NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:459
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10: Kecelakaan Itu ... Bukan Kebetulan

“Artinya persis seperti yang tertulis,” kata Zega, suaranya datar membelah keheningan yang pekat. Ia menoleh sekilas ke arah Rama dan Guruh yang masih membeku di dekat pintu. “Kalian... Keluar. Bawa semua timmu. Beri kami ruangan ini.”

Rama dan Guruh tersentak, matanya beralih dari layar raksasa ke wajah Sasha yang pucat pasi. “Sasha… kau baik-baik saja?”

“Keluar!” Suara Zega kali ini lebih tajam, tidak menyisakan ruang untuk bantahan. “Dan pastikan tidak ada seorang pun yang masuk atau mengakses log dari tujuh jam terakhir tanpa izinku. Paham?”

Rama dan Guruh menelan ludah, mengangguk kaku, lalu bergegas menggiring sisa timnya yang kelelahan keluar dari neraka server itu. Pintu baja yang berat berdesis menutup, menyegel Sasha dan Zega dalam keheningan yang jauh lebih menakutkan daripada kebisingan sebelumnya.

“Mereka… mereka membunuhnya,” bisik Sasha, kata-kata itu terasa seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Ia mundur selangkah, tangannya mencengkeram tepi konsol server agar tidak jatuh. “Bara… dibunuh.”

“Sasha, lihat aku.” Zega memutar kursinya menghadap Sasha, tatapannya menusuk. “Bernapas. Sekarang bukan waktunya untuk hancur. Ini waktunya untuk berpikir.”

“Berpikir?” desis Sasha, matanya berkilat marah bercampur air mata yang tertahan. “Bagaimana aku bisa berpikir? Pria yang kucintai… mereka merusak rem mobilnya dan membuatnya terlihat seperti kecelakaan!”

“Benar. Dan mereka baru saja mengakuinya padamu,” balas Zega tenang. “Pertanyaannya bukan ‘apa yang terjadi’. Pertanyaannya adalah ‘mengapa mereka memberitahumu sekarang?’”

Sasha mengerjap, berusaha memproses logika dingin di balik kata-kata Zega. “Aku… aku tidak tahu.”

“Ini bukan pesan untukmu, Victoria. Ini pesan untukku,” kata Zega sambil kembali menatap layar, jari-jarinya mulai menari di atas papan tik. “Ini adalah trofi kemenangan mereka yang gagal. Mereka kalah dalam pertarungan siber, jadi mereka melemparkan ini ke wajahku. ‘Kau mungkin bisa menghentikan kode kami, tapi lihat apa yang sudah kami lakukan di dunia nyata.’ Ini kesombongan.”

“Express Teknologi,” bisik Sasha. “Bukan Hadi.”

“Hadi hanya pion serakah yang dimanfaatkan. Dia ingin perusahaanmu. Mereka ingin sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang Bara halangi.” Zega berhenti mengetik. “Aku menyimpan salinan gambar ini di server terenkripsi milikku. Tidak ada jejak. Aslinya sudah kuhancurkan dari sistemmu.”

“Kita harus lapor polisi,” kata Sasha, suaranya sedikit lebih kuat. “Ini bukti. Ini pengakuan.”

“Bukti apa?” Zega mendengus tanpa menoleh. “Sebuah gambar JPEG anonim yang dikirim oleh penyerang tak dikenal di tengah serangan siber ilegal ke perusahaanmu? Polisi akan menertawakan kita, lalu menyita seluruh server ini sebagai barang bukti. Kau akan kehilangan kendali atas DigiRaya dalam hitungan jam. Hadi akan menang.”

“Jadi kita tidak melakukan apa-apa?” tuntut Sasha, frustrasi mewarnai suaranya. “Kita biarkan mereka lolos begitu saja?”

“Aku tidak bilang kita tidak melakukan apa-apa,” Zega berbalik lagi, matanya menyipit. “Aku bilang, kita tidak akan bermain dengan aturan mereka. Kita tidak akan lari ke pihak berwenang yang mungkin sudah mereka kantongi. Kita akan memburu mereka dengan cara kita sendiri.”

