereka pukul empat pagi dengan suara peluit yang nyaring dan menusuk, memecah keheningan fajar di pulau itu. "Di dunia nyata, musuh tidak menunggu kalian selesai minum kopi!" teriaknya pada wajah-wajah yang masih bengkak karena tidur dan kebingungan. "Bangun! Lari keliling pulau! Yang terakhir sampai tidak sarapan!"
Marco, yang terbiasa menjadi yang terkuat dan paling ditakuti, adalah yang paling menderita pada awalnya. Tubuhnya yang besar dan berotot, yang dirancang untuk kekuatan ledakan jarak pendek, tidak terbiasa dengan latihan ketahanan yang menyiksa. Ia memprotes metode latihan stealth yang diajarkan Pak Tirta pada hari ketiga. "Apa gunanya merayap seperti cacing di lumpur ini?" geramnya, tubuhnya berlumuran lumpur dari rawa bakau. "Aku bukan tikus! Aku banteng! Aku bisa mendobrak pintu dan menghabisi semua orang di dalam sebelum mereka sempat berkedip!"
Pak Tirta, yang sedang mengamati dari dahan pohon, hanya tersenyum tenang. Ia melompat turun dengan ringan, mendarat tanpa suara di hadapan Marco. "Buktikan," katanya, menantangnya untuk sesi latih tanding di tengah lingkaran para rekrut lainnya yang sedang beristirahat.
Marco menyeringai, melihat ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan pada si tua bangka itu siapa pemimpin lapangan yang sebenarnya. Ia menerjang maju seperti badak yang mengamuk, tinjunya yang besar siap untuk menghancurkan. Pak Tirta, yang tubuhnya tampak rapuh dibandingkan Marco, tidak bergerak mundur. Ia justru melangkah sedikit ke samping, membiarkan momentum Marco yang besar meluncur melewatinya. Dengan satu gerakan pergelangan tangan yang cepat untuk membelokkan pukulan Marco dan satu sapuan kaki yang tak terduga ke titik keseimbangan Marco, ia membuat raksasa itu terhuyung dan jatuh terjerembap ke pasir dengan suara debuman yang keras. Sebelum Marco sempat memproses apa yang terjadi, Pak Tirta sudah berlutut di dadanya, sikutnya menekan lehernya dengan tekanan yang cukup untuk membatasi napas, dan ujung jarinya yang keriput menekan titik saraf di bawah telinganya.
Seluruh tubuh Marco lumpuh. Ia bisa merasakan kekuatan Pak Tirta yang terkonsentrasi, bukan kekuatan otot, tetapi kekuatan dari pengetahuan sempurna tentang tubuh manusia.
"Dalam pertarungan sungguhan, kau sudah mati tiga kali sebelum tinjumu sampai," kata Pak Tirta pelan namun jelas, suaranya terdengar oleh semua orang di keheningan itu. "Kekuatan tanpa kontrol adalah kebisingan yang tidak berguna. Aku di sini untuk mengajarimu menjadi musik yang mematikan. Sekarang, push-up lima ratus kali. Semuanya."
Sejak hari itu, tidak ada lagi yang mempertanyakan metode Pak Tirta. Marco, dengan ego yang terluka parah tetapi dengan rasa hormat yang baru dan mendalam, menjadi murid yang paling tekun. Ia belajar untuk mengendalikan amarahnya, menyalurkan kekuatannya bukan seperti banteng yang mengamuk, tetapi seperti sungai deras yang bisa menghancurkan batu karang dengan aliran yang terfokus. Ia belajar memimpin dengan taktik, bukan hanya dengan intimidasi.
Sementara Marco berjuang dengan kelemahannya, Si Kembar, Riko dan Maya, justru bersinar. Kelincahan dan bakat alami mereka dalam bergerak tanpa suara diasah hingga mencapai tingkat yang supernatural. Pak Tirta tidak hanya mengajari mereka cara menyusup, ia mengajari mereka cara menjadi satu dengan bayangan. Mereka belajar seni membunuh dalam diam, memanfaatkan setiap sudut dan celah lingkungan, dan bekerja sebagai satu unit yang bahkan tidak perlu berbicara untuk berkomunikasi. Sebuah lirikan mata dari Riko sudah cukup bagi Maya untuk tahu kapan harus bergerak. Sebuah desisan pelan dari Maya sudah cukup bagi Riko untuk tahu di mana musuh bersembunyi.
