Setelah meninggal karena tenggelam saat menolong anak kecil, Nadra Elianora, gadis modern yang ceria dan blak-blakan, terbangun di dunia kuno dalam tubuh Li Yuanxin seorang gadis malang yang dibuang oleh tunangannya karena sang pria berselingkuh dengan adik tirinya.
Tersesat di hutan, Nadra membangun gubuk, hidup mandiri, dan menggunakan ilmu pengobatan yang ia kuasai. Saat menolong seekor makhluk terluka, ia tak tahu bahwa itu adalah Qiu Long, naga putih ilahi. Dari pertemuan konyol dan penuh adu mulut itu, tumbuh hubungan ajaib yang berujung pada kontrak suci antara manusia dan hewan ilahi.
Tanpa disadari, kekuatan dalam diri Nadra mulai bangkit kekuatan milik Sang Dewi Semesta, makhluk tertinggi yang jiwanya dulu dipecah ke berbagai zaman untuk menjaga keseimbangan dunia.
Kini, dengan kepintaran, kelucuan, dan keberaniannya, tak hanya menuntut balas atas pengkhianatan masa lalu, tapi juga menapaki takdir luar biasa yang menunggu: menyelamatkan dunia dan mengembalikan cahaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 — Tatapan yang Tak Pernah Mati
Fajar menembus kabut pagi Kota Baiyu dengan lembut. Embun masih menggantung di daun-daun ketika Li Yuanxin membuka pintu tokonya, menyambut udara segar yang menenangkan. Namun, dalam ketenangan itu, aura bahaya mengintai dari jauh. Feng Yan yang melayang di udara bisa merasakannya lebih dulu.
“Dia datang,” ucap Phoenix kecil itu pelan, matanya memantulkan cahaya api yang menari lembut.
Yuanxin menyesap teh tanpa tergesa. “Bagus. Aku bosan menunggu.”
Tak lama, suara langkah-langkah berat mendekat dari arah jalan utama. Ren, yang sedang menata ramuan di meja depan, menegakkan tubuhnya, wajahnya tegang. “Tabib Yu Xin... ada seseorang datang. Banyak penjaga bersenjata.”
Yuanxin tersenyum tipis. “Biarkan dia masuk.”
Tak lama, derap kuda berhenti tepat di depan toko. Dari balik kabut pagi, seorang pria turun perlahan pakaian hitam elegan, jubah panjang disulam benang emas. Mata tajamnya menatap lurus, dan bahkan udara terasa bergetar oleh kehadirannya.
Feng Zihan.
Darah bangsawan dan aura kekuasaan terpancar kuat darinya. Tapi yang membuat Yuanxin diam bukan itu—melainkan tatapan mata yang dulu pernah ia cintai, kini menatapnya tanpa pengakuan.
“Tabib Yu Xin,” ucap Feng Zihan dingin. “Kau menolak panggilanku kemarin.”
Yuanxin meletakkan cangkir teh di meja kayu. “Aku tidak menolak. Aku hanya tidak suka diperintah oleh orang yang tak kupilih untuk dihormati.”
Suara langkah Zihan bergema di lantai batu. “Kau berani sekali bicara begitu di depanku.”
“Keberanian dan kebodohan sering disalahartikan,” balas Yuanxin datar. “Tapi dalam kasusmu, aku yakin kau bisa membedakannya.”
Sekilas, Feng Zihan tampak menahan amarah. “Kau tahu siapa aku?”
Yuanxin berdiri, menatapnya lurus. “Seorang pria yang tidak suka kalah. Yang selalu menyembunyikan dosa di balik nama besar keluarga Feng.”
Ren dan Ruan di belakang langsung menunduk ketakutan. Udara di sekitar tiba-tiba tegang. Feng Yan menatap tajam dari sudut ruangan, siap menyerang bila perlu. Namun Yuanxin menahan dengan gerakan kecil tangannya.
Zihan menatap perempuan itu lekat-lekat. “Kau bicara seolah mengenalku.”