Sasha menatapnya, kelelahan tujuh jam pertempuran digital seolah sirna digantikan oleh energi baru yang dingin dan tajam. “Bagaimana caranya?”

“Kita mulai dari sini.” Zega menunjuk gambar di layar. “Gambar ini punya metadata. Jejak digital. Aku akan membedahnya, mencari tahu dari kamera mana ini diambil, kapan, dan siapa yang mengaksesnya. Ini akan meninggalkan jejak, sekecil apa pun.”

“Kau bisa melakukan itu?”

Sebuah senyum tipis yang nyaris tak terlihat menyentuh bibir Zega. “Victoria, kau membayarku bukan untuk memasang antivirus.”

Selama satu jam berikutnya, Sasha hanya berdiri diam di belakang Zega, mengamati. Keheningan dipecah oleh suara ketukan papan tik yang cepat dan ritmis. Di layar, Zega membongkar berkas gambar itu baris demi baris, menampilkan untaian kode heksadesimal yang tidak berarti bagi Sasha.

“Menarik,” gumam Zega.

“Apa?” tanya Sasha cepat.

“Mereka cukup bodoh untuk menyombongkan diri, tapi tidak cukup pintar untuk membersihkan jejak mereka sepenuhnya,” jelas Zega. “Mereka menghapus data EXIF utama, tapi ada fragmen yang tertinggal di header-nya. Stempel waktu dan model kamera.”

“Dan?”

“Kamera pengawas lalu lintas. Model D-77AI, buatan Tiongkok. Polisi dan dinas perhubungan di sini tidak menggunakannya. Ini model ekspor yang biasanya dipakai oleh perusahaan keamanan swasta untuk memantau properti besar.”

Sasha merasakan darahnya mendingin. “Seperti… gedung perkantoran?”

“Tepat. Kamera ini diposisikan di seberang jalan dari kantor lama Bara. Menghadap langsung ke tempat parkir pribadinya.” Zega menarik sebuah peta digital, menandai sebuah titik. “Di sini. Gedung Waskita Tower. Lantai 15 sampai 20 disewa oleh satu perusahaan.”

“Siapa?” desak Sasha.

Zega mengetik beberapa perintah lagi. Sebuah logo muncul di layar. Naga perak melingkari bola dunia digital.

“Express Teknologi,” kata Sasha, suaranya nyaris tak terdengar. “Mereka mengawasinya dari seberang jalan.”

“Selama berbulan-bulan, sepertinya,” tambah Zega. “Stempel waktunya menunjukkan gambar ini diambil tiga puluh menit sebelum laporan kecelakaan masuk. Cukup waktu bagi seseorang untuk mendekati mobil, memasang sesuatu, dan pergi tanpa terlihat.”

Sasha memejamkan mata, membayangkan Bara berjalan ke mobilnya, tidak menyadari maut yang sudah ditanam di rodanya. Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya.

“Sasha.” Suara Zega melembut, sebuah perubahan yang mengejutkan. “Kau perlu istirahat.”

“Tidak,” jawabnya, membuka mata. Air mata sudah tidak ada, yang tersisa hanya kilat baja. “Apa lagi yang kau punya?”

Zega menatapnya sejenak, seolah mengukur ketangguhannya. “Ini bukan lagi hanya tentang menyelamatkan perusahaanmu, kan?”

“Ini tentang keadilan,” jawab Sasha tegas. “Mereka mengambil Bara dariku. Aku akan mengambil segalanya dari mereka.”

Zega mengangguk pelan, seolah jawaban itu sudah cukup baginya. “Baiklah. Kalau begitu, ada satu hal lagi. Aku bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa menanam worm secanggih itu tanpa terdeteksi sama sekali oleh sistem pertahanan awalmu? Bahkan sebelum aku datang, sistem Bara seharusnya bisa memperlambat mereka.”

