“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 31
Laila dan Mia berjalan bersisian, melewati pinggiran parit aliran irigasi. Mereka melawan arah menuju air terjun milik juragan Pramudya.
“Mia, makanlah ini!” Disodorkannya kue dadar gulung, apem, dan lemet ubi, yang tadi sempat dibeli di pasar.
“Aku masih kenyang, Kak,” tolaknya halus, tapi tidak selaras dengan bunyi perut yang minta diisi.
“Kau tahu, aku ini ceroboh – membawa diri sendiri saja terkadang kesulitan, apalagi ditambah dirimu kalau pingsan, bisa-bisa ku gelindingkan di perbukitan.” Laila menarik lengan dan membuka telapak tangan Mia, memaksa remaja itu menerima pemberiannya.
“Terima kasih, Kak.” Mia mulai membuka bungkus kue lemet, dia makan dengan linangan air mata. “Ini pertama kalinya aku dan Ibuk berjauhan dari Anton. Biasanya kami selalu bersama – pernah satu bungkus mie instan dibagi tiga ditambah nasi sisa semalam yang tak habis dimakan Bapak.”
“Sudah jangan diingat hal menyakitkan masa lalu itu, terlebih kelakuan bejat bapakmu yang tak pantas menjadi seorang Ayah. Jadi manusia pun dia nggak cocok,” sarkas Laila.
“Iya, kakak benar.” Mia mengangguk, dia menoleh menatap penuh wajah Laila. “Apa kakak tak penasaran mengapa bisa mirip bidan Juleha?”
Langkah Laila tidak berhenti, ia membalas menatap serius. “Tidak. Aku sudah menyelidiki melalui aura arwah bidan Juleha, dan kami sama sekali tidak ada hubungan darah. Lagipula diriku pernah membaca buku sains – kalau manusia itu memiliki kembaran setidaknya satu - tujuh rupa dimuka bumi ini. Faktornya karena kemiripan susunan genetik yang dimiliki tiap manusia. Selain itu, faktor geografis serta kelompok etnis. Selebihnya aku tidak tahu.”
“Aku juga pernah dengar hal semacam itu Kak, tapi entah nyata entah mitos kurang tahu juga. Kalau diperhatikan lebih lama dan dekat, banyak juga perbedaan kalian – bila sekilas ya seperti saudara kembar,” ujar Mia.
Hsst
“Kenapa, Kak?” Mia menatap cemas kala melihat tubuh Laila seperti orang menggigil kedinginan.
“Aura disini berbeda, Mia. Apa tempatnya sudah dekat?” tanyanya sembari mengusap lengan yang mana bulunya berdiri dan pori-pori membesar.
“Dibalik bukit penuh tumbuhan putri malu itu, dibawahnya sudah sungai berair keruh,” bisik Mia, matanya menatap semak belukar.
“Berhati-hatilah, Mia! Perhatikan langkahmu, jangan sampai menginjak sesuatu yang menimbulkan suara berisik!” Dia tidak ada mencium aroma manusia, tapi merasakan aura magis pekat.
“Kakak tenang saja, aku sudah hafal jalan sini, hantu-hantu itu tak ada yang berani menggangguku, Kak,” katanya yakin.
“Lewat sini!” Mia berbisik, melangkah di sela-sela tumbuhan putri malu, hingga mereka tiba ditepi sungai berair keruh diapit air jernih biru kehijauan.
“Ada untungnya kau ditiduri Iblis Jahanam itu, Mia. Aromamu berbaur dengan dia, sehingga para makhluk halus enggan mendekat,” celetuk Laila.
“Ya.” Mia mengangkat kedua bahunya.
Laila menurunkan tas ranselnya, lalu membuka baju dan celana. Sedari rumah, dirinya sudah mengenakan pakaian menyelam berwarna kuning berpola kebiruan – hasil idenya Ida.
Mia mengawasi sekitar, memastikan tempat ini aman. Sebenarnya dia takut, perasaannya cemas, dan debar jantungnya seolah baru saja habis lari jauh.
Namun, dirinya mencoba berani. Meyakini kalau semuanya baik-baik saja, ibunya pun kini sudah pasti telah sampai di hunian juragan Pramudya, berlindung disana.
“Kau tunggu di sini, bila ada bahaya, jangan pedulikan aku – larilah selamatkan dirimu sendiri!” Laila mengenakan kacamata selam, dia sudah menggendong tabung oksigen selam mini dengan kapasitas 1L, bisa tahan sekitar 20 menitan tergantung tekanan air didasar sungai.