“Barangkali aku memang mengenalmu,” jawab Yuanxin pelan, senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Hanya saja, mungkin aku bukan orang yang ingin kau kenal.”
Seketika suasana menjadi sunyi. Hanya suara burung pagi yang terdengar dari kejauhan.
Feng Zihan memperhatikan wajah itu—seolah ada sesuatu yang sangat familiar. Tatapan mata itu, cara bicara, bahkan senyumnya... seperti hantu dari masa lalu yang enggan mati. Tapi ia menepis pikirannya cepat-cepat. Tidak mungkin. Li Yuanxin sudah mati.
Ia menyilangkan tangan. “Aku tidak datang untuk berdebat. Aku hanya ingin tahu, siapa yang menyuruhmu mempermalukan Meiyun di depan umum.”
Yuanxin tertawa kecil. “Kau pikir aku butuh disuruh? Aku hanya menunjukkan kebenaran yang kalian sembunyikan. Bahwa Nona Meiyun mencuri ramuanku dan mengakuinya sebagai hasil karyanya sendiri.”
“Omong kosong!” seru Zihan, suaranya bergema. “Meiyun tidak akan melakukan hal hina seperti itu.”
“Benarkah?” Yuanxin menatapnya dalam-dalam. “Kau masih percaya padanya seperti dulu kau percaya aku berkhianat?”
Sekujur tubuh Feng Zihan menegang. “Apa maksudmu?”
“Tidak ada,” jawab Yuanxin lembut, menatapnya seolah melihat sesuatu jauh di masa lalu. “Aku hanya teringat... seseorang yang dulu juga membuang tunangannya ke sungai karena percaya pada kebohongan.”
Zihan terdiam. Wajahnya kehilangan warna sekejap, tapi ia segera menegakkan diri. “Cukup. Aku tidak datang untuk mendengar omong kosong. Aku memperingatkanmu, Tabib Yu Xin. Hentikan permainanmu, atau aku sendiri yang akan menutup tempat ini.”
Yuanxin menatapnya tanpa gentar. “Kau boleh mencoba, tapi bersiaplah menanggung akibatnya.”
Tatapan mereka bertemu tajam, menekan, namun di baliknya ada sesuatu yang lain. Luka lama yang belum sembuh, kemarahan yang belum padam, dan perasaan yang bahkan waktu pun tak mampu menghapusnya.
Setelah Feng Zihan pergi, Ren menatap majikannya cemas. “Tabib… dia akan kembali, bukan?”
Yuanxin mengambil napas pelan. “Tentu saja. Pria seperti dia tidak pernah berhenti sampai merasa menang.”
Feng Yan, yang kembali ke wujud kecilnya, mendarat di bahu Yuanxin. “Tapi aku melihat matanya tadi… dia mengenalmu.”
“Biar saja,” jawab Yuanxin ringan, tapi ada kilatan getir di balik suaranya. “Biarkan dia menebak. Setiap kali dia menatapku dan merasa ragu, itu sudah cukup bagiku.”
Qiu Long muncul dari gelangnya, tubuhnya melingkar di udara, bersinar lembut. “Tapi apa rencanamu selanjutnya, Yuanxin?”
Wanita itu menatap jendela, ke arah kota yang mulai ramai. “Balas dendam bukan hanya tentang menghancurkan musuh,” katanya. “Tapi juga tentang membangun kembali dirimu lebih tinggi dari tempat mereka menjatuhkanmu.”
Ia menatap kedua roh pelindungnya. “Kita mulai membuka cabang toko di utara. Aku butuh akses ke bangsawan dan istana. Dan di sanalah, satu per satu, utang lama akan dibayar.”
Feng Yan mengangkat alisnya kecil. “Kau akan masuk ke sarang musuh?”
Yuanxin tersenyum. “Kadang, untuk menumbangkan naga, kau harus menari di atas punggungnya.”
