(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Alfred marah
Alfred duduk tenang di depan kakeknya, William. Wajah keduanya sama-sama dingin. Papan catur yang terletak di antara mereka tak satu pun bidaknya digerakkan.
Alfred menyatukan kedua tangannya di atas meja, matanya menatap tajam kakeknya. "Apa yang ingin kakek bicarakan?"
“Kakek yang membuat pernikahanmu dengan wanita itu batal,” suara William berat.
Alfred sudah menduga, tapi kalimat itu tetap membuatnya ingin marah. Dadanya berdegup lebih cepat, ingin saja dia meledak marah karena kakek berani mencampuri hidupnya secara terang-terangan.
“Dan kau juga yang membuat gadis belia seperti Michelle menikah denganku,” Alfred menyambung dengan nada dingin, mencoba mengendalikan amarahnya.
William menatapnya dalam-dalam, seperti mengukur rencananya. “Setengahnya memang benar, tapi kakek tidak tahu, gadis itu dengan mudah menerima pernikahan itu. Mungkin saja perbuatanmu dulu membuatnya ingin membalas budi.”
Alfred mengerutkan kening, suaranya tak sengaja sedikit meninggi, “Aku tidak suka kau terlalu mencampuri urusanku.”
William menghela napas panjang, nada suaranya lebih lembut namun penuh peringatan, “Awalnya aku tak ingin, Rio. Tapi kau dibodohi oleh yang namanya cinta. Berapa kali sudah kukatakan? Jangan bodoh karena cinta.”
Alfred mengerutkan dahinya, menahan emosi. "Bagian mana yang kau bilang aku dibodohi oleh cinta, Kakek? Aku selalu berhati-hati memilih wanita. Hati ini sudah tertambat pada Elena," ujarnya pelan tapi tegas.
William menatap Alfred dengan mata tajam, suaranya tiba-tiba meninggi. "Itu bukan cinta, Dario! Wanita itu hanya memanfaatkanmu! Kau hanya ingin membalas perbuatannya karena kau pernah diselamatkan olehnya"
Alfred memejamkan mata, berusaha menahan amarah yang mulai membuncah di dadanya. "Dimanfaatkan?...Harta?...Uang yang aku cari takkan habis walau Elena hamburkan sesukanya," jawabnya datar.
William menghela napas panjang, kecewa. "Kau masih belum lihat kenyataan. Wanita itu ular berbisa yang ingin menghancurkan hidupmu. Kau tahu siapa yang selalu dekat dengannya dulu? Yang katanya cuma teman?"
Alfred menyipitkan mata, senyum sinis mengembang di bibirnya. "Siapa, Kakek? Antonio? Dia cuma sahabat masa kecil Elena. Tak mungkin ada apa-apa di antara mereka."
William menatap tajam, nada bicaranya berat. "Antonio itu anak haram papamu, Dario. Kau tak sadar? Dia musuhmu. Dan dia terus berusaha menghancurkanmu, menggunakan wanita itu sebagai senjatanya."
Alfred terpaku sejenak, dadanya terasa sesak saat kata-kata William menampar pikirannya tanpa ampun. Dia terduduk lemas di kursi, tubuhnya seolah terbuai oleh kekecewaan yang tiba-tiba menyerang.
"Mereka sepasang kekasih," ulang William dengan nada dingin. "Kalau tak percaya, kau bisa bertanya kepada istri kecilmu itu. Dia pasti pernah melihat Antonio sering datang ke rumah Elena."
Alfred mengerutkan dahi, matanya menatap kosong.
William melanjutkan, "Satu lagi yang belum kamu tahu. Dia sudah lama tahu tentang lukamu itu. Kenapa baru sekarang pergi? Karena mereka tahu kakek sudah mulai mencari mereka. Ketakutan itulah yang buat dia menghilang."
Tangan Alfred tiba-tiba mengepal kuat di bawah meja, jari-jarinya mencengkeram. Matanya menyala penuh kemarahan yang membara, napasnya berat tersengal-sengal. Tanpa kendali, dia mengamuk, melempar semua barang di atas meja dengan kekuatan penuh.
Sebuah vas bunga melayang dan jatuh keras ke lantai, pecahan-pecahannya berserakan, suaranya menggema menusuk ke seluruh penjuru mansion, membelah hening malam yang sunyi.
William menutup matanya perlahan, napasnya berat menahan gelora amarah yang membara. Ia tahu, cucunya ini akan segera meledak. “Kakek ingin kau balas semua luka yang pernah mamamu tanggung dulu,” ucap William dengan suara serak tapi penuh tekad.
“Balas semua sakit yang mamamu rasakan, tapi jangan kau lampiaskan pada gadis yang kau nikahi. Jangan sampai cerita lama itu terulang lagi. Ingat, kakakmu dulu sudah mengajarkanmu bagaimana menghormati perempuan,” lanjutnya, matanya menatap tajam ke arah Alfred.
Alfred menyipitkan mata, tubuhnya bergetar saat menghindar dari sorotan itu. “Dengar, kakek, jangan ikut campur lagi dalam urusanku. Sudah cukup kau hancurkan pernikahanku,” katanya, suaranya dingin dan penuh penolakan sambil melangkah cepat menuju pintu.
William segera berdiri, suaranya menggema keras, “Kembali, Dario!”
Namun Alfred sudah membuka pintu lebar dan berhenti sejenak, wajahnya kosong, terpaku. Di balik pintu, anggota keluarga lain sudah berkumpul, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.
Tatapan Alfred terhenti pada istrinya yang tampak pucat. Dengan langkah berat, ia melewati mereka tanpa berkata sepatah kata pun.
Celline menatap tajam sambil bertanya dengan suara lembut tapi penuh arti, “Kemana, dek? Kau tak boleh pergi malam ini—apalagi kali ini membawa pulang istrimu. Temani dia.”
Alfred berhenti di tempatnya. Panggilan “adek” yang terucap dari bibir Celline bagai sebuah saksi suci, sebuah ikatan tak tergoyahkan antara kakak dan adik yang selalu melekat erat di hatinya.
“Aku hanya ingin menemui Bennett dan Maxime. Aku akan segera kembali,” jawab Alfred singkat, tanpa menatap ke arah Celline. Langkah kakinya sudah terburu pergi.
Celline ingin mengejarnya, tapi Nicholas segera merangsek maju. “Biarkan aku yang bicara dengannya,” ujar Nicholas dengan nada tenang.
“Jaga emosinya, jangan sampai monster dalam dirinya bangkit,” bisik Celline sambil menatap Nicholas, matanya menuntut janji yang tak boleh dilanggar.
Nicholas mengangguk tanpa kata, lalu melesat mengejar Alfred. Celline menarik nafas panjang berat, lalu menoleh ke arah Michelle yang wajahnya pucat, terpaku oleh kekhawatiran.
“Michelle, silakan kembali ke kamar. Kau butuh istirahat,” ucap Celline lembut.
Michelle hanya bisa mengangguk pasrah, melangkah pelan meninggalkan malam yang penuh ketegangan.
"Semoga Om Al baik-baik saja!"