Leo juga ada di sana, menjadi bagian dari transformasi ini. Ia tidak mengikuti latihan fisik yang sama menyiksanya, tetapi kehadirannya terasa di mana-mana. Pagi hari, ia akan bergabung dengan Pak Tirta dalam sesi latihan bela diri pribadi, mempertajam kembali skill yang telah lama ia pendam. Anak buah Isabella, yang pada awalnya hanya mengenalnya sebagai koki atau ahli strategi di menara, kini menatap dengan mulut ternganga saat melihat chef mereka yang tenang bergerak dengan kecepatan dan keanggunan seorang penari kematian. Ia dengan mudah menangkis serangan dari dua atau tiga orang sekaligus dalam simulasi, bukan dengan kekuatan, tetapi dengan presisi, melumpuhkan lawannya dengan serangan cepat ke titik-titik lemah. Kehadirannya di sesi latihan itu menghapus sisa-sisa keraguan mereka. Pria ini bukan hanya otak di menara gading, ia adalah salah satu dari mereka, serigala dengan taring yang sama tajamnya.
Sore hari, peran berganti. Leo mengambil alih sesi di sebuah "ruang kelas" darurat di tepi pantai. Ia menggunakan hamparan pasir yang basah sebagai papan tulisnya, menggambar formasi, rute serangan, dan skenario pertahanan. Ia mengajari mereka strategi. Ia membongkar cara berpikir Viktor, mengajarkan mereka untuk melihat pertempuran bukan sebagai adu kekuatan, tetapi sebagai permainan catur. "Jangan pernah menyerang kekuatan musuh secara langsung," katanya pada suatu sore, sambil menggambar sebuah benteng di pasir. "Itu bodoh dan membuang-buang sumber daya. Sebaliknya, seranglah apa yang menopang kekuatan itu. Jalur suplainya, komunikasinya, moralnya, kepercayaannya. Potong kakinya, dan benteng sekuat apa pun akan runtuh dengan sendirinya."
Isabella datang beberapa kali dengan helikopter, seperti seorang dewi yang turun dari langit untuk memeriksa ciptaannya. Ia mengamati transformasi pasukannya dengan kepuasan yang luar biasa. Ia melihat para petarung liarnya, yang dulu hanya mengenal loyalitas buta, kini bergerak dengan disiplin dan tujuan. Mereka bukan lagi sekadar anak buahnya, mereka adalah perpanjangan dari kehendaknya yang telah diasah dengan sempurna. Ia juga tidak hanya menonton. Ia ikut serta dalam latihan menembak, berdiri berdampingan dengan anak buahnya, membidik target dengan akurasi yang mematikan. Setiap tembakannya yang tepat sasaran mendapatkan anggukan persetujuan dari Pak Tirta, sebuah pengakuan diam antara dua pemimpin.
Di sela-sela latihan yang brutal, di saat senja mulai melukis langit dengan warna oranye dan ungu, ia dan Leo akan berjalan di sepanjang pantai. Di sinilah, jauh dari ruang perang yang steril dan kekacauan kota, hubungan mereka menemukan ritme baru. Mereka bukan lagi hanya sekutu yang dipersatukan oleh bahaya atau sepasang kekasih yang penuh gairah. Mereka adalah partner sejati, berbagi beban, ketakutan, dan tujuan yang sama. Mereka berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah mereka bicarakan dengan siapa pun. Leo bercerita tentang keheningan yang ia temukan saat membuat adonan roti. Isabella bercerita tentang kuda poni yang pernah ia miliki saat kecil, sebelum dunianya hancur.
"Kadang-kadang aku melihatmu saat kau melatih mereka," kata Isabella pada suatu senja, menatap Leo yang sedang menjelaskan sebuah taktik pada Marco. "Dan aku melihat pria yang sama sekali berbeda dari yang kutemui di restoran. Apakah kau merindukan pria itu?"
Leo menatap ombak yang bergulung-gulung, seolah mencari jawaban di sana. "Pria itu hanya tahu cara menciptakan," jawabnya pelan. "Dia tidak tahu cara melindungi ciptaannya. Aku belajar bahwa terkadang, untuk melindungi sebuah taman yang indah, kau harus rela membangun pagar yang tinggi dan tajam, bahkan jika itu berarti tanganmu harus berdarah saat membangunnya."
Malam itu, setelah dua minggu yang terasa seperti dua tahun, pelatihan berakhir. Mereka berkumpul di sekitar api unggun besar di pantai. Suasananya bukan seperti pesta, melainkan seperti upacara kelulusan yang khidmat, upacara pengambilan sumpah sebuah unit baru. Mereka saling menatap di seberang api yang menari-nari. Mereka tidak lagi melihat wajah-wajah preman yang individualistis. Mereka melihat wajah-wajah saudara seperjuangan. Mereka bukan lagi sekumpulan individu. Mereka adalah sebuah legiun. Legiun Sang Alkemis. Mereka kembali ke Jakarta bukan lagi sebagai sekumpulan preman, tapi sebagai ujung tombak sebuah perang yang akan segera dimulai.
Kembalinya mereka ke Jakarta disambut oleh keheningan yang aneh dan menegangkan. Seperti yang diprediksi Leo dan Pak Tirta, kevakuman operasional mereka selama dua minggu telah membuat Viktor Rostova gelisah. Laporan intel dari Bianca, yang terus bekerja tanpa lelah dari Empress Tower, menunjukkan aktivitas patroli Viktor meningkat tiga kali lipat. Ia menjadi paranoid, mencari-cari bayangan, mengeksekusi dua bawahannya yang ia curigai berkhianat hanya karena kesalahan kecil. Keheningan mereka telah menjadi senjata psikologis yang efektif, menggerogoti saraf musuh mereka dari dalam.
Tapi mereka semua tahu keheningan ini adalah ketenangan sebelum tsunami. Mereka tahu Viktor sedang mempersiapkan sesuatu yang besar. Dan mereka harus menyerang lebih dulu.
Malam sebelum mereka melancarkan serangan besar pertama mereka, Leo dan Isabella menemukan diri mereka sendirian di penthouse. Seluruh tim sedang beristirahat di markas-markas yang aman di seluruh kota, mempersiapkan mental dan fisik mereka untuk pertempuran esok hari. Ruang perang sunyi. Peta holografik dimatikan. Hanya lampu kota yang berkelip seperti galaksi buatan di luar jendela raksasa yang menjadi penerangan mereka.
Ada perasaan sakral pada malam itu. Udara dipenuhi oleh hal-hal yang tak terucapkan—ketakutan akan kehilangan, harapan akan kemenangan, dan kesadaran penuh bahwa ini bisa menjadi malam terakhir mereka bersama dalam kedamaian.
"Aku takut," bisik Isabella, sebuah pengakuan yang begitu jujur hingga mengejutkan Leo. Ia berdiri di dekat jendela, memeluk dirinya sendiri seolah kedinginan, meskipun udara di ruangan itu hangat. "Aku tidak takut mati. Aku sudah sering berhadapan dengannya. Aku takut kalah. Aku takut semua yang telah dibangun ayahku, semua pengorbanan yang telah ia lakukan, akan hancur di tanganku."
Leo berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang, meletakkan dagunya di bahu Isabella, membiarkannya merasakan detak jantungnya yang stabil. "Kita tidak akan kalah," katanya pelan. "Karena kita tidak bertarung hanya dengan amarah dan kekuatan lagi. Kita bertarung dengan rencana. Kita bertarung dengan disiplin. Kita bertarung bersama."
Isabella berbalik dalam pelukannya, menatap matanya dalam-dalam, mencari keyakinan di sana dan menemukannya. "Apapun yang terjadi besok, Leo... terima kasih."
"Untuk apa?" tanyanya, bingung.
"Karena telah melihatku," jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Bukan sebagai Ratu. Bukan sebagai monster. Bukan sebagai atasan. Hanya sebagai... Isabella."
Momen itu begitu kuat, begitu intim, hingga kata-kata terasa tidak perlu lagi. Gairah di antara mereka malam itu berbeda dari sebelumnya. Itu bukan ledakan adrenalin yang kasar seperti di dapur yang hancur, bukan juga perayaan kemenangan yang penuh gairah seperti setelah skandal galeri. Malam itu, cinta mereka adalah sebuah ritual suci, sebuah sumpah tanpa kata di malam sebelum pertempuran.
Ia menuntunnya, bukan ke kamar tidur, tetapi tetap di sana, di depan jendela raksasa, dengan seluruh kota yang akan mereka perjuangkan sebagai satu-satunya saksi bisu mereka. Mereka saling melepaskan pakaian satu sama lain, bukan dengan nafsu yang terburu-buru, tetapi dengan kekhidmatan dan penghormatan. Setiap helai pakaian yang jatuh adalah lapisan pertahanan terakhir yang mereka lepaskan, hingga hanya tersisa dua jiwa yang telanjang dan rapuh di hadapan satu sama lain.
Cinta mereka adalah sebuah badai sunyi, tarian yang lambat, dalam, dan kuat. Kali ini, tidak ada perebutan kontrol, yang ada hanyalah penyerahan diri yang total dan setara. Leo menjelajahi setiap lekuk tubuh Isabella dengan kelembutan seorang seniman yang memuja karyanya, mencium setiap bekas luka kecil yang tak terlihat, setiap lekuk tubuhnya yang kuat. Ia menghapus jejak-jejak ketakutannya dengan bibirnya. Isabella, sebagai balasannya, menyerahkan kontrol yang biasanya ia genggam begitu erat. Ia membiarkan Leo memimpin, membiarkan dirinya sepenuhnya rentan dalam cara yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya. Ia menemukan kekuatan dalam penyerahan dirinya pada pria ini.
Saat mereka akhirnya bersatu, di atas karpet tebal dengan cahaya kota sebagai selimut mereka, itu adalah sebuah pengakuan. Pengakuan akan ketakutan mereka, hasrat mereka, dan takdir mereka yang kini terjalin tak terpisahkan. Gerakan mereka sinkron, napas mereka menjadi satu, saling memberi dan menerima dalam ritme yang stabil dan kuat. Ini adalah cara mereka saling mengisi ulang kekuatan, cara mereka saling mengingatkan akan apa yang mereka perjuangkan, bukan hanya kerajaan atau kemenangan, tetapi momen seperti ini. Momen koneksi murni di tengah dunia yang kejam. Kenikmatan yang mereka raih bersamaan terasa seperti sebuah kemenangan kecil melawan alam semesta, sebuah puncak kehidupan di tengah bayang-bayang kematian.
Setelahnya, mereka terbaring dalam pelukan satu sama lain, terengah-engah, keringat membasahi kulit mereka, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Isabella menelusuri bekas luka samar di perut Leo dengan jarinya. "Dulu aku berpikir kekuatan adalah tentang tidak pernah menunjukkan kelemahan," bisiknya. "Kau mengajariku bahwa kekuatan sejati adalah mengetahui kelemahanmu dan memiliki seseorang yang cukup kau percayai untuk melindunginya." Ia tersenyum, senyum yang lelah namun penuh dengan cinta yang dalam. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Leo. "Kau benar-benar sexy chef-ku, Leo," bisiknya, julukan itu kini bukan lagi sebuah lelucon atau godaan, melainkan sebuah istilah yang penuh dengan kelembutan dan kepemilikan. "Meracik strategi di siang hari, dan meracik duniaku di malam hari."
Kedamaian yang mereka curi malam itu adalah napas terakhir sebelum mereka terjun ke dalam badai.
Keesokan malamnya. Pukul sepuluh tepat. Seluruh kota Jakarta tidak menyadari bahwa di bawah permukaannya yang ramai, di dalam bayang-bayang gedung pencakar langit dan lorong-lorong pelabuhan yang gelap, sebuah perang terkoordinasi berskala besar sedang dilancarkan. Di ruang perang Empress Tower, Trio memimpin simfoni kehancuran mereka. Operasi "Tiga Pilar" telah dimulai.
Pilar Pertama: Uang.
Di Glodok, di bawah sebuah usaha loundri 24 jam yang tampak biasa, terdapat sebuah bunker kasino ilegal yang berfungsi sebagai brankas utama Viktor. Tim Hantu, yang dipimpin dari jarak jauh oleh Bianca, bergerak. "Aku di dalam sistem," lapor Bianca, suaranya tenang di tengah ketegangan. Riko dan Maya, yang telah menyusup melalui saluran pembuangan, kini berada di ruang server. Mereka menghindari jaring-jaring laser pengaman, bergerak seperti penari. Maya memasang sebuah perangkat keras seukuran ibu jari ke dalam mainframe server. "Perangkat terpasang." Di ruang perang, Bianca menekan tombol 'enter'. Di layar, barisan angka mulai bergerak, mengalirkan jutaan dolar dalam bentuk aset kripto dari dompet digital Viktor ke serangkaian rekening anonim yang tersebar di seluruh dunia. Dalam lima belas menit, pilar finansial Viktor telah digerogoti hingga ke fondasinya.
Pilar Kedua: Otot.
Di Marunda, di sebuah kompleks gudang terpencil yang berfungsi sebagai barak bagi pasukan bayaran elite Viktor, Tim Banteng yang dipimpin oleh Marco bergerak dalam keheningan total. Mereka bukan lagi preman yang menyerbu dengan teriakan. Mereka adalah hantu. Menggunakan teknik yang diajarkan Pak Tirta, mereka melumpuhkan penjaga luar tanpa suara. Mereka menyebar ke seluruh kompleks. Tim A menyabotase semua kendaraan lapis baja dengan menuangkan campuran korosif ke dalam mesinnya. Tim B menyusup ke gudang senjata dan menukar ribuan amunisi tajam dengan peluru hampa yang identik. Tim C memasang peledak kimia non-letal di sistem ventilasi barak. Atas perintah Marco, semua tim menarik diri. Lalu, ia menekan sebuah tombol. Di seluruh kompleks, asap tebal yang menyesakkan menyembur dari ventilasi, menciptakan kepanikan massal. Saat pasukan Viktor yang kebingungan mencoba meraih senjata mereka atau lari ke kendaraan mereka, mereka menemukan bahwa mereka sama sekali tidak berdaya. Pilar otot Viktor telah dilumpuhkan tanpa satu nyawa pun melayang.
Pilar Ketiga: Harga Diri.
Inilah pertunjukan utamanya. Di sebuah gudang kosong yang luas di kawasan industri Pulogadung, Leo dan Isabella menunggu. Gudang itu adalah panggung yang telah mereka siapkan, sebuah jebakan maut yang dirancang oleh kejeniusan gabungan Leo dan Pak Tirta. Pak Tirta sendiri berada di sebuah titik pengamatan tersembunyi beberapa ratus meter dari sana, bertindak sebagai "overwatch" dengan teropong canggih, memberikan panduan taktis.
Umpan itu bekerja dengan sempurna. Letnan Viktor yang mereka tangkap sebelumnya, setelah diinterogasi, telah 'membocorkan' informasi palsu bahwa Isabella secara pribadi mengawasi pengiriman kokain besar-besaran di gudang ini. Viktor, yang egonya telah terluka dan menerima laporan kekacauan dari dua pilar lainnya, menjadi buta karena amarah. Ia melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menangkap atau membunuh Isabella dengan tangannya sendiri.
Iring-iringan mobil SUV hitam tiba dengan kecepatan tinggi. Viktor Rostova turun dari mobilnya, memimpin langsung dua puluh orang pasukan pengawal pribadinya yang paling ganas dan setia. Mereka adalah serigala terbaiknya.
"ISABELLA!" teriaknya, suaranya menggema di keheningan malam. "TUNJUKKAN WAJAHMU, JALANG! PERMAINANMU SUDAH BERAKHIR!"
Saat ia dan pasukannya menyerbu masuk ke dalam gudang yang gelap dan tampak kosong itu, jebakan itu aktif. Pintu-pintu baja raksasa di belakang mereka berdentum menutup, menjebak mereka di dalam. Lampu sorot industri yang telah dipasang di langit-langit menyala serempak, menyilaukan mereka dan menjadikan mereka target yang sempurna di tengah ruangan.
Dari atas, dari catwalk yang mengelilingi gudang, dari balik tumpukan kontainer, dari setiap sudut bayangan, Legiun Sang Alkemis muncul. Sepuluh prajurit terbaik mereka, termasuk Marco, Riko, dan Maya, kini memegang senjata, siap menghujani mereka dengan peluru.
Pasukan Viktor yang terkejut mencoba membalas tembakan, tetapi mereka berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan. Di bawah komando Marco, Legiun melepaskan tembakan yang terkoordinasi dan presisi. Mereka tidak menembak membabi buta. Mereka melumpuhkan, merobohkan musuh satu per satu dengan efisiensi yang dingin.
Viktor mengamuk, menembak membabi buta ke arah bayangan. Matanya yang penuh amarah akhirnya menemukan targetnya, di sebuah kantor di lantai dua gudang yang berdinding kaca (kaca anti-peluru, tentu saja), berdiri Leo dan Isabella.
Dengan raungan marah, ia dan sisa pengawalnya yang masih berdiri menyerbu tangga, bertekad untuk mencapai mereka. Di sinilah pertempuran jarak dekat yang brutal terjadi. Leo dan Isabella tidak lagi bersembunyi. Mereka keluar untuk menyambutnya.
Mereka bertarung berdampingan, punggung mereka saling melindungi. Leo bergerak dengan kecepatan dan presisi, menggunakan pistolnya bukan hanya untuk menembak, tetapi juga sebagai senjata tumpul untuk melumpuhkan lawan. Isabella adalah badai kemarahan yang terkendali, setiap tembakannya fatal, setiap gerakannya memancarkan aura seorang ratu pejuang. Mereka adalah pusat dari kekacauan, sebuah tarian kematian yang indah dan mengerikan.
Akhirnya, hanya tersisa Viktor. Ia berhasil mencapai puncak tangga, napasnya terengah, wajahnya penuh amarah dan keringat. Ia berhadapan langsung dengan Leo dan Isabella.
"Kalian..." geramnya, mengangkat senjatanya.
Sebelum ia sempat menarik pelatuk, Marco muncul dari belakang seperti hantu dan memukul tengkuknya dengan gagang senapannya. Viktor Rostova, sang tiran yang tak terkalahkan, jatuh pingsan ke lantai seperti karung beras.
Hening. Asap mesiu memenuhi udara.
Mereka berhasil. Kemenangan total. Tiga pilar kekuasaan Viktor, uangnya, ototnya, dan harga dirinya, telah dihancurkan secara bersamaan dalam satu malam yang brilian.
Isabella menatap Leo, senyum kemenangan yang liar dan penuh kelegaan terukir di wajahnya. "Kita berhasil, Alkemis," katanya, suaranya serak. Ia melangkah maju untuk memeluknya, untuk merayakan kemenangan mereka.
Tapi di saat itulah, di tengah keheningan setelah pertempuran, di tengah perasaan kemenangan yang membuncah, terdengar suara tembakan yang memekakkan.
Satu tembakan.
Bukan dari dalam gudang. Suaranya datang dari luar, dari sebuah lubang kecil di dinding logam yang tidak terdeteksi, dari sudut yang tidak terduga. Itu adalah tembakan dari seorang penembak jitu. Satu-satunya variabel yang tidak mereka perhitungkan, pengawal pribadi Viktor yang paling setia, yang mungkin ia perintahkan untuk tetap di luar sebagai asuransi terakhir.
Waktu seolah berhenti. Leo melihat sebuah titik merah kecil mekar di dada kemeja putih Isabella yang kini ternoda debu mesiu. Mata Isabella terbelalak kaget, bukan karena rasa sakit, tetapi karena ketidakpercayaan. Ia menatap Leo, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu. Kekuatan meninggalkan kakinya, dan ia mulai jatuh ke belakang.
Seluruh kemenangan, seluruh rencana, seluruh masa depan mereka, hancur oleh satu gram timah panas.
"ISABELLA!"
Jeritan Leo adalah satu-satunya suara di alam semesta saat ia melompat maju, menangkap tubuh lemas wanita yang telah menjadi segalanya baginya. Ia memeluknya erat, tidak merasakan kemenangan perang, hanya merasakan kekalahan telak saat kehangatan darah Isabella mulai merembes melalui jari-jarinya.