Mia mengangguk ragu, mana mungkin dia tega meninggalkan seseorang yang sudah sangat baik kepadanya. Matanya berkaca-kaca menatap wanita berpakaian selam yang baru pertama kali dilihatnya.
Regulator tabung sudah digigit mulut Laila, matanya memindai sekitar, menatap hutan kayu jati terlihat gelap seakan cahaya matahari tidak menembus ke dalam sana. Kemudian memandang lekat air sungai seolah sedang mengukur kedalamnya.
Sinar matahari tepat diatas kepala, cahayanya membias air sehingga berkilau.
'Ada yang aneh dengan sungai besar ini, bagian tengah keruh tapi sekitar lima meter setelahnya berair sangat jernih, biru kehijauan," batin Laila mencoba menerka-nerka.
Laila tidak melompat kedalam air, melainkan tangannya berpegangan pada lengan Mia, dia turun secara perlahan agar tidak menimbulkan suara nyaring.
Mia langsung memungut baju Laila, memasukkan ke dalam ransel, dan tas itu dia gendong. Tubuhnya yang kurus, bersembunyi di balik tumbuhan putri malu – matanya terus menatap air beriak yang kembali tenang. Dalam hati dia terus merayu Sang Pencipta – agar berbaik hati melindungi sosok yang mulai dia segani.
Laila mengayunkan kaki terbalut sepatu Katak, tangannya pun ikut membantu gerakan agar lebih cepat sampai dasar.
Hem Hem!
Laila menjerit, beruntung regulator tidak terlepas dari mulutnya. Tiba-tiba sesuatu mencoba mendorongnya menjauh saat dia mulai sampai di dasar. Lalu matanya melotot ketika melihat angin hitam bagaikan busur panah hendak menusuk tubuhnya.
Wanita itu membalikkan badan, bergerak miring. Dia selamat, tapi tak bertahan lama. Pusaran angin hitam itu kembali menyerang dari empat arah, saat mendekati Laila – berubah wujud menjadi kepala tengkorak.
WUARR!
Jin penjaga Laila menghadang, menggulung kepala tengkorak dengan angin topan yang ia miliki.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Laila, dia berenang ke dasar, mengigit kuat regulator, dan sebelah tangannya memegang senter. Kala cahaya benda itu kurang, dikarenakan air dasar lebih keruh dari permukaan, Laila memejamkan mata, dalam hati membaca mantra aksara Nusantara.
Tiba-tiba tubuhnya bercahaya kekuningan seperti Kunang-kunang. Barulah dasar sungai itu terang benderang, dan Laila dapat melihat puluhan karung terikat berserakan.
'Aku tak mungkin memiliki waktu membawa semua ini. Lantas yang mana milik bidan Juleha, suster Ineke, Ajiz, Wanti, dan Suli?' dia kesulitan mengenali.
Mbah Patmi telah memberitahu, kalau dia hanya perlu mengambil tulang belulang kelima nama yang tadi disebutkannya. Penyebabnya hanya arwah mereka yang masih berguna dan hingga kini dimanfaatkan untuk tindakan kejahatan. Selebihnya redup layaknya kabut tersapu angin – dikarenakan tidak kuat menahan siksaan dukun Suryo.
Bidan Juleha disukai oleh Abdul – putra semata wayangnya lurah Karsa dan Damini. Suster Ineke, perawat yang menggantikan Anto saat mau ditumbalkan, dan dia pernah memberi ingatannya pada Laila pada sore hari. Sedangkan Wanti – Kuntilanak diatas loteng kamar Laila. Kemudian Suli, Pocong yang menampakkan wujud dikantor lurah. Terakhir Ajiz, adiknya Ida.
Laila mengambil belati yang ditaruh di tas menampung tabung oksigen. Tangannya bergerak gesit, memotong tali pengikat karung berbahan kain dan masih belum lapuk.
'Beratnya,' Laila mencoba mengangkat karung yang terlihat bagian atas kosong, dikarenakan jasad manusia sudah tinggal kerangkanya saja dan ada batu besar didasar nya.
Kemudian kedua tangannya melebarkan karung – tiba-tiba seekor Ular bersisik hitam, berukuran sebesar betis orang dewasa, keluar dan langsung membelit kaki Laila.
Laila meronta, tangannya yang bebas mencoba mengambil sesuatu di dalam tas, rasa sakit mulai dia rasakan hingga memecah konsentrasinya.
Kepala Ular hitam tersebut merambat dari paha ke perut Laila, badannya membelit kuat seolah ingin meremukkan tulang mangsanya. Hingga lidahnya terjulur, lalu mulutnya terbuka lebar memperlihatkan dua taring tajam siap mengoyak daging segar.
.
.
Bersambung.
mampus kauu