----
Di sisi lain kota, Feng Zihan duduk di ruang kerjanya, menatap segelas teh yang sudah dingin. Meiyun berdiri di sampingnya, wajahnya muram.
“pangeran Zihan,” katanya pelan. “Kau pergi menemuinya?”
Feng Zihan tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah jendela.
“Aku dengar dia cantik,” lanjut Meiyun, suaranya getir. “Apakah dia membuatmu terpesona?”
Zihan menatapnya dingin. “Cukup, Meiyun. Aku tidak ingin dengar hal semacam itu.”
Namun, begitu Meiyun keluar, tangan Zihan bergetar pelan. Dalam pikirannya, wajah Tabib Yu Xin terus menghantuinya. Tatapan mata itu begitu familiar, begitu nyata.
“Tidak mungkin,” bisiknya pada diri sendiri. “Li Yuanxin sudah mati.”
Tapi ingatannya menolak logika. Ia masih bisa mengingat dengan jelas malam di tepi sungai, ketika ia melihat tubuh tunangannya terseret arus. Suara perempuan itu masih terdengar... bergetar di kepalanya.
“Zihan... suatu hari kau akan tahu kebenarannya.”
...----------------...
Sementara itu, di ruang dimensi, Yuanxin sedang mempelajari ramuan baru. Cahaya dari gua dimensi memantulkan bayangan lembut di wajahnya. Feng Yan dan Qiu Long duduk di sisinya, memperhatikan.
“Kau benar-benar akan membuka toko cabang di wilayah utara?” tanya Qiu Long.
Yuanxin mengangguk. “Aku perlu pijakan di istana. Dan aku butuh informasi dari dalam. Balas dendam yang baik tak hanya dilakukan dengan pedang, tapi juga dengan pengetahuan.”
Feng Yan menatapnya kagum. “Kau memang bukan manusia biasa. Kau merencanakan segalanya dengan sabar, tapi penuh racun manis di dalamnya.”
Yuanxin tersenyum lembut. “Aku hanya belajar dari masa lalu, Feng Yan. Dulu aku percaya pada cinta, sekarang aku hanya percaya pada akibat.”
Ia mengangkat tangan, dan cahaya keemasan muncul di telapak tangannya. “Aku tidak akan berhenti sampai Feng Zihan berlutut di hadapanku bukan karena dendam, tapi karena pengakuan.”
----
Beberapa hari kemudian, surat undangan tiba. Disegel dengan lambang keluarga Feng.
Isinya singkat:
“Pangeran Feng Zihan mengundang Tabib Yu Xin untuk menghadiri jamuan teh di Paviliun Timur Istana Feng. Undangan bersifat pribadi.”
Ren panik membaca surat itu. “Tabib! Apa kau akan datang? Ini jelas jebakan!”
Yuanxin hanya tersenyum. “Jebakan yang baik kadang perlu dijawab dengan senyum.”
Feng Yan berdecak. “Kau benar-benar menyukai bahaya.”
“Bukan bahaya,” jawab Yuanxin sambil menatap cermin dan merapikan rambutnya. “Hanya masa lalu... yang akhirnya memutuskan untuk menatapku kembali.”
Malam itu, ia berdiri di depan cermin ruang dimensinya, mengenakan jubah putih berhiaskan bordir emas lembut. Cahaya dari permata Phoenix dan naga di gelangnya berkilau pelan, memantulkan keanggunannya yang seperti dewi.
Feng Yan memandangnya lama. “Jika dia tahu siapa kau sebenarnya…”
Yuanxin menatap pantulan dirinya dan tersenyum. “Maka, permainan ini baru benar-benar dimulai.”
Di luar, bulan penuh naik tinggi.
Dan di istana Feng, Feng Zihan menatap ke arah langit yang sama, tanpa sadar bahwa badai yang ia takutkan dulu… kini datang dengan wajah yang ia cintai.
Bersambung
saatnya sekarang tinggal menunggu balasan yang setimpal.
sultan itu bebas melakukan apapun bukan /Facepalm/