“Aku tidak tahu. Timku bilang tidak ada pelanggaran eksternal sebelum serangan utama.”

“Itu karena serangannya tidak datang dari luar,” kata Zega. “Seseorang membukakan pintu dari dalam. Seseorang memasukkan seed code-nya secara fisik.”

“Mata-mata yang kupecat?”

“Terlalu bodoh untuk tugas serumit ini. Ini butuh akses level administrator ke server core. Sesuatu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Termasuk Bara.” Zega berhenti sejenak, matanya kembali memindai log sistem. “Aku melacak anomali pertama dalam sistemmu. Bukan dari serangan malam ini. Tapi dari enam bulan yang lalu. Tepat saat Bara berhasil menangkis serangan pertama mereka yang kau ceritakan dari flash drive itu.”

“Apa maksudmu?”

“Seseorang mengakses ruang server ini secara fisik setelah serangan itu berhasil digagalkan. Pukul dua pagi. Tanpa otorisasi digital. Mereka masuk menggunakan kunci fisik darurat.”

Jantung Sasha berdebar kencang. “Siapa?”

“Log CCTV dari koridor ini pada malam itu sengaja dirusak. Datanya korup. Sepertinya jalan buntu.”

“Sialan!”

“Tapi,” lanjut Zega, “mereka tidak merusak rekaman dari kamera di lobi utama. Aku menyilangkan log akses pintu darurat server dengan rekaman lobi dari malam yang sama. Aku menemukan sesuatu.”

“Tunjukkan padaku,” perintah Sasha, mendekat hingga bahunya nyaris bersentuhan dengan bahu Zega.

Di layar, Zega memutar sebuah video hitam putih berkualitas rendah. Tampak lobi DigiRaya yang sepi dan gelap. Sesosok bayangan bergerak cepat melintasi layar, menuju koridor yang mengarah ke ruang server. Wajahnya tidak jelas, tersembunyi dalam bayangan topi dan jaket.

“Terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat siapa itu,” kata Sasha kecewa.

“Aku juga tidak,” balas Zega. “Tapi lihat ini.” Ia menjeda video saat sosok itu melewati pilar marmer yang memantulkan sedikit cahaya. “Dia menjatuhkan sesuatu.”

Zega memperbesar gambar itu secara ekstrem. Sebuah benda kecil, gelap, jatuh dari saku jaket sosok itu, lalu dengan cepat dipungut kembali.

“Itu… flash drive?” tanya Sasha.

“Bentuknya identik dengan yang kau temukan di mejamu,” jawab Zega. “Orang ini bukan menanam virus. Dia meninggalkan peringatan untuk Bara. Peringatan yang akhirnya sampai kepadamu.”

“Jadi dia… di pihak kita?”

“Mungkin. Atau mungkin dia pemain ganda. Aku mencoba membersihkan gambarnya, tapi resolusinya terlalu rendah.” Zega menghela napas. “Hanya ada satu frame yang cukup jelas saat dia berbalik sedikit ke arah kamera sebelum menghilang ke koridor.”

“Biarkan aku melihatnya.”

Zega mengetik beberapa perintah, menjalankan algoritma pembersih gambar pada satu frame itu. Piksel-piksel yang kabur perlahan menajam, membentuk kontur wajah yang remang-remang. Sosok itu laki-laki, dengan rahang yang tegas dan potongan rambut yang familier.

“Tunggu,” bisik Sasha, matanya terpaku pada layar. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. “Aku… aku kenal orang itu.”

“Siapa?” tanya Zega, menatapnya dengan tajam.

Sasha tidak bisa menjawab. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Darah seolah surut dari wajahnya, meninggalkan rasa dingin yang membekukan. Sosok di layar itu, meskipun buram dan terdistorsi oleh bayangan, adalah wajah yang ia lihat setiap hari di ruang rapat. Wajah orang kepercayaannya.

“Sasha, siapa dia?” desak Zega lagi.

Sasha akhirnya berhasil menarik napas. “Bukankah Dia…” ia tergagap